Terutama ketika era Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terkuat di Nusantara. Oleh sebab itu, pantun memengaruhi berbagai kebudayaan etnis di seluruh Nusantara meski dikenal dengan nama yang berbeda.
Di Jawa pantun dikenal dengan nama parikan, di Sunda dikenal dengan nama susualan, di batak dikenal dengan nama umpasa, di Toraja dikenal dengan nama londe dan lain sebagainya.
Meski berakar dari tradisi lisan, pantun kemudian ditulis ketika bangsa di Nusantara mengenal tulisan. Utamanya ketika tulisan Jawi diperkenalkan. Oleh sebab itu, potongan-potongan pantun kerap ditemui di dalam naskah kuno yang berisi hikayat-hikayat lama.
Selain itu di Sumatera, unsur pantun juga ditemukan di dalam naskah yang ditulis dengan aksara lokal. Seperti di dalam naskah beraksara Ulu di Bengkulu, Sarwit Sarwono mengungkapkan adanya kaitan antara tradisi berpantun atau rejung di dalam masyarakat dengan tradisi tulis mereka. Indikasi pantun juga ditemukan di dalam naskah Incung di Kerinci.
Pantun dalam Naskah Kuno Incung
Di dalam artikel berjudul Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung,diungkapkan bahwa dari sekian ratus naskah Incung, 15 di antaranya mengandung unsur pantun.
Pantun tersebut ditemukan pada naskah prosa yang ditulis pada media bambu dan kertas. Pantun tersebut umumnya adalah pantun biasa dan talibun.
Meski tidak disusun dalam empat baris, pantun di dalam naskah kuno tersebut diawali dengan kalimat seperti "ini nyanyi aku sapatah, ini pula kata nyanyi, ini pula kata karang nyanyi, ini pantun aku sapatah, ini pantunku sadikit." Kalimat ini memudahkan dalam melacak pantun di dalam naskah prosa.
Pantun biasa di dalam naskah, misalnya pada  naskah bernomor TK 102 pusaka Depati Kuning Nyato dari Dusun Tebat Ijuk, Mendapo Depati VII tertuang unsur pantun biasa yang berbunyi:
tapurung ba'a ka tambang
tiba ditambang manjadi cawan
kasih burung ba'a tarabang
duduk di sini marintang kawan
Artinya: