"Saya mendengar suara gemuruh dari arah gunung, namun tak ada waktu untuk mengamankan diri."
Mama Wiay mengenang kejadian saat dirinya terseret banjir bandang tahun 2010, ketika Sungai Anggris meluap dan membawa serta gumpalan lumpur dan batu menerjang deras pemukiman di Wasior. Air bah mencapai separuh tinggi rumah, batu-batu besar dan kayu menghantam dinding-dinding bangunan. Pagi itu alam mengirim petaka yang merenggut seratusan korban jiwa dan melumpuhkan denyut kehidupan kota.
"Keadaannya luar biasa waktu itu," mama melanjutkan berkisah dengan kalimat yang diucapkan pelan dan sepotong-potong, dalam dialek yang susah payah saya coba pahami. "Rumah-rumah hancur dan segala hal seperti berhamburan di medan yang sulit dikenali." Matanya yang tadinya dibuka lebar bulat-bulat menipis mengernyit saat mengenang kejadian yang membuatnya bergidik, mendapati seekor ular sebesar betis bergelasar di dalam sebuah puing lemari yang barangkali ikut terseret dari hutan bersama arus banjir, dan ketika dari tingkah mencurigakan seekor anjing ia meminta tim penolong mengangkat sebongkah batu besar. Tubuh seorang korban tergencet di bawah batu itu.
Mama menyudahi ceritanya dengan sebuah tarikan nafas panjang. Saya dan Irfad terdiam. Tidak seperti Irfad yang sudah banyak mendengar kisah kejadian bencana dari mulut penyintas karena telah lama bergaul dengan masyarakat di daerah rawan bencana, ini adalah hal baru bagi saya. Wajah penyintas tidak menyimpan gurat apapun penanda suatu peristiwa katrastopis yang pernah dialami, namun ingatannya adalah rumah bagi sebuah kenangan yang mengoyak hati.
Mama Wiay tinggal di dekat lokasi bertemunya tekuk lereng Pengunungan Wondiboi dengan dataran rendah Wasior, di tepi Sungai Anggris tempat kami memasang alat deteksi longsor yang dimodifikasi untuk banjir bandang. Rumahnya menyendiri, jauh dari tetangga terdekat, dan hanya berjarak sepelemparan batu dengan mulut aliran sungai yang keluar dari himpitan tebing-tebing sempit nan menjulang. Radius beberapa ratus meter dari rumahnya adalah tanah ulayat milik keluarganya. Ia dan Kostan, saudaranya, menyambut dengan hangat waktu pertama kali kami melakukan survei kandidat lokasi pemasangan alat.
Kabupaten Teluk Wondama menghuni wilayah di tengkuk burung Pulau Papua, Provinsi Papua Barat. Tak seramai Nabire. Pusat aktivitas warga berada di Kampung Wasior yang merupakan gerbang penghubung Teluk Wondama dengan daerah lain dengan keberadaan pelabuhan, sekaligus pusat perekonomian dengan keberadaan pasar. Sekolah berbagai jenjang serta tempat ibadah juga dapat dijumpai di Wasior. Seutas jalan raya membentang dari selatan hingga ke ujung utara wilayah kabupaten, rumah-rumah hunian dengan halaman yang ditanami bebungaan dan sederet kecil pohon pinang berjajar di tepiannya.
Bentang alam Teluk Wondama dicirikan oleh dataran rendah sempit di kaki pegunungan tinggi. Sembilan sungai stadia muda yang kerap mengirim air bah mengalir memotong jalan, mengantarkan produk pengikisan batuan akibat curah hujan tinggi di pegunungan ke teluk. Beda relief yang curam membuat sungai-sungai ini dipenuhi bebatuan sebesar kepalan tangan sebab energi yang membawanya masih terbilang tinggi. Penduduk Teluk Wondama diberkahi tanah yang indah permai dengan lanskap pegunungan megah, garis pantai menawan, dan hasil laut yang melimpah. Bagaimanapun, tanah ini tak sempurna. Sebuah ancaman besar mengintai kehidupan penduduknya.
Hampir seluruh wilayah pemukiman dan pusat keramaiannya berada di zona risiko tinggi terkena bencana sebab kondisi alami daerahnya. Rumah-rumah penduduk dan pusat-pusat aktivitas publik terletak di zona aluvial di dataran sempit yang terbentuk di antara pegunungan dengan ketinggian hingga 2000 meter dan muka air laut di teluk yang terbuka sebab pergeseran Patahan Wandamen. Dalam kondisi normal pun, dasar sungai mendangkal dengan cepat oleh pasokan material dari pegunungan, memperburuk risiko meluapnya air ke daratan di sisi-sisinya.
Tahun 2010 peristiwa banjir bandang Wasior menyita perhatian seluruh negeri. Tahun 2014 banjir kembali terjadi. Meski dalam skala yang lebih kecil, kerusakan bangunan dan ancaman korban jiwa hadir di depan pelupuk mata. Sebagian besar warga Wasior hidup dalam rasa was-was akan petaka yang sewaktu-waktu datang dari pegunungan.
Berbagai upaya sedang ditempuh untuk melawan rasa khawatir terhadap bencana banjir bandang. Normalisasi sungai dilakukan terus menerus, seiring dengan sosialisasi pada masyarakat dan pembentukan tim siaga bencana. Kedatangan kami adalah salah satu bagian dari upaya yang dibangun BNPB dan BPBD setempat untuk menyiapkan ketangguhan wilayah ini dari ancaman bencana.
Tekad pemerintah mengurai permasalahan kebencanaan di Teluk Wondama membentur dinding berlapis. Pada tingkat mendasar, pengembangan daerah pemukiman dan pusat kegiatan publik terlanjur abai pada prinsip tata ruang yang sadar bencana. Sudah pada titahnya jika kipas aluvial merupakan daerah limpasan material dan sungainya meluap dalam frekuensi tinggi.
Namun analisis penyebab banjir 2010 mengatakan, air bah terjadi akibat longsor membentuk bendung alami yang jebol setelah tak lagi kuat menampung air dan bebatuan. Hal ini berarti peristiwa banjir bukanlah hal yang bisa rutin terjadi, melainkan bencana yang sesekali terjadi. Usaha mencegah banjir kembali terulang bisa dilakukan dengan mengidentifikasi longsor di pegunungan, yang tak mungkin dipasang alat deteksi sebab keterjangkauan yang maha sulit. Daerah aliran sungai menghulu jauh ke timur, di puncak-puncak berbiku hutan tak terjamah. Cara yang lebih masuk akal adalah membuat sabo dam di sepanjang aliran sungai untuk setidaknya memperlambat laju hempasan air dan rajin mengeruk sungai melalui kegiatan normalisasi.
Siapa sangka, upaya penanggulangan ini berbenturan dengan adat istiadat setempat. Dengan hak tanah ulayat, pemerintah kerap kesulitan mengeksekusi program yang telah disebutkan di atas. Pasalnya, pemilik tanah akan memasang harga yang amat mahal untuk setiap program pemerintah yang dilakukan di atas tanah ulayatnya. Tak terkecuali lahan sungai. Bahkan untuk normalisasi, pemiliki tanah mematok biaya pengerukan per boks truk material yang diambil dari sungai. Padahal kegiatan tersebut murni untuk mencegah bencana yang mengancam, dan sama sekali bukan untuk kepentingan komersial.
Perihal masyarakat, sekalipun kesadaran kebencanaan telah tampak di kalangan warga, namun merangkul masyarakat untuk mempermudah program penanggulangan bencana adalah tantangan tersendiri bagi pemerintah Teluk Wondama. Urusan tanah ulayat adalah perkara mendasar yang tak akan berhenti diributkan sebelum pemilik tanah merasa mendapat kompensasi yang diinginkan. Bukan mustahil orang akan memblokir jalan atau bahkan memasang palang pada rumah ibadah saat kisruh urusan tanah.
Biaya lebih setidaknya, harus disiapkan untuk sementara mengikuti arus dan bermain lentur terhadap kebiasaan penduduk setempat sebelum ditemukan cara jitu untuk mengubah pandangan warga akan pentingnya pembangunan fasilitas umum untuk keselamatan bersama. Sedang untuk masyarakat, saya menaruh hormat pada tradisi lokal, namun berharap agar pihak pemilik tanah dapat lebih berkompromi dalam pemanfaatan lahan yang murni untuk kepentingan umum.
Air sungai meluap ke jalan kala hujan di sebuah malam di Teluk Wondama dan debit air di sungai meningkat tajam dalam waktu singkat. Orang-orang hidup dalam potret negeri bahari nan kaya dan tanah nan permai, namun bertudung gelisah akan bahaya dari air dan bebatuan pegunungan. Seribu rintangan menghadang dalam setiap ikhtiar mengupayakan keselamatan, namun cercah harapan akan selalu ada dalam menata wilayah dan manusia yang tangguh bencana. Dan mengutip sebait doa kepala adat saat peresmian alat deteksi dini banjir bandang, Tuhanlah yang memberikan anugerah alam dan ujian dalam bentuk bencana, maka Tuhan pula akan memberikan kekuatan untuk menghadapinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H