Mohon tunggu...
Muhammad F. Hafiz
Muhammad F. Hafiz Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menulis sebagai profesi dan amal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bansos

27 Maret 2024   09:17 Diperbarui: 27 Maret 2024   09:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Iyat menggigil. Tulang rusuknya bergetar oleh hawa dingin yang menjalar di dalam tubuh. Padahal udara sedang panas sejak berbulan-bulan. Di tengah malam sekalipun.

Hujan yang tak kunjung mengguyur membuat keadaan jadi panas dan gerah. Energi panas disimpan oleh molekul-molekul uap air, mengubah air menjadi gas. Udara memanas oleh peristiwa evaporasi, tapi hujan yang dinanti tak juga tiba. Hujan semestinya mendinginkan tanah dan atap rumah. Sekarang malah jadi hawa panas tak sudah-sudah.

Tapi Iyat menggigil. Suhu dingin berasal dari dalam tubuhnya. Selembar selimut tipis, kain sprei, dan sarung yang dia kenakan, tak sanggup melawan dingin. Di bawah selimut, udara kian pengap mengepung tubuh Iyat. Tapi suhu dingin dari dalam tubuhnya terus menjalar. Mula-mula di telapak kaki, kini dadanya ikut bergemeretak oleh tulang rusuk yang bergetar.

Iyat menoleh ke tepian dipan, melihat bocah laki-laki yang tergolek; nyaris di sisi batas luar tempat tidur. Entah mengapa anak semata wayang Ruhiyat itu selalu membujur di tepi dipan. Seakan-akan memberi ruang lebih lebar kepada Ruhiyat. Berkali-kali Iyat meminta Sahram anaknya itu, agar menjauhi tepi luar dipan namun Sahram selalu melipir.

Mata Sahram terbuka oleh bunyi pelantang di masjid yang membangunkan orang-orang di pagi buta. Pukul 3 pagi, saat keluarga bersiap makan sahur dengan para ibu mulai sibuk di dapur menyiapkan hidangan.

"Ram, Sahram, kau pergilah ke dapur. Masih ada sisa nasi semalam. Kau saja sahur dulu, Bapak tak usah, besok Bapak beli beras," kata Iyat, sama seperti ucapan di malam sebelumnya sejak awal puasa ini.

Ruhiyat mengirit-irit beras. Dia memperkirakan 5 kilo beras cukuplah untuk mereka berdua sampai pertengahan puasa ini. Beras mahal. Sebelumnya Ruhiyat bisa membeli 5 kilogram dengan uang Rp 60 ribu, bahkan cukup dengan Rp 50 ribu saja. Sekarang harganya jadi Rp 85 ribu.

Tak mudah memenuhi kebutuhan dapur jika harga-harga kian melambung. Juga buat Ruhiyat yang sehari-hari bekerja di pelabuhan. Jadi makelar penumpang minibus yang mengantar ke kota orang-orang yang baru tiba dengan kapal fery. Pekerjaan itu tak menghasilkan cukup uang. Sebab dia kalah bersaing oleh makelar lain yang suka memaksa penumpang dengan kata-kata kasar mengintimidasi. Ruhiyat tak memenuhi syarat jadi preman pelabuhan.

Dia lalu memutuskan berhenti dari pelabuhan sejak satu bulan ini. Berpikir membuat cilok dan menjajakan keliling kampung. Cilok digemari semua usia terutama jika campuran daging sapi lebih banyak daripada aci (kanji). Jadilah penganan itu jajanan favorit, aci yang dicolok. Dinikmati dari stik seperti tusuk sate.

Sejak berhenti dari pelabuhan, Ruhiyat menginginkan perubahan pada dirinya. Dia benar-benar terpesona oleh apa saja yang bisa berubah menuju perbaikan. Iyat tak sudi mandek atau meneruskan sesuatu yang buruk. Ruhiyat mendambakan perubahan seperti yang dia dengar dari ucapan orang-orang pintar.

Sesekali dia membaca berita dari surat kabar yang masih dicetak perusahaan media massa. Koran yang ditinggalkan penumpang fery yang mungkin dijadikan alas duduk di atas kapal. Berita-berita itu memuat harapan akan perubahan yang bisa membawa banyak orang menuju keadaan yang lebih baik.

Tapi sudah satu bulan sejak Iyat memutuskan pergi dari pelabuhan, tak juga dia menjajakan cilok. Menghasilkan uang dengan bekerja serabutan membuat dia tak lagi memiliki uang jika tak bekerja. Kini uang di rumah hanya cukup sampai pertengahan bulan puasa.

Meskipun sejak awal bulan Iyat berusaha menghemat beras, tetapi tetap saja tak seperti yang dia rencanakan. Sejak beras di kantung kresek itu mulai menipis, Iyat memilih untuk mengurangi makan. Asalkan Sahram bisa sahur dan berbuka, Iyat cukup hanya makan saat buka puasa saja.

Ruhiyat jadi kurang makan. Dia mengalami penurunan metabolisme tubuh sehingga tubuh tidak mampu memproduksi panas yang cukup. Iyat menggigil. Belum lagi ditambah tidur yang kurang akibat pikirannya berkecamuk. Rupanya kurang tidur dapat mengganggu sistem saraf dan kinerja hipotalamus di otak yang bertugas untuk mengatur suhu tubuh. Ruhiyat kini beku.

"Bapak makanlah. Untuk buka puasa nanti aku bisa minta beras di uwak Nun setelah aku bantu uwak bikin cilok yang mau dijual. Aku juga bisa minta enam tusuk cilok buat lauk kita," kata Sahram menyodorkan piring dengan nasi dan cilok yang dicabut dari tusuknya.

Ruhiyat beku melihat piring penuh nasi. Seberapa sedikit yang dimakan Sahram? Ruhiyat membatin. Badannya membeku.

Iyat mengangsur tangannya dari balik selimut, menyorong piring ke arah Sahram. Bocah kelas 6 sekolah dasar itu terlalu sering mengalah. Tak pantas untuk anak seusia itu. Keadaan serba kekurangan tak membuat anak itu jadi mengutamakan dirinya. Sahram justru lebih peka dengan penderitaan orang lain.

Suatu waktu Sahram membawa pulang mainan pazel yang dijual tukang bas di sekolahnya. Pazel karton yang apabila disusun dengan tepat akan membentuk gambar mobil lamborghini. Mobil orang-orang yang berlebihan uang. Ruhiyat memperhatikan anaknya menyusun gambar itu, tak biasanya Sahram membeli mainan. Dia sering membuat sendiri mainan yang diinginkan.

"Aku tak suka mainan ini. Aku membelinya karena tak ada yang beli di pak bas. Kawan-kawan aku menghabiskan uang mereka belanja cilok. Lagipula mobil ini jelek sekali," ujar Sahram.

Teriris perasaan hati Iyat mengingat-ingat semua yang telah mereka lalui selama ini. Keadaan serba kekurangan harus diubah. Kemiskinan harus disudahi. Semua orang sebaiknya berubah menuju keadaan yang lebih baik.

Sewaktu di pebuhan Ruhiyat pernah melerai perkelahian para makelar penumpang. Mereka berebut duit upah dari sopir minibus yang tak seberapa. Cekcok antarmereka bisa memanas menjadi duel berdarah. Hanya karena upah yang habis ditukar dengan setengah bungkus rokok.

Di tempat kontrakannya Ruhiyat acap mendengar suami-istri bertengkar karena hidup susah. Anak-anak mereka tidur di sembarang tempat dalam rumah kecil yang tak layak. Ada seorang tetangga yang dipenjara karena mencuri dari orang kaya.

Hati Ruhiyat panas mengenang semua kesulitan hidup dirinya dan banyak orang lain. Namun tubuh Iyat dingin menggigil. Terngiang kembali ucapan orang-orang baik yang didengar Ruhiyat di televisi. Orang-orang di ibu kota yang merancang perubahan di tengah-tengah orang lainnya yang salah mengurus negeri ini.

Semangat Ruhiyat menyala-nyala walaupun tubuhnya beku. Dia menyimpan segunung harapan perubahan. Ruhiyat senang, apalagi kini Sahram mulai mengunyah nasi yang semula untuk ayahnya itu. Iyat tertidur dalam kedinginan tetapi saat nanti matahari terbit dia akan memulai perubahan yang diimpikan.

"Tok tok tok... tok tok... tok tok tok"

Iyat terbangun dari tidur sewaktu mendengar bunyi ketukan pintu. Dia mengawasi jam dinding, sudah pukul 9 pagi. Sahram tentu sudah di sekolah pikirnya. Ruhiyat tak mendengar anaknya berpamitan ke sekolah.

"Assalamualaikum, Pak Ruhiyat, boleh buka pintu sebentar? Ada sedikit bingkisan buat Bapak...," ujar seseorang di luar rumah.  

Iyat membukakan pintu untuk sejumlah orang yang dia intip dari balik gorden jendela. Tak seorang pun yang dikenalinya. Laki-laki dan perempuan yang membawa tas besar mirip tas belanja. Beberapa orang memotret dengan kamera hape, lainnya menyapa orang-orang yang ikut menemani mereka menuju rumah Iyat.

"Mohon diterima Pak Ruhiyat, bingkisan dari Presiden. Isinya beras dan kebutuhan pokok lainnya. Semoga membantu ya Pak, bingkisan sekadarnya ini," ungkap seseorang yang diikuti bunyi jepretan rana kamera sewaktu Iyat menerima bingkisan.

Ruhiyat gugup. Dia teringat gambar besar di simpang jalan. Foto presiden bersama seorang anak laki-lakinya.

Iyat kedinginan.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun