Latar Belakang Konflik
      Perang Rusia-Ukraina memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks, terkait erat dengan hubungan geopolitik, etnisitas, dan ekonomi. Konflik antara Rusia dan Ukraina telah menarik perhatian dunia, terutama setelah Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, yang memperparah ketegangan yang sudah berlangsung sejak 2014. Kedua negara ini dulunya sama-sama bagian dari Uni Soviet. Namun, ketika Uni Soviet bubar pada tahun 1991, Ukraina menyatakan kemerdekaannya melalui referendum yang didukung juga oleh Presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin.
      Ketegangan mulai meningkat pada 2014 setelah Revolusi Euromaidan di Ukraina, di mana Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, dilengserkan oleh gerakan protes yang menginginkan hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa (UE) dan NATO. Bagi Rusia, perubahan arah kebijakan ini dipandang sebagai ancaman terhadap pengaruhnya di kawasan, terutama karena beberapa negara Eropa Timur lainnya, seperti Polandia dan negara-negara Balkan, telah memperkuat hubungan mereka dengan NATO.
      Pada saat situasi Ukraina tidak stabil setelah revolusi, Rusia mencaplok Krimea pada 2014 dan mendukung kelompok separatis di wilayah timur Ukraina, terutama di Donetsk dan Luhansk yang dikenal sebagai wilayah Donbas. Rusia berdalih bahwa tindakan tersebut bertujuan melindungi warga etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia di Ukraina yang dianggap terancam setelah pergantian pemerintahan.
      Menjelang akhir 2021, ketegangan meningkat ketika satelit menangkap gambar konsentrasi pasukan Rusia dalam jumlah besar di dekat perbatasan Ukraina, mencapai sekitar 100.000 tentara. Pihak Barat, terutama Amerika Serikat, memperingatkan bahwa invasi ke Ukraina akan berdampak pada sanksi ekonomi berat bagi Rusia. Meskipun Rusia menolak tuduhan adanya rencana invasi, mereka menyampaikan tuntutan kepada NATO untuk mengurangi aktivitas militernya di Eropa Timur, serta menolak keanggotaan Ukraina di NATO.
      Invasi Rusia pada 2022 mencerminkan ambisi Presiden Vladimir Putin untuk mengembalikan pengaruh Rusia di Eropa Timur sekaligus menahan ekspansi NATO yang dianggap melanggar kesepakatan era pasca-Perang Dingin. Para pengamat di Barat melihat langkah Rusia ini sebagai kesalahan yang berdampak buruk, karena telah memicu reaksi keras dari dunia internasional. NATO pun semakin mempererat dukungannya kepada Ukraina meski negara itu belum menjadi anggota resmi aliansi tersebut.
      Sebagian pakar meyakini bahwa kekhawatiran Putin tidak hanya terkait keamanan nasional Rusia, melainkan juga potensi ancaman jika Ukraina berkembang menjadi negara demokrasi yang stabil dan berorientasi Barat. Dalam pandangan Putin, hal ini dapat menginspirasi masyarakat di kawasan bekas Soviet, yang pada gilirannya bisa membahayakan otoritasnya dan mempersempit pengaruh Rusia. Putin berharap bisa mengguncang stabilitas Ukraina serta menimbulkan kekhawatiran di negara-negara tetangga seperti Belarus, Kazakhstan, dan Polandia agar lebih berhati-hati terhadap prospek demokrasi di wilayah mereka.
      Konflik Rusia-Ukraina bukan hanya soal pertarungan militer, tetapi juga tentang perebutan pengaruh antara nilai-nilai demokrasi Barat dan sistem otoritarian Rusia. Bagi Putin, krisis ini adalah peluang untuk mengatur ulang arsitektur keamanan Eropa demi memperkuat posisi Rusia di kawasan.
Dimensi Geopolitik
      Konflik Rusia-Ukraina, jika dilihat dari perspektif geopolitik, memperlihatkan perebutan antara "Sea Power"  yang direpresentasikan oleh NATO dan "Continental Power" yang direpresentasikan oleh Rusia. Secara geografis, Ukraina menjadi "buffer zone" atau zona penyangga antara kekuatan Barat dan Rusia, menjadikan posisinya strategis dalam peta kekuatan dunia. Ukraina yang berada di perbatasan langsung dengan Eropa dan Rusia, memegang peran signifikan dalam menjaga keseimbangan kekuatan antara NATO dan Rusia. Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO memicu kekhawatiran besar bagi Rusia karena ini berarti NATO akan berada sangat dekat dengan perbatasannya, memberikan akses militer Barat yang strategis ke wilayah dekat Rusia.
      Konsep "Rimland" dan "Heartland" juga berperan penting dalam konflik ini. Teori "Heartland," yang dirumuskan oleh Sir Halford Mackinder, menyebutkan bahwa siapa yang menguasai Heartland (yang mencakup Eurasia tengah) dapat menguasai dunia. Rusia, sebagai kekuatan kontinental yang besar, berada di wilayah Heartland ini, sementara NATO berusaha memperluas pengaruhnya di sekitar Eurasia atau Rimland untuk menahan kekuatan Rusia. Menurut Nicholas Spykman, Rimland adalah kunci untuk menjaga keseimbangan kekuatan dunia karena memegang kendali atas akses ke laut dan jalur perdagangan. Ekspansi NATO ke negara-negara Eropa Timur, termasuk potensi keanggotaan Ukraina, dianggap Rusia sebagai strategi "containment" atau pembendungan pengaruh Rusia di Heartland. Dengan memperkuat pengaruhnya di Rimland, NATO dapat membatasi potensi kekuatan kontinental Rusia.
      Ukraina juga menjadi pusat perebutan karena sumber daya energi strategis yang melimpah. Rusia adalah salah satu produsen gas terbesar dunia, dan banyak pipa yang membawa gas ke Eropa melewati Ukraina. Ketergantungan energi Eropa pada Rusia memberikan pengaruh besar bagi Rusia dalam dinamika geopolitik, dan Ukraina menjadi jalur transit yang sangat penting. Rusia berusaha mempertahankan kontrol atas jalur ini sebagai alat tekanan ekonomi dan politik. Dengan demikian, jika Ukraina bergabung dengan NATO, Rusia khawatir akan kehilangan kendali atas jalur energi vital ini dan posisi strategis yang diwakili Ukraina.
      Secara historis, Ukraina dan Rusia memiliki ikatan budaya dan etnis yang kuat sebagai bagian dari rumpun Slavia Timur. Rusia merasa perlu mempertahankan pengaruh budaya dan etnis ini, yang terlihat dari pengakuan kemerdekaan terhadap wilayah Donetsk dan Luhansk, di mana mayoritas penduduknya berbahasa Rusia. Rusia menganggap keberadaan etnis Rusia di Ukraina sebagai bagian dari sejarah dan budaya yang harus dilindungi. Hal ini juga menjadi alasan invasi Rusia ke Krimea pada tahun 2014, yang dihuni oleh banyak etnis Rusia.
      Rusia juga ingin menghidupkan kembali pengaruhnya di negara-negara bekas Uni Soviet melalui pembentukan kembali blok-blok, seperti Commonwealth of Independent States (CIS), yang menjadi bagian dari strategi besar Rusia dalam memperkuat posisinya secara geopolitik. CIS merupakan perpanjangan dari visi Rusia untuk membentuk kembali blok pengaruh pasca-Soviet di bawah pengaruh Moskow. Langkah ini menjadi bagian dari strategi besar Presiden Vladimir Putin untuk mengembalikan kejayaan Rusia sebagai kekuatan kontinental besar, memperkuat Rusia sebagai pusat "imperium" baru di kawasan Eurasia.
Dampak Konflik
      Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan jumlah korban tewas yang diperkirakan mencapai lebih dari 50.000 orang angka ini delapan kali lipat lebih tinggi dari data kematian resmi terakhir yang diumumkan Moskow pada September 2022. Korban tewas dari pihak Rusia diperkirakan jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan. Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan pada Februari lalu bahwa sekitar 31.000 tentara Ukraina telah gugur, namun intelijen AS memperkirakan jumlah korban sebenarnya mungkin jauh lebih besar.
      Perang ini juga telah memberi dampak besar pada geopolitik dan ekonomi global, khususnya di sektor energi. Sebelum invasi dimulai, harga minyak dunia sudah mengalami kenaikan sejak Maret 2021 dan mencapai US$86 per barel pada Januari 2022 akibat permintaan yang meningkat tetapi tidak diimbangi dengan produksi. Begitu Rusia menginvasi Ukraina, harga minyak melambung ke angka US$100 per barel, dan pasar saham di kawasan Asia Pasifik, Eropa, serta Amerika Serikat langsung merosot. Konflik berkepanjangan ini mengancam stabilitas ekonomi global, mendorong harga energi lebih tinggi, dan menyebabkan ketidakpastian di berbagai sektor.
      Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga dan produsen gas terbesar kedua di dunia, serta memasok 70% gas ke Eropa melalui Ukraina. Gangguan pada pasokan energi dari Rusia dapat menaikkan harga minyak hingga US$120 per barel, bahkan mencapai US$150 jika ekspor minyak Rusia turun drastis. Dengan Rusia sebagai salah satu pengekspor utama minyak dan gas dunia, ketergantungan Eropa terhadap energi Rusia memperburuk dampak invasi ini. Akibat lonjakan harga energi, negara-negara di Eropa serta China dan India yang mengandalkan batu bara, mengalami kenaikan biaya bahan bakar yang memukul berbagai sektor industri.
      Dampak perang ini meluas ke pasar energi global. Harga gas alam di Eropa melonjak hingga 400% dalam setahun, sedangkan minyak mentah masih dapat disalurkan ke pelanggan di Asia dan Afrika meski pengelolaan pasokan gas lebih rumit. Rusia juga menutup pipa NordStream 1 untuk pemeliharaan, sehingga pasokan gas ke Jerman berkurang 60%. Negara-negara seperti Jerman, yang sangat bergantung pada gas alam Rusia, kini harus mempercepat diversifikasi energi. Polandia berencana menghentikan impor energi dari Rusia, sementara Jerman mulai menyusun rencana penghematan gas.
      Secara global, perang ini memperburuk krisis energi dengan melonjaknya harga minyak, gas, dan batu bara. Di Eropa, inflasi mencapai 9,8% pada Juli 2022, tertinggi dalam 25 tahun, dengan harga gas grosir naik hingga 200% sejak sebelum invasi. Kejatuhan euro ke level terendah dalam 20 tahun akibat berhentinya pasokan gas dari Rusia semakin menekan ekonomi Eropa.
Kesimpulan
      Perang Rusia-Ukraina berakar pada sejarah panjang hubungan kedua negara terutama setelah Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet pada 1991. Ketegangan meningkat sejak Revolusi Euromaidan tahun 2014 diikuti aneksasi Krimea oleh Rusia dan dukungan terhadap separatis di Donbas. Secara geopolitik, konflik ini mencerminkan persaingan antara Rusia sebagai kekuatan Heartland dan NATO yang mewakili Rimland. Ukraina sebagai zona penyangga memiliki posisi strategis yang menentukan keseimbangan kekuatan dunia. Perang ini menyebabkan korban jiwa besar, krisis energi global, inflasi tinggi, dan instabilitas ekonomi. Selain sebagai konflik militer, perang ini mencerminkan pertarungan ideologis antara demokrasi Barat dan otoritarianisme Rusia.
Referensi:
Bramastya, R., & Puspitarini, R. (2022). Geopolitik Ukraina terhadap Rusia dan Uni Eropa. Sospoli Institute Journal, 2(2).
Masters, J. (2023). Ukraine: Conflict at the crossroads of Europe and Russia. Council on Foreign Relations. https://www.cfr.org/backgrounder/ukraine-conflict-crossroads-europe-and-russia#chapter-title-0-4
Saleh, R., Saragih, H. M., & Karuniawan, A. D. C. (2024). Russian-Ukrainian Invasion Through Geopolitical. Dauliyah: Journal of Islam and International Affairs, 9(1), 69-85.
Syuryansyah, S., & Berthanila, R. (2022). Upaya Penyelesaian Konflik Rusia-Ukraina. Jurnal PIR: Power in International Relations, 7(1), 97-105.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H