Mohon tunggu...
Muhammad F. Hafiz
Muhammad F. Hafiz Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menulis sebagai profesi dan amal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Batu Hitam

5 April 2024   21:48 Diperbarui: 5 April 2024   22:36 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sudah penduduk dusun Sau menggunjing Sekar istri Rawi. Tak sehari berlalu dari memperbincangkan Sekar sejak diboyong Rawi ke dusun itu tiga bulan lalu. Jangankan para perempuan yang sehari-hari tak luput membicarakan orang lain, kaum laki-laki sekalipun ikut menggunjing. Semua terpesona oleh kecantikan Sekar dan memandang ganjil pada Rawi.

Aduhai betapa molek tubuh Sekar dan elok wajahnya. Laksana cahaya purnama yang menerpa bentang alam perdesaan. Cahaya yang membuat mata menangkap lebih dalam lekuk lanskap malam. Oh, betapa nyaris sempurna semua yang ada pada Sekar.

Pipinya merona, menjadi latar gambar lekuk hidung Sekar yang timbul sempurna di wajahnya. Oreng di bawah hidung seakan-akan menjadi gantungan pigura bagi lukisan bibir Sekar yang mengembang sempurna. Sama memukaunya bibir Sekar sewaktu mengatup ataupun membuka.

Kedua lengannya yang lurus berisi, terlihat seperti tumbuh dari horison bahu yang seimbang. Kulitnya putih bersih bak mutiara. Pinggulnya? Amboi, semua laki-laki dan perempuan tahu cara melukiskan keindahannya. Sekar lebih mirip bidadari ketimbang perempuan biasa yang menjadi istri seseorang.

Orang-orang menggunjing tak henti, mereka membandingkan Rawi dan Sekar. Jauh panggang dari api, kata Gisah pada Yumnah. Gisah yang semula hendak beranjak dari warung Yumnah, urung berlalu manakala Yumnah menanggapi obrolannya. Keduanya sahut-menyahut, mulut mereka menjalar ke mana-mana.

"Apa yang dilakukan Rawi sampai dapat perempuan secantik itu...?" ujar Yumnah nyinyir mengulang-ulang perkataan penduduk dusun selama ini.

"He, apa kau tahu sudah sebulan ini Rawi tak terlihat di kebun? Dari mana Sekar dapat uang pergi belanja ke kota, beli belasan kilo daging sapi di pasar. Nipah melihat Sekar belanja di lapak daging Haji Derip, kata Nipah, Rawi mau ruwah, entah apa hajatan mereka...," kata Gisah.

Baca juga: Curanmor

Tentu saja orang-orang bertanya-tanya. Bekerja sepanjang tahun pun Rawi tetap miskin. Ditambah pula sudah sebulan tak bekerja.

Baca juga: Puisi: Mitokondria

Sejak usianya 14 tahun, Rawi bekerja jadi buruh petik kopi di areal perkebunan milik orang yang tinggal entah di mana. Menggantikan ibunya yang telah tiada. Ibundanya ditemukan tewas di kebun kopi dengan kedua tangan putus akibat ditebas parang. Menurut desas-desus, ibunda Rawi melawan sewaktu hendak diperkosa bos pemilik areal kopi. Tak ada saksi, tak ada bukti, kisah itu lenyap ditelan keheningan kebun kopi yang sangat luas.

Hamparan perkebunan kopi itu sejauh mata memandang. Sebagian kecil areal masuk wilayah dusun Sau di kaki gunung. Sau berada di dataran tinggi sekitar 1.300 meter dari permukaan laut, membuat tempat itu sejuk sepanjang tahun.

Gadis-gadis di sana berkulit halus, meski hanya beberapa yang berwajah ayu. Sementara para pemudanya juga memiliki kulit yang tak gelap. Mereka bersenda gurau sepanjang waktu memetik buah kopi. Saling menggoda mengundang jodoh dan selalu berakhir di pelaminan. Bagaimana hawa sejuk pegunungan membuat orang-orang muda terlihat lebih menawan?

Namun ganjil bagi orang yang melihat Rawi. Pemuda itu bertubuh bungkuk dengan wajah jelek. Para pemuda yang merasa rupawan akan menyapanya dengan panggilan si buruk rupa. Sapaan itu segera membuat gadis-gadis melihat si pemuda semakin tampan karena kontras dengan Rawi si buruk rupa.

Rawi tak lagi peduli, dia cukup menghibur dirinya dengan menghabiskan waktu bekerja sepanjang hari. Namun saat satu hari libur dalam sepekan, Rawi tak penah terlihat di dusun. Menurut Soman mandor kebun, Rawi selalu menuju gunung Sau. Tapi tak pernah ada yang mau tahu ke mana Rawi di tengah pepohonan yang saling merapat seluas gunung itu.

Sewaktu bekerja di kebun, Rawi tak banyak bicara sepanjang dua jam memetik cherry, buah kopi siap panen yang berwarna merah. Hanya Soman yang perhatian padanya. Sering Rawi diberi kerja tambahan merambang buah kopi dengan cara merendam agar kualitas cherry pilihan terpisah dari buah apkir yang mengambang.

Saat merambang mereka berbincang banyak hal. Rawi tak segan menceritakan apa saja yang dia alami, termasuk kesulitan-kesulitan hidupnya, kecuali satu hal yakni mengenai yang dilakukan di gunung sewaktu hari libur.

Soal lain, Rawi merasa nyaman bercerita pada pada Soman. Begitu pula Soman yang terbuka pada Rawi, kecuali pertanyaan terkait ibunda Rawi yang tak pernah mau dibicarakan Soman. Konon Soman mengetahui kejadian di kebun kopi 15 tahun silam itu.

Soman lebih tepatnya simpati pada Rawi akibat peristiwa yang menimpa ibundanya. Sesekali Soman juga memberikan sekadar uang isi dompet dan lebih banyak mengajaknya bercanda ketimbang bicara serius. Soman paling sering menggodanya perihal gadis-gadis dusun yang mungkin bisa dipersunting Rawi.

"Gadis mana yang sudi pada si buruk rupa seperti aku, Kang," balas Rawi sembari menadah buah kopi yang mengambang dengan kedua tangannya.

"Oh ya Wi, mungkin kau mau menceritakan apa yang kau cari di gunung menghabiskan waktu sepanjang hari libur di sana," tanya Soman.

"Aku cuma melihat-lihat, Kang."

Jawaban yang selalu sama saat ditanya Soman.

Soman juga tak mendapat jawaban mengenai pertanyaannya tiga bulan terakhir ini. Siapa Sekar, dari mana sebenarnya bidadari itu berasal? Soman yang selama ini tak percaya pada cerita Rawi dan Ratang ayah Rawi, menyelidiki asal-usul Sekar.

Secara kebetulan di bulan kedua sejak Sekar diboyong ke Sau, Soman mendapat tugas ke pulau Endewa. Dia mencari alamat dusun tempat tinggal Sekar di pulau itu seperti yang disebutkan Rawi dan Ratang kepada penduduk Sau. Tapi tak ada seorang pun bernama Sekar di Endewa.

Penduduk dusun Sau yang sama penasarannya dengan Soman, tak tahu cara mencari tahu hingga ke pulau Endewa. Menuju ke sana dilalui dengan menyeberang dua pulau, menumpang kapal kayu dari kota pelabuhan. Sedangkan kota pelabuhan itu sekitar 150 km dari dusun Sau.

Bepergian ke kota terdekat dari Sau saja jarang dilakukan penduduk. Kecuali jika sangat penting dan bagi mereka yang memiliki kendaraan sendiri. Pergi ke kota, penduduk menumpang minibus tua yang datang sekali tiap dua hari ke Sau.

Lalu mau pergi ke Endewa?

Begitu juga Ratang, dia bersikap serupa empat bulan lalu, sewaktu diminta datang ke Endewa oleh Rawi. Ratang tak habis pikir atas permohonan Rawi yang memintanya melamar gadis Endewa.

"Aku tak mau kau kecewa Wi, tapi apa benar ada gadis yang mau menikah denganmu? Darimana biaya untuk semuanya ini? Kapan kau bertemu dengan gadis Endewa? Kau tahu pulau itu di mana, kau tahu Wi....?" wajah Ratang menerawang tak percaya dengan permintaan anaknya.

"Sekali ini saja Bapak, mohon temani aku..."

Penduduk Sau gempar keesokan harinya mendengar berita Rawi hendak melamar gadis. Tak banyak jawaban Ratang pada penduduk yang bertanya padanya di hari hendak menuju Endewa. Lebih-lebih Rawi, diam seribu bahasa. Rawi baru membuka mulut ketika dia dan ayahnya tiba di kota.

Rawi memilih waktu yang tepat untuk membuat ayahnya akan terperanjat kedua kalinya. Sekeluar dari warung makan di terminal kecil kota itu, Rawi berjalan lebih dahulu agar diikuti ayahnya. Mereka menuju sudut terminal, dan di tempat itu Rawi membuka rahasia gunung Sau.

"Pak aku melihat Emak di gunung Sau. Emak menatapku, Pak..." kata Rawi tiba-tiba.

"Bicara apa kau...? Kau meracau. Apa cerita Endewa ini juga cerita meracau hah, Rawi...?!!" balas Ratang gusar.

"Dengarkan dulu Pak.... Emak mencuri sesuatu milik penduduk gunung Sau. Aku kemudian menemukan di rumah benda yang dicuri emak, sudah lama aku kembalikan ke gunung," kisah Rawi.

Ratang seperti tak mau menyimak meskipun Rawi terus bercerita. Termasuk bagaimana pertamakali Rawi melihat ibunya di gunung Sau.

Ibundanya tak memiliki lengan. Bagian rambut yang tumbuh di atas dahi, tiba-tiba saja terurai dan melayang setinggi kepala. Membentuk dua ikatan di sisi kiri dan kanan kepalanya. Lalu menjulur ke depan dan memanjang seperti lengan dengan tangan yang hendak menggapai.

Rawi ketakutan, tapi tetap berusaha menatap ibunya yang seolah-olah membenarkan tindakan anaknya itu hendak mengembalikan benda yang dicuri. Namun tak ada petunjuk apapun. Dia hanya menuruti kata hatinya setelah menemukan benda yang dicuri ibunya. Rawi terus saja masuk ke dalam hutan gunung Sau.

Lelah berjalan menembus hutan yang tebal, Rawi nyaris tak percaya pada kata hatinya, lalu memutuskan membalik badan hendak kembali pulang. Ketika selangkah lagi meninggalkan tempat itu, sekonyong-konyong Rawi melihat sebuah perkampungan.

Mengejutkan...! Sebuah dusun di tengah hutan lebat...? Rawi tak mempercayai apa yang dia lihat. Terpana, tak tahu berbuat apa sampai sesosok laki-laki menggapai tangannya. Membawa Rawi masuk ke tengah kampung.

"Bapak tahu apa yang terjadi kemudian setelah aku mengembalikan benda yang dicuri emak...? Ketika aku dalam perjalanan pulang dari gunung Sau, aku melihat lagi emak. Kini emak melambai padaku dengan tangan kanannya. Sebelah lagi masih tanpa lengan..."

Ibunda Rawi mencuri dua buah batu hitam mengilap. Mirip biji kopi yang apabila diletakkan dalam satu toples penuh biji kopi, sukar menemukan benda itu. Sebuah lagi yang belum dikembalikan masih berada di rumah Ratang. Belum ditemukan.

Sejak mengembalikan satu batu hitam itu sekitar lima tahun lalu, Rawi kerap menuju kampung misterius gunung Sau. Mengabarkan usahanya yang masih terus berusaha menemukan sebuah lagi benda yang dicuri emaknya. Tapi tak cuma mengenai batu hitam, Rawi terpesona kecantikan sesosok perempuan yang kemudian dia namai sendiri di dalam hatinya: Sekar.

Kini Ratang mulai percaya pada anaknya. Ratang setuju untuk melakukan perjalanan palsu ke Endewa. Mereka cukup membuang-buang waktu di kota agar perjalanan itu tampak wajar bagi penduduk Sau.

"Dan sekarang Pak, seorang perempuan akan tinggal di rumah kita. Orang dari kampung gunung setuju perempuan itu menjadi istriku dengan syarat hanya sampai ditemukan sebuah lagi batu hitam itu. Dia sepertinya diutus untuk mencari sendiri benda itu di rumah kita."

Ratang hanya diam.

***

Ribuan pohon kopi dusun Sau telah berusia puluhan tahun. Bibit baru sudah tumbuh dan tak lama lagi siap panen. Pohon-pohon tua itu telah berulangkali mengalami peremajaan dengan cara dikepras batangnya agar tetap produktif. Tetapi pokok yang berusia lebih 30 tahun harus digantikan pohon baru.

Belakangan ini produksi kopi dusun Sau berkurang menanti pohon baru siap panen. Para buruh petik beralih mengerjakan penebangan pohon tua. Menggunakan gergaji tangan dan sejumlah gergaji yang digerakkan mesin. Bunyi mesin itu meraung-raung merong-rong kesunyian kebun.

Hanya buruh laki-laki yang bekerja menebang ribuan pohon sejak sepekan terakhir. Sedangkan para perempuan penduduk dusun Sau menganggur sepanjang menanti panen.

Pagi hari ini para perempuan itu mulai berdatangan di rumah Ratang. Mereka membantu menyiapkan hajatan besok malam. Rawi akan ruwah.

Setelah tiga bulan menikahi Sekar, hidup Rawi semakin membaik. Kata para pemuda, Rawi hendak membeli sepeda motor.

"Aku baru memeriksa beras di gudang Ratang seperti yang diminta Sekar. Tahu kalian apa yang aku temukan...? Sekarung biji kopi. Agak apek baunya, rupanya sudah lama tak dianginkan...," kata Wak Jamin pada orang-orang.

"Mengapa Ratang tak menjual sekarung biji kopinya itu? Bukankah harganya sedang mahal...?" sahut Gisah yang ditingkahi Wak Jamin dengan menganggukkan kepala.

"Bilang pada Sekar, ambilah barang sekilo dua, sebentar lagi kita tumbuk buat ngopi tamu besok," kata Wak Jamin kemudian.

Gisah membawa sekop kecil untuk mengambil biji kopi dari karungnya. Pesan Wak Jamin agar Gisah memilih bagian tengah atau paling bawah karung. Sebab bagian itu paling lembap setelah disimpan selama ini.

Biji kopi yang kini ditampung dalam wadah anyaman bambu itu ditebar Gisah untuk dianginkan. Bunyinya bergemerisak sewaktu biji ditumpah menerpa alas terpal plastik. Memancing perhatian Sekar.

Sebuah benda kecil mirip biji kopi tapi lebih hitam mengilap, langsung mencuri pelihatan mata Sekar. Tak salah lagi, itulah batu hitam milik keluarganya. Rupanya Rawi menyembunyikannya. Tidak seperti ceritanya yang hanya menemukan sebuah...!

Sekar memungut dengan hati-hati batu hitam yang dicuri selama lebih 15 tahun ini. Perempuan itu langsung mengunci erat batu dalam genggamannya. Dia kemudian bergegas masuk ke biliknya, dan sangat lama orang-orang tak melihatnya keluar.

Wak Jamin, Gisah, Yumnah, mencarinya ke sekitar setelah tak mendapat jawaban dari dalam bilik. Namun tak ditemukan di manapun. Orang-orang kasak-kusuk menduga macam-macam kemungkinan menurut mereka.

Perempuan dusun Sae bergunjing kian kemari. Lalu memekik sejadi-jadinya ketika menjelang magrib para lelaki membawa tubuh Rawi yang bersimbah darah. Rawi celaka saat mengoperasikan gergaji yang bunyinya meraung-raung.

Sebelah tangannya putus terpotong rantai gergaji...! []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun