Mohon tunggu...
Hafis Muaddab
Hafis Muaddab Mohon Tunggu... Penulis lepas, pendidik, dan relawan sosial -

Pembelajaran peradaban dan pejuang kemanusiaan www.hafismuaddab.com www.tebuirenginstitute.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Personal Branding dan Kecerdasan Mengeksekusi

2 Februari 2014   21:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata “brand” tentu tidak jauh dari sebuah nama, istilah, tanda, simbol atau desain, yang bertujuan untuk mengidentifikasikan sebuah barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen dan berfungsi sebagai pembeda dari kompetitornya. Brand atau merek menjadi penting sebab merepresentasikan persepsi dan perasaan konsumen terhadap sebuah produk dan kinerja dari produk serta apa saja yang berarti bagi konsumen. Merek ada di dalam pikiran konsumen dan nilai sebenarnya dari merek yang kuat adalah kemampuannya untuk menangkap keinginan dan kesetiaan dari konsumen.(Kotler, P. dan Amstrong, G., 2006). Sedangkan Branding adalah kumpulan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan atau seseorang dalam rangka proses membangun dan membesarkan brand (Amalia E. Maulana, 2010).

Lebih jauh dalam kehidupan, seperti dalam bisnis, branding lebih efektif, kuat, dan berkelanjutan daripada penjualan dan pemasaran dan cara yang efektif untuk menghilangkan pesaing. Sebab hdalam perkembangannya brand adalah tentang mempengaruhi orang lain, mengaitkan persepsi dan perasaan tertentu dengan identitas. Hingga pada akhirnya branding tidak hanya untuk perusahaan lagi, inilah yang kemudian disebut personal branding. Ini adalah strategi posisi di belakang dunia orang paling sukses, seperti Oprah Winfrey, Michael Jordan, Donald Trump, Richard Branson dan Bill Gates. Karena itu penting untuk merek Anda sendiri dan menjadi CEO dari kehidupan Anda. Banyak definisi personal branding yang bisa ditemukan dalam literature seperti (Peters, 1997; Hansen, 2007; Montoya, 2005a; McNally & Speak, 2003, Aruda, 2007):- sebuah persepsi atau emosi yang dijaga dalam kondisi baik oleh diri sendiri dan bukan orang lain. Personal Branding adalah tentang membangun persepsi secara efektif mengelola dan mengendalikan dan mempengaruhi bagaimana orang lain memandang Anda dan memikirkan anda. Memiliki personal pranding yang kuat menjadi semakin penting dan merupakan kunci sukses individu.

Lalu apabila kita kaitkan dengan konsep branding ini pada pribadi seorang guru, khususnya untuk guru sertifikasi. Tentu sangat jarang dari para guru ini yang menyadari bahwa “personal branding” digunakan untuk melengkapi tugas-tugas guru itu sendiri untuk dalam pendidikan dan pembelajaran disekolah. Terlebih konsep “personal branding” mampu mengarahkan persepsi seseorang terhadap sesuatu. Tentu akan sangat positif sekali jika ini dimiliki guru dalam rangka pendidikan nilai kepada siswa di sekolah.

Bukan Memperkaya Diri

Guru merupakan pekerjaan profesional, yang memerlukan keahlian khusus. Untuk dapat mencapai sebutan guru profesional, menurut Dawam (2011), memerlukan beberapa kondisi minimal. Guru yang demikian ini tidak mungkin terwujud dengan hanya memenuhi salah satu dari kebutuhan ruhani, jasmani, atau sosialnya saja akan tetapi semua kebutuhan tersebut harus terpenuhi walau dalam standar minimal.

Untuk memenuhi ketiga kebutuhan itu dibutuhkan adanya usaha yang harus dilakukan, baik secara internal maupun eksternal. Usaha internal merupakan upaya yang dilakukan oleh diri guru itu sendiri untuk dapat memenuhinya. Sedangkan usaha eksternal merupakan dukungan atau bantuan yang diberikan oleh pihak lain dalam rangka memenuhi kebutuhan guru tersebut. Salah satu bentuk bantuan eksternal datang dari pemerintah, yang dalam hal ini dibatasi pada upaya pemenuhan kebutuhan jasmani. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pemerintah sejak tahun 2006 telah melaksanakan kebijakan tentang sertifikasi guru. Pelaksanaan kebijakan sertifikasi merupakan tuntutan perundang-undangan. Sertifikasi guru telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen, yang merupakan bukti formal pengakuan sebagai tenaga profesional. Kebijakan ini dimaksudkan agar guru dapat meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya sesuai dengan bidang keahliannya. Apabila berpedoman dengan kenyataan yang ada di lapangan, tujuan tersebut masuk akal mengingat, seperti yang diungkapkan oleh Saroni (2011), cukup banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi sesuai dengan tugas dan kewajiban pendidikannya.

Penerapan kebijakan tentang sertifikasi guru, kemudian berlanjut dengan pemberian tunjangan profesi. Setiap guru yang telah memiliki sertifikat pendidik, diberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Pemberian tunjangan ini merupakan langkah yang sangat tepat dalam rangka peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru. Sehingga pemberian tunjangan profesi ini pun perlu dimakna secara mendalam. Terlebih kesejahteraan yang diterima adalah untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya secara profesional.

Tetapi fakta yang ada menunjukkan bahwa sejak penerapan kebijakan tentang sertifikasi guru disaat yang sama para guru terjebak pada konsumerisme dan budaya simbolik, dalam bentuk kendaraan dan aksesoris mewah. Padahal sesungguhnya kesejahteraan dan kekayaan memiliki makna (pengertian) yang berbeda. Tentunya cita-cita ideal menciptakan guru profesional melalui peningkatan kualitas keprofesionalan secara berkelanjutan sulit terwujud, jika guru tetap demikian.

Perlunya Kecerdasan Mengeksekusi

Keberadaan e-mailcellphonemessengernews alertsocial mediaTV program, dan berbagai bentuk media informasi lainnya, sedikit banyak telah mempengaruhi kecerdasan eksekusi kita sebagai individu. Begitu banyak stimulus informasi beredar saat ini yang membuat kemampuan kita untuk berfokus menjadi berkurang. Di tahun 2008 saja, kita telah mengkonsumsi ledakan media 3 kali lebih besar setiap harinya dibandingkan dengan tahun 1960. Nora Volkow, Direktur NIDA Amerika, seperti dilansir oleh New York Times menceritakan. Pesatnya arus informasi sebagai ‘pencuri perhatian sejenak’, menyebabkan respon dopamin berlebih dalam otak kita menurut pandangan para ilmuwan. Hal ini menyebabkan efek ketagihan akan stimulus informasi. Ketiadaan stimulus dalam jumlah yang biasa kita konsumsi, dapat membuat kita merasa bosan dalam keseharian.

Penelitian di University of California, Irvine, menemukan pula bahwa mereka yang disebut dengan para multitaskers,ternyata lebih sering merasa stres karena kesulitan dalam berfokus dan memilih stimulus informasi yang penting bagi mereka. Penggunaan teknologi komunikasi yang berlebihan, menurut para peneliti di Stanford University, dapat mengikis empati kita karena membatasi interaksi sosial langsung dengan masyarakat. Kondisi ini dapat kita simpulkan sebagai penyebab menurunnya intensitas interaksi orang tua dengan anak, guru dengan siswa, pertemanan teman sebaya, hingga organisasi atau komunitas.

Apabila penurunan intensitas interaksi guru dikaitkan terjebaknya guru pada konsumerisme dan budaya simbolik tadi. Maka lengkap sudah latar belakang mengapa banyak pihak berpendapat bahwa sekolah tidak lagi menginspirasi perubahan. Baik siswa dan guru sibuk pada urusannya masing-masing dan saling tidak mau tahu urusannya masing-masing. Apa kiranya yang akan terjadi saat guru sudah menganggap bahwa urusan siswa untuk belajar, tugas saya hanyalah menyampaikan materi. Saat materi sudah disampaikan maka tanggung jawab itu selesai. Lebih parahnya, dibenak para guru ini hanya terpikir tentang apa yang harus saya lakukan ketika tunjangan sertifikasi cair, bukankah ini sebuah ironi.

Untuk mengembalikan kondisi ini maka semua dari kita harus kembali kepada fokus dan mengeksekusi hal-hal yang bersifat essensial. Pendidikan adalah salah satu fokus yang penting bagi diri kita untuk dieksekusi sepanjang rentan kehidupan. Sebagaimana Jim Rohn pernah mengatakan: “formal education will make you a living and self-education will give you a fortune”. Pendidikan dapat diperoleh baik dilingkungan keluarga maupun disekolah. Sehingga dalam konteks ini para orang tua dan guru sesungguhnya adalah para eksekutor yang sangat handal. Pada mereka seorang anak sedang belajar mengembangkan kemampuannya untuk meraih tujuan yang penting bagi hidupnya. Menjadi penting bagi para orang tua dan guru ini, untuk menghabiskan waktunya secara efektif. Untuk selalu berfokus untuk melihat, membaca, menyimak, membicarakan, dan melakukan hal-hal yang menginspirasi, mendidik, memberdayakan, penuh hikmah, penuh solusi, bermanfaat, penting, dan bernilai bagi kehidupan mereka dan orang lain. Untuk senantiasa aktif terlibat di dalam kelas-kelas pembelajaran dan organisasi pembelajaran. Untuk memiliki semangat untuk terus bertumbuh menjadi lebih baik. Menjadi lebih sehat, lebih cerdas, lebih kreatif, lebih sejahtera, lebih bahagia, lebih bijaksana, lebih berguna. Tentu saja semua hal ini dikarenakan, kita benar menyadari bahwa hidup ini terlalu singkat untuk sekedar menghabiskan usia dan tak memberi arti apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun