derasnya jatuh di jalanan kelam,
di ujung gang, terang remang,
kios martabak berdiri tenang.
Aroma manis, harum menguar,
dari loyang panas yang bergetar,
adonan mengembang, cokelat tersebar,
keju berlimpah, rasa pun menyebar.
Di bawah payung, aku berdiri,
mengamati bulir hujan jatuh bersemi,
menanti martabak matang sempurna,
di tangan si abang, penuh makna.
Hujan menderas, angin berbisik,
dingin merayap, hati menggeliat lirih,
tapi hangat terasa, tak lagi terusik,
dengan martabak ini, segalanya pulih.
Malam yang basah, dingin menggigil,
namun martabak hangat jadi penawar rasa kikir,
di setiap gigitan, ada kenyamanan,
di tengah hujan, manisnya jadi teman.
Rindu akan kota, kenangan yang hilang,
bersama martabak dan rintik yang tenang,
malam ini sempurna, tanpa keluhan,
sepotong martabak, di tengah hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H