Mohon tunggu...
Hafidz Luthfi
Hafidz Luthfi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Setelah gagal berkali-kali karena kepengen jadi orang hebat, sekarang berubah haluan pengen jadi pemulung sampah professional.\r\n\r\nEnjoy ambil sampah !\r\nYeah

Selanjutnya

Tutup

Humor

E C O I S M E

1 April 2014   04:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

ECOISM


Oke, sebelum saya memulai ritual, ada baiknya kita membukanya dengan doa pembuka. Mungkin saya akan terlihat sebagai orang membosankan karena menulis cerita ini, cerita dongeng yang mengurusi masalah sepele tentang plastik bekas jajan anak SD, lalu tiba-tiba memaksa anda menjadi orang paranoid dengan menyodorkan mitos jaman dinosaurus yaitu pemanasan global. Yah, tidak ada salahnya anda memilih menjadi apatis. Sebaliknya, akan sangat menyenangkan menemukan diri anda sebagai orang skeptis, karena saya berani berbicara lingkungan padahal saya tidak memiliki kompetensi dibidang ini, menyalahkan bungkus plastik padahal saya tidak memiliki pengetahuan cukup mengenai industri pengemasan, kimia, biokimia sampai industri perminyakan dan ekonominya, dan pada akhirnya saya akan menjadi orang sok tahu karena mengangkat topik mengenai pemanasan global tanpa memiliki dasar-dasar ilmiah mengenai proses industri, teknik mesin, kebutuhan energi sampai solusi ilmiah guna menanggulangi masalah bukan hanya menyalahkan. Pada titik ini dan pada alinea yang tidak pernah berakhir, semoga saya selalu menjadi orang salah dan berdosa besar. Amien

Bagi saya terminologi lingkungan bukan hanya sekedar halaman belakang dan depan rumah, bukan juga jalan di kampung ataupun sudut-sudut kota, melainkan lebih dari batasan geologi, lingkungan bagi saya adalah tempat apapun entah yang ada dalam ingatan masa lalu ataupun yang hanya hidup dalam visi. Lingkungan adalah segala sesuatu yang membentuk ide bagi saya, maka dari itu saya selalu menyerap bentuk-bentuk dari lingkungan yang pada akhirnya menciptakan pola adaptif. Saya pikir hal yang sama akan terjadi pada semua orang, tanpa terkecuali. Namun lebih daripada itu, lebih daripada sosiologi maupun filsafat ataupun penafsiran pragmatis soal baik-buruk ataupun sebayanya; positif-negatif, lingkungan pembentuk ide saya adalah horizon alam semesta. Jadi jika hari ini saya sedang membahas lingkungan, berarti saya akan membahas apapun tanpa batasan apapun, karena ini menyangkut masalah kehidupan saya berarti sekaligus menyangkut apapun baik yang hidup maupun yang mati di seluruh dunia, dengan kata lain saya berbicara tentang masalah seluruh umat.

Dimulai dari masalah yang besar dulu. Tentu kita semua sepakat bahwa sebagai umat yang hidup di era milenium, kita semua sangat tergantung pada kebutuhan akan energi. Semenjak era industri lahir, semuanya menjadi serba lebih cepat, efisien dan masif. Semuanya beranjak dari ide-ide cemerlang di dunia teknik mesin dan fisika, namun di abad 20, perkara permesinana tidak hanya terkotak pada masalah industri, melainkan secara luar biasa menembus batas-batas sosio-ekonomi dan politik. Kita mungkin pernah mendengar tentang ledakan populasi kupu-kupu berwarna hitam pada era industri Inggris, sekarang kita semua tahu hal tersebut merupakan masalah serius yang ditimbulkan oleh pertumbuhan industri. Saya pikir masalah kupu-kupu tidak menjadi masalah yang lebih serius dimana penyokong utama ekonomi suatu negara sangat tergantung oleh pertumbuhan industri-industri masif. Seperti orang IBM dalam film Pirate of Silicon Valley dengan sinisnya mepertanyakan buat apa membuat komputer untuk orang-orang biasa, sama halnya ketika anda hidup di dekade-dekade awal era industri dimana peningkatan finansial merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan taraf hidup anda, jadi apa perlunya terlalu memikirkan hal-hal detail disekitar anda. Beberapa penelitian di akhir abad 19 sampai abad 20 menunjukan adanya peralihan corak sosial yang cenderung kompetitif dan disintegritas pada daerah-daerah perkotaan dan industri, salah satu contohnya dijelaskan secara menarik oleh Malcolm gladwell dalam bukunya Tipping Point. Penelitian tersebut mengangkat kasus pembunuhan seorang wanita di New York, kota tersibuk Amerika, penyelidikan lebih lanjut menemukan bukti ironis, bahwa pada saat kejadian terdapat setidaknya 30 orang yang mendengar jeritan korban meminta tolong, dan dari sekitar 30 puluh orang tadi tidak ada satupun dari mereka setidaknya menelepon polisi setempat. Penelitian tadi dapat memberikan kita sedikit gambaran mengenai kondisi masyarakat era industri, bagaimana besarnya porsi individual melebihi kepedulian pada lingkungan sekitar, -apalagi masalah kupu-kupu. Sedangkan di era industri sekarang muncul tren "ecotechnology", namun hal ini tidak masuk akal menjadi tren pada era industri awal sampai pertengahan, tentu hal ini disebabkan oleh ketersediaan energi dari masa ke masa. Industri-industri utama menggantungkan diri pada ketersedian energi fosil, dari batu bara sampai minyak. Dengan kata lain, industri menjadi yang paling pantas kita salahkan sebagai biang kerok terciptanya mitos pemanasan global. Memang benar pemakaian energi fosil secara besar-besaran mengakibatkan kadar emisi di atmosfir meningkat, namun saya sepakat bahwa penemuan energi minyak dan teknologi mesin yang semakin efesien merupakan salah satu penemuan paling keren sepanjang sejarah umat manusia.

Ada hal yang menarik di seminar dies natalis IPB ke-45, tepatnya pada 20 Oktober 2008 di Bogor. Saya sendiri tidak pernah menghadiri acara semacam ini. Betapa beruntungnya saya pernah mengenal mesin cerdas bernama google. Ada hal yang menarik untuk dibahas, Prof H. Bomer Pasaribu dalam "Tantangan Pengembangan Agroenergi: Belajar Dari Pengalaman Negara Lain", secara kongkrit menjelaskan berbagai masalah perihal krisis global yang dihadapai oleh dunia saat ini. Krisis global merupakan perpaduan dari krisis di berbagai sektor, mulai dari krisis pangan, energi, finansial sampai yang sulit dipredeksi; cuaca. Untuk menghadapi krisis global, kita tidak bisa memisahkan substansi-substansi penyebabnya, melainkan memandang masalahnya sebagai hubungan keterkaitan. Saya ambil contoh, atara krisis energi dan krisis pangan, mungkin akan sangat sulit mengaitkan keduanya secara langsung, namun dalam skala makro, suplai bahan baku energi harus mampu memenuhi kebutuhan energi global yang cenderung semakin meningkat, sementara ketersediaan bahan baku pangan harus mampu menstabilkan diri dengan laju pertumbuhan dan pola konsumsi penduduk. Karena kapasitasnya tersebut, jaminan kestabilan kedua sektor ini sangat bergantung sekali pada keadaan sosial pada waktu tertentu. Fakta saat ini cenderung menunjukan fenomena negatif, situasi perang di timur tengah yang sulit dikendalikan tentu sangat mempengaruhi ketersedian energi. Sementara itu, faktor cuaca yang sulit diprediksi (dimana anda sekalian dapat dengan mudah menebak implikasi masalahnya berasal dari emisi pemakian energi global) sangat mempengaruhi ketersediaan bahan baku pangan. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya bahwa sektor industri masih sangat tergantung dengan energi fosil, tentu masalahnya akan menjadi semakin serius jika energi fosil yang tersedia di bumi sudah mencapai batas kritis sehingga kita tidak mampu lagi 'memproduksi bbm'. Pada akhir abad 20, para ahli pernah sepakat bahwa ekonomi berbasis hidrogen merupakan alternatif yang efektif guna mengganti kedudukan ekonomi berbasis energi fosil, namun penelitian baru-baru ini menawarkan solusi yang tidak terlalu radikal, beberapa ahli berubah pikiran bahwa inovasi energi lebih cocok dimulai dari biomassa. Pada praktiknya, biomassa di sektor industri transportasi bukanlah bentuk energi utama, melainkan sebagai komposisi campuran pada bahan bakar minyak. Sementara itu, sektor pembangkit listrik mengambil langkah yang lebih halus, dimana batu bara dan gas alam menjadi pilihan utama disamping penggunaan minyak. Hal ini dikarenakan energi fosil masih menjadi energi terpercaya, selain karena masalah teknologi, harga konsumsi bbm relatif lebih ekonomis dibanding opsi energi lainnya. DI Indonesia, masalah bahan bakar minyak sudah menjadi masalah laten, salah satunya adalah tingginya subsidi untuk bbm. Beberapa kalangan beranggapan bahwa subsidi akan meningkatkan jangkauan bahan bakar, namun fakta yang ada sungguh ironis, selain dibelit oleh masalah moral yang brengsek, korupsi contohnya, pada akhirnya program subsidi menjadi sia-sia, anda pasti sudah maklum mendengar wacana kenaikan harga bbm bukan ?

Masalah bbm di Indonesia akan menjadi masalah yang tidak dapat disederhanakan lagi jika para legislatif dan eksekutif tidak mampu memfasilitasi masyarakat melalui akses energi yang lebih baik. Para ahli mengklaim bahwa kendala utama pembaruan energi di Indonesia adalah tingginya subsidi BBM sehingga bahan bakar inovatif seperti biomass tidak mampu bersaing. Di daerah Purworejo misalnya, dimana para petani enggan menjual buah nyamplung ke tempat produksi biodiesel karena harga belinya mentok sampai Rp 1000 per Kilogram. Kasus di Purworejo membuktikan bahwa harga bahan baku biomass tidak didukung penuh oleh pemerintah, padahal daerah ini dikenal memiliki potensi daerah penghasil biodiesel karena produksi buah nyamplung sangat besar.

PROYEKSI POTENSI BBM

Generasi I
Bahan Bakar Minyak Bumi
Diperkirakan sampai 2010

Generasi II
BBM Mix: Bio-diesel dan bio-ethanol
Diperkirakan hingga 2050

Generasi III
Advance Systhetic Fuel: flash pylorosis oil (bio oil), Fischer Tropsch (FT) methanol, dan Hydro Thermal Uprading oil (HTU)
2050 - 2100

Generasi IV
H I D R O G E N
2100

sumber: Prof. Dr H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS dalam seminar "Konversi Nasional untuk Kemandirian Pangan dan Energi Kedaulatan Bangsa"


Dr. Yogi Goswani dalam "Energy Conversation" menjelaskan bahwa pemakaian biomass berada pada skala 11% dari total kebutuhan energi primer pada tahun 2002, meskipun hal ini menunjukan besarnya potensi biomass, namun pemanfaatanya masih jauh dari efisien. Menurut data yang dihimpun oleh IEA pada tahun 2003, pemakaian energi terbarukan berada pada level 13% dari total suplai energi primer, sedangkan biomass menduduki peringkat teratas di sektor energi terbarukan dimana 80% suplai energi terbarukan merupakan produk biomass. Dr. Yogi menambahkan, bahwa biomass di negara-negara berkembang cenderung dimanfaatkan secara tidak efisien, salah satunya konversi yang mentok ke arah tradisional. Karena ketidakefisienan dalam pemanfaatan, membuat sumber energi biomass hanya mampu menyuplai 20% kapasitas energi dari yang seharusnya. Sangat disayangkan jika pemanfaatan biomassa di Indonesia masih tidak efisien hingga kini.
Dalam seminarnya, Prof Bomer pasaribu menegaskan agar Indonesia mencontoh Brazil dan USA. Saat ini Brazil secara luar biasa memimpin sektor energi terbarukan dunia. kesuksean Brazil tersebut didasari oleh kuatnya intergritas berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta dan lembaga penelitian. Sejenak, mari kita tonton sejauh mana pencapaian agroenergi Brazil.
Dari sektor bahan bakar transportasi, implementasi bbm mix (75% premium dan 25% ethanol) sudah dijual di seluruh SPBU Brazil. Sementara di Indonesia, produksi bioethanol terganjal oleh lemahnya regulasi dan buruknya sistem distribusi. Seperti yang diungkapkan oleh kardaya Warnika, mantan Dirjen Energi Baru dan terbarukan kementrian ESDM, bahwa pemerintah kurang cermat dalam mempersiapkan industri bionergi. Sejak diumumkanya Peraturan Presiden No.5/2006, berbagai industri bioethanol skala kecil-menengah banyak bermunculan, namun hal ini tidak berlangsung lama, industri-industri tersebut mulai kehilangan konsumen dan pada akhirnya lenyap. Kasus tersebut membuktikan betapa lemahnya kemampuan pemerintah dalam pelaksanaan mekanisme pasar karena kita tidak mempunyai apa yang dimiliki Brazil, yaitu Badan-badan Khusus yang berkonsentrasi pada industri dan pengembangan energi terbarukan. Sejak tahun 2006 sampai 2008 muncul wacana konsumsi energi terbarukan, berberapa uji coba dilakukan pada SPBU di daerah Malang dan Jakarta, namun sampai saat ini belum ada hasil yang memuaskan, bahkan untuk mendistribusikan komposisi bioethanol 5% di daerah Jabotabek sudah sangat menyulitkan bagi pemerintah.
Brazil memiliki pengalaman mengagumkan dalam pengembangan bioetanol, negara tersebut sudah memulai uji coba penggunaan bioethanol dari tebu pada kendaraan sejak tahun 1925. Saat ini, industri tebu Brazil mampu memproduksi bioethanol sebesar 55% dari total produksi bruto. Sementara Indonesia baru saja menunjukan ketertarikan serius terhadap penggunaan bioethanol dalam skala besar, yaitu pertengahan tahun lalu dimana Pemerintah mulai tertarik berinvestasi di sektor produksi biomass, salah satunya pendirian pabrik bioethanol di Mojokerto. Pabrik tersebut merupakan hasil kerjasama kementrian Perdagangan RI dengan salah satu organisasi energi Jepang, selanjutnya pabrik tersebut akan dikelola oleh PT Energi Agro Nusantar (Enero) dibawah naungan PT Perkebunan Nusantara (PTPN), adapun PT Pertamina diharapkan dapat mengambil peran sebagai pembeli serius. Meskipun kelihatan keren, selalu saja ada masalah dalam praktiknya, sudah sejak tahun 2010 Pertamina tidak mau membeli bioetanol produksi PT Enero, hal ini disebabkan Pertamina menilai kebijakan subsidi bioethanol yang diberikan pemerintah masih terlalu kecil. Selain tebu, ada hal menarik di sektor kelapa sawit, seperti yang sudah diketahui, Indonesia dan Malaysia menyuplai 85% dari total produksi kelapa sawit dunia, namun hal ini juga berimbang dengan reputasi kedua negara sebagai perusak hutan paling bersemangat di dunia. Berbeda dengan Brazil, dimana kawasan hutan Amazon cenderung dimanfaatkan sebagai kawasan peternakan daripada digunakan sebagai perkebunan masif seperti kelapa sawit, lucunya permasalahan kerusakan hutan di Amazon diakibatkan oleh peternakan. Saya pikir jika dunia mengkritisi Indonesia karena kerusakan hutan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit, seharusnya kita mampu mengejek Brazil dengan industri peternakan yang lebih baik. Yah, ini akan sulit kalau moralnya tetap brengsek bukan? Jangkrik... Jangkrik....!
Mari kita melihat fakta di lapangan, bagaimana memalukanya masalah asap di Riau. Masalah laten saya pikir, namun mulai kabur dari waktu ke waktu, jika saja media memiliki kapasitas yang kritis dalam penyampain masalah ini, boleh juga media yang secara luar biasa menciptakan sosok Jokowi, namun apakah banyak orang tahu bahwa sosok tersebut memiliki signifikan dalam bidang kehutanan ?
Kembali mengenai topik utama kita, ternyata kelapa sawit bukan opsi yang tepat sebagai bahan baku biomass, hal ini dikarenakan komoditas kelapa sawit merupakan salah satu penyokong utama dari ekonomi pangan global, dengan kata lain, pengalihan komoditas ini kearah prosuksi energi akan menyebabkan ketidakstabilan pangan. Ada beberapa sektor yang seharusnya mampu dimaksimalkan Indonesia jika ingin menjadi pemain utama di era energi generasi II, yaitu sektor perkebunan non-pangan dan sektor peternakan yang terintegritas dengan memakai metode maupun teknologi inovatif. Maksimasi sektor prosuksi akan tercipta dalam kondisi sehal wal-afiat jika pemerintah mampu menciptakan iklim birokrasi dan hukum yang baik, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui perancangan undang-undang tentang pengelolaan dan pemanfaatan pertanian yaitu "Bill to Provide for the Continuation of Agricultural Programs Through Fiscal Year 2012, and for Other Purposes". Sebagai catatan, yang saya beri tanda quote itu punya kurang lebih 1000 halaman yang terdiri dari 11 judul.


Setelah panjang lebar membahas persoalan-persoalan makro, ada baiknya kita tidak melupakan masalah mikro. Di tulisan yang sangat tidak ilmiah ini, saya ingin mengungkapkan berbagai pikiran maupun perasaan saya berhubungan dengan 'masalah-lingkungan', saya pikir akan lebih baik ditulis saja daripada harus dipendam. Dari masalah kemasan plastik bekas jajanan anak SD misalnya, saya pikir pemerintah perlu menciptakan asosiasi pedagang asongan pecinta lingkungan atau bisa disingkat ASETPEL. Saya serius loh, mungkin anda semua berpikir saya ini ngelawak, tapi coba anda berpikir dengan cara pandang berbeda. Mungkin bagi sebagian besar masyarakat, membuang bungkusan permen tidak akan menimbulkan masalah lingkungan yang serius, inilah masalahnya, ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah-masalah kecil mencerminkan buruknya sistem sosial yang bekerja. Sistem sosial yang saya maksud disini adalah sikap inisiatif dan cara berpikir masyarakat, para pedagang kaki lima contohnya, seharusnya mereka mampu memberikan kontribusi terhadap kebersihan lingkungan dan pencegahan bencana alam, cukup dengan menyediakan tempat sampah dan diimbangi dengan penyampaian kepada para konsumen agar membuang sampah pada tempatnya. Sepele memang, tapi coba anda berpikir lebih jauh, seringkali kita kesulitan menemukan tempat pembuangan sampah hal ini tidak hanya disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan fasilitas pembuangan sampah oleh pemerintah daerah, namun pada beberapa waktu ruang publik mencapai jumlah pengunjung maksimum sehingga efektifitas fasilitas tempat sampah menurun drastis. Maka dari itu kontribusi pedagang kaki lima menyediakan tempat sampah di dekat daerah dagangan akan meningkatkan efektifitas pembuangan sampah, bahkan sekaligus mengurangi dana dan tenaga pemeliharaan raung publik. Jika anda masih menganggap ini sepele, ada baiknya anda tahu tentang teori "broken window", penggagas teori ini adalah pakar kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling. Teorinya begini; awalnya ada satu orang melihat satu jendela yang pecah di sebuah rumah kosong, karena yakin tidak akan terjadi masalah serius, beberapa orang yang sering melewati rumah itu memecahkan satu jendela lagi, hingga pada waktu tertentu terjadi fenomena tipping dimana semua jendela ditemukan pecah dan musababnya didasari secara sadar oleh para pelaku. Fenomena jendela pecah tadi sama halnya dengan graviti ilegal, ketidakteraturan, corat-coret, pelanggaran sampai pemalakan. Mungkin para pemakai fasilitas kereta bawah tanah New York perlu berterima kasih kepada menajemen era David Gunn di pertengahan tahun 1980 dimana angka kriminalitas yang terjadi di fasilitas kereta bawah tanah New York meningkat tajam. Pada waktu itu, perusahaan yang memperkerjakan David Gun sedang gencar menyelesaikan proyek peningkatan fasilitas kereta bawah tanah, padahal perusahaan tersebut sudah merugi besar bahkan hampir bangkrut dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam proyek perbaikan. Beberapa orang menyarankan Gunn agar lebih fokus pada masalah-masalah teknis, namun dia percaya bahwa perbaikan harus dimulai dari masalah-masalah yang lebih kecil dulu, seperti masalah graviti, rusaknya sarana pendukung sampai gerbong yang dicoret-coret. Walhasil angka kriminalitas di fasilitas kereta bawah tanah New York menurun secara menakjubkan dan saat ini kita tahu betapa kerennya fasilitas kereta bawah tanah di New York City.
Meskipun kemasan plastik bertanggung jawab dalam masalah lingkungan global, pemakaian bahan plastik telah banyak mengubah situasi perekonomian dunia dimana sektor-sektor industri dapat meningkatkan daya tahan produk. Pengaruhnya sangat terlihat di sektor industri pangan dimana selain memperpanjang umur produk, pendistribusian menjadi semakin praktis bahkan sampai skala ekspor-impor dan pada akhirnya berubah sebagai alat kompetisi dengan memanfaatkan desain pengemasan. Saya pernah mendengar beberapa universitas mulai mengembangkan teknologi yang memungkinkan sampah dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi, ada pula salah satu SMK di Madiun melakukan demo mesin sepeda motor dengan bahan bakar plastik, konsepnya sangat sederhana dimana plastik yang unsur kimianya diturunkan dari minyak 'dibalikan' lagi sehingga mempunyai sifat kimia yang sama dengan bbm dan pembakaran yang dihasilkan cukup untuk kapasitas mesin. Aplikasi plastik dalam industri pengemasan memiliki arena tersendiri yang terus berkembang, selain karena kebutuhan plastik bergaris lurus dengan tingkat produksi industri, pengemasan dapat mempengaruhi aspek psikologis, sosial, perdagangan sampai budaya dalam masyarakat. Saya pikir pemerintah perlu tegas dalam regulasi pengemasan plastik, atau akan jauh lebih baik lagi jika para pelaku bisnis maupun industri secara sadar mengusung kesepakatan pengemasan plastik yang ramah lingkungan. Bukankah tren "eco" dapat dimanfaatkan ?

Biasanya saya tidak terlalu bagus membuat kesan akhir, maka dari itu di alinea ini, saya akan coba sesuatu yang disederhanakan saja. Ada kegelisahan yang selalu menghantui saya ketika berada di jalanan akhir-akhir ini, bukan preman atau anak alay, namun kali ini malah berasal dari kalangan politisi. Mungkin pohon memang tidak punya rasa sakit, mungkin juga tempat ibadah dan sekolah dasar hanya tempat tak bernyawa, namun bukan menjadi alasan sehingga politisi dan antek-anteknya seenak lubang pusarnya sendiri pasang alat peraga kampanye !
Padahal pelaksanaan dan pemasangan alat peraga kamapnye sudah diatur dalam aturan KPU tahun 2013, tapi sayang sekali ternyata peraturan ini kurang memiliki kekuatan hukum yang tegas sehingga oknum-oknum pelanggar tidak harus berpikir panjang lebar jika teguran datang, itu masalah praktis sepraktis politiknya. Ayolah, malu saya jika harus memilih seseorang yang nantinya akan menata linkungan saya, kota saya sampai negara saya. Menata pajangan foto saja tidak rapi dan ngawur, apalagi jika harus menata negara(?). Oke ini memang masalah sepele, namun seandainya mereka berpikir seperti yang David Gunn pikirkan, publikasi alat peraga kampanye yang tersistem dan kreatif bisa menjadi trendsetter bagi pemasaran informasi.
f i n


Referensi
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/10/121028_indobiofuel.shtml
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/06/058388356/Harga-Nyamplung-Rendahi-Petani-Malas-Menjual
http://www.esdm.go.id/berita/323-energi-baru-dan-terbarukan/3055-perkembangan-biofuel-dibeberapa-negara.html
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/20/090505810/2025-Pertamina-Ingin-15-Persen-BBM-dari-Bioenergi
http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/lihatAbstrak.jsp?id=20249657&lokasi=lokal&template=abstrak.detail.template
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/20/090505810/2025-Pertamina-Ingin-15-Persen-BBM-dari-Bioenergi
http://e360.yale.edu/feature/in_brazil_palm_oil_plantations_could_help_preserve_amazon/2415/
http://e360.yale.edu/feature/controlling_the_ranching_boom_thatthreatens_the_amazon/2176/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun