Dalam pandangan masyarakat Kerinci, padi adalah tanaman suci. Oleh sebab itu, ada pantangan yang harus dihindari dalam memperlakukannya, seperti tidak boleh dibuang dan tidak boleh dipukul.Â
Selain itu, mereka juga menyelenggarakan ritual terkait dengan penghormatan kepada ruh padi (semangat padi) agar mendapatkan panen yang melimpah.
Sebagai masyarakat agraris, penghormatan terhadap tanaman padi tidak hanya berlaku di dalam masyarakat Kerinci tetapi juga etnis lain di Indonesia seperti dalam masyarakat Dayak dan Jawa.Â
Di Jawa, padi dianggap tanaman suci karena tumbuh dari pusar Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan dalam mitologi mereka (lihat Hartati, 2011). Oleh sebab itu Masyarakat Jawa menggelar upacara pada Dewi Sri sebagai dewi pelindung padi saat panen dilakukan.
Namun sesungguhnya, penghormatan tidak hanya dilakukan kepada tanaman padi akan tetapi pada alam secara keseluruhan. Masyarakat adat percaya bahwa hasil panen yang melimpah juga berkaitan dengan keselarasan antara manusia, tanaman dan alam. Alam meyediakan sumber air yang sangat dibutuhkan dalam sistem pertanian padi.Â
Hal ini juga berimplikasi pada cara mereka meperlakukan lingkungan alam di sekitarnya. Seperti, menyakralkan sumber-sumber air baik mata air, sungai, danau, maupun hulu sungai yang kebanyakan berada di dalam hutan, dan melarang tindakan-tindakan yang dapat merusak sumber air tersebut.
Tak sampai di situ, dalam upaya menjaga ketahanan pangan masyarakat adat punya cara tersendiri yaitu menyimpan padi di dalam lumbung.Â
Padi yang sudah dipanen akan langsung disimpan di dalam lumbung. Hal ini untuk menjamin ketersediaan pangan selama setahun ke depan sambil menunggu musim panen berikutnya.
Jika saya menjadi pemimpin, maka saya akan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal ini dalam kehidupan masyarakat dalam rangka menjaga ketahanan pangan.Â