Sedikit merajut topik, lain lubuk lain airnya, lain pula ikannya, begitupun dengan nasib bang Jokowi, beda orang di solo, beda orang dijakarta tetapi sama niat baiknya sampai tujuan ahir kepemimpinannya. Dijakarta apapun ada, entah itu masalah atau sebuah prestasi, semuanya berjalan bendampingan tak tahu sampai kapan. Jakartapun bagai magnet, ibaratnya menarik apapun yang mengandung besi, sehingga semakin berat untuk digenggam sendiri. Jakarta bukan hanya milik etnis Betawi, tetapi etnis dari Sabang sampai Merauke ada disini, hal ini menjadi sulit untuk mudah dikuasai, seperti kata pepatah, banyak kepala banyak suara banyak pula niatnya, jadi semakin banyak pertentangan yang bakal dihadapi.
Lantas bagaimana bang Jokowi mengatasi permasalahan ini, ketika segala permasalahan digeneralisir rumusannya antara satu dengan yang lain, maka belum tentu hasil ahir akan sama, pemimpin punya pengaruh dalam setiap hal, tetapi apakah dia mampu mempengaruhi hal yang dianggap sudah terlanjur jadi budaya, karna budaya dijakarta itu seperti buah simalakama, sebab dan akibat menjadi sebuah pilihan yang kompleks, harus bisa mengambil keputusan yang sepenuhnya tidak bisa setengah-setengah. Iklim yang terjadi pun selalu berubah-ubah dalam setiap saat, ketika jakarta sibuk dengan PR ditahun sebelumnya, jakarta sudah terprovokasi dengan proyek-proyek rancangan ibukota masa depan, sehingga fokus pemimpin terpecah, mau sampai kerumah tepat waktu tetapi kaki berjalan masih merangkak, saat semua dituntut cepat tetapi cara menyelesaikannya lambat, alasan begitu banyak didapat padahal kerjaanya saja belum selesai, budaya yang seperti ini yang sudah merasuki kesektor-sektor kepemerintahan paling bawah dijakarta.
Lantas apakah mau disamakan pengalaman yang pernah didapatnya disolo dengan pengaplikasian dijakarta, masih kurang fight jika bekerja sambil turun kelapangan dijadikan sebuah tolak ukur kepemimpinan, masih kurang fight jika mengkritisi saja tanpa dibarengi tindakan yang terealisasi karna lagi-lagi dibenturkan dengan “budaya bawaan” yg ada dijakarta, sungguh memang bukan perkara mudah menghasut kota yang sudah tua jika tidak ada tindakan yang bisa dipercaya olehnya, jakarta mau dibawa kemana jika bang jokowi harus “terpaksa” mengikuti budaya yang telah ada.
Nah,, jika bang Jokowi tetap menggunakan cara lama hanya kemasan baru dari penampilannya, nasib ibukota akan sama saja, bahkan bisa terus tercebur dalam keterpurukan, ketegasan dan keberanian yang diharapkan bisa dibawa oleh kepemimpinan bang jokowi, Pencitraan Pro rakyat yang telah dibangun tinggal direalisasikan olehnya, betapa gelisahnya jika masyarakat jakarta yang lagi-lagi harus dibenturkan oleh masalah yang sama, karna hanya keledai yang seharusnya seperti itu.
Bukan perkara mudah memang berharap hanya dipundak bang jokowi semata,tanpa dukungan yang sejalan dari masyarakatnya, karna merekalah faktor penting dalam bagian perubahan, budaya yang telah lama ada harus diluruskan jika memang mereka bisa memerima kebijakan baru demi perubahan yang diharapkan di ibukota, banyak faktor lain lagi yang harus diantisipasi, legislatif salah salah satunya yang senantiasa membayangi bisa saja menjadi kerikil tajam dalam setiap kebijakanya, terlebih mereka punya kacamata politik yang tidak bisa dilepaskan untuk urusan birokrasi negara, hahh,,, mau sampai kapan jiwa nasionalisme tersekat seperti ini karna alasan kepentingan golongan. Lalu isu Sara yang sempat menggerogoti kepercayaan masyarakat jakarta, karna sentimentil agama bisa menjadi bom waktu jika tidak bisa meredamkanya, etnis pun mulai membangun pondasi-pondasi bangunan agar mampu mengayomi komunitas dalam kehidupan disana, persaingan jadi semakin ketat, entah dalam hal apapun, jika tidak bisa melebur itu semua persatuan yang diharapkan dalam kepemerintahan dimasyarakat menjadi hal yang tabu. Dalam hal ini mau tidak mau bang jokowi dituntut obyektif dalam mengambil aturan dan kebijakan karna dampaknya akan memperkeruh panasnya situasi ibukota.
Bang jokowi yang terkesan Pro rakyat tinggal membekali diri dengan tindakan realisasi dari janjinya kepada masyarakat, terlebih kaum proletar jakarta, jika mereka direlokasi demi kepentingan kaum borjuis, sudah barang tentu imej yang terbangun akan runtuh, dan jika bang jokowi mencatat sejarah berani mengurangi ruang gerak kaum kapitalis, dirasa jenjang kepemimpinannya akan lama seperti disolo, karna sikap seperti ini dari pemimpin rakyat yang slalu ditunggu-tunggu masyarakat jakarta terlebih yang mayoritas mengengah kebawah.
Best Regars,
“Kaki-kaki kecil Perubahan”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H