Dulu sekali, nenek dan kakek saya pernah bercerita tentang asal usul padi. Konon buah padi yang ada sekarang tidaklah sama bentuknya dengan padi di zaman nenek moyang. Dulu, bulir padi sebesar buah kelapa. Kulitnya seperti sebuah cangkang yang mirip dengan tempurung kelapa. Apabila cangkang padi itu dibuka maka keluarlah butiran beras dari dalamnya. "nenek moyang kita tak perlu kerja keras untuk menanak nasi, tinggal membuka cangkang padi keluarlah beras yang langsung bisa dimasak menjadi nasi", ujar beliau.Â
Namun para leluhur tidak bersyukur dengan keadaan demikian, mereka tetap mengeluh  karena harus membuka cangkang padi seperti membuka tempurung kelapa tiap harinya. Keluhan mereka langsung dijawab Tuhan dengan mengubah wujud padi seperti  yang sekarang. Bulirnya kemudian mengecil dan mereka pun memerlukan waktu  yang lebih panjang untuk memprosesnya menjadi nasi, mulai dari menjemur, menumbuk, menampi hingga menanaknya.
Tampaknya, cerita  wujud bulir padi sebesar buah kelapa di masa lampau tidak hanya kekal pada masyarakat Kerinci saja.  Di desa Halunuk, Kalimantan, masyarakat adat Dayak Meratus memiliki cerita yang serupa. Mereka percaya bahwa dulunya bulir padi sebesar buah kelapa. Menurut mereka, cerita itu bukanlah mitos belaka. Hal ini dibuktikan dengan benda pusaka peninggalan leluhur mereka berupa cangkang padi seperti batok kelapa yang disimpan di Balai Bayumbung. Namun sayangnya, benda pusaka itu telah musnah akibat kebakaran di masa lalu sehingga tidak bisa dilihat lagi (Lihat di sini).
Meski bukti penting itu telah musnah di pelosok Kalimantan. Namun, bukti adanya padi sebesar buah kelapa masih bisa disaksikan di Desa Selali, Kecamatan Pinoraya, Kab. Bengkulu Selatan. Bentuknya sangat mirip dengan bulir padi dan terlihat ringan bila diangkat. Sebagaimana yang dilansir oleh tempo.co  (lihat di sini), padi seukuran kelapa itu (red. padi besak) dibawa oleh leluhur masyarakat setempat yang bernama Sri Galir-Rajo Mangkuto Alam dari Pagaruyung,  dua ratus tahun silam. Sang leluhur kemudian menanam padi besak itu di Selali dan diteruskan oleh keturunannya. Sebagai bentuk penghormatan, padi besak itu tidak lagi ditanam sekarang. Hanya kulitnya saja yang masih disimpan sebagai pusaka oleh masyarakat. Kulit padi besak itu senantiasa dikeluarkan saat hendak menggelar tradisi turun ke sawah oleh tokoh adat di sana.Â
Sayangnya, cerita dan bukti cangkang padi sebesar kelapa itu tidak didukung oleh bukti arkeologis. Padi yang ada sekarang bentuknya tak jauh berbeda dengan padi yang pertamakali dibudidayakan oleh manusia sejak sekitar 10000 tahun yang lalu. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa budidaya padi pertamakali dilakukan oleh manusia yang menghuni kawasan lembah Sungai Yangtze, di Cina. Budidaya padi kemudian menyebar ke India dan ke Asia Tenggara. Para penutur Austronesialah yang membawa dan menyebarkan cara bertanam padi ke Kepulauan Melayu atau Nusantara. Buktinya berupa temuan sisa padi di Gua Niah Serawak yang berada dalam satu lapisan budaya dengan benda-benda neolitik lainnya. Temuan arkeologi tersebut diperkirakan berasal dari masa 4000 tahun yang lalu.
Baca juga: Bukti Baru Awal Pertanian Padi di Asia Tenggara Ditemukan di Kerinci, Jambi
Lantas bagaimanakah dengan bukti cangkang padi berukuran raksasa tersebut?
Meskipun belum ada penelitian ilmiah terhadap benda-benda yang diyakini sebagai bagian dari padi raksasa tersebut. Namun dari pengamatan saya yang terbatas ini, tampak bahwa benda-benda tersebut sesungguhnya bukanlah bagian dari tanaman padi raksasa. Akan tetapi, bagian dari tanaman lain yang dibentuk sedemikian rupa sehingga terlihat mirip dengan bentuk bulir padi. Utamanya, bagian dari batok kelapa.Â
Batok kelapa sememangnya merupakan bahan yang digunakan sebagai alat takaran beras sejak masa kuno (Hindu-Buddha). Di dunia Melayu lazim disebut dengan istilah cupak atau beruk (istilah beruk ini masih digunakan di Jawa). Satu cupak beras sama dengan sekitar satu setengah liter beras menurut takaran sekarang. Akan tetapi, bukankah batok kelapa bentuknya bulat tidak mirip dengan bentuk bulir padi?
Tidak semua batok kelapa bentuknya bulat. Ada jenis kelapa yang menghasilkan bentuk tempurung lonjong seperti seperti bola american football sehingga sangat mirip dengan bulir padi. Tanaman kelapa biasa pun dapat menghasilkan buah dengan tempurung lonjong meskipun sangat jarang terjadi. Karena kelangkaannya, tempurung kelapa lonjong ini dijadikan sebagai alat takar beras yang berharga dan digunakan untuk orang tertentu, saja (semisal ketua suku) serta dimanfaatkan sebagai alat ritual. Di kemudian hari, sebagai bentuk penghormatan, alat-alat ini dijadikan sebagai benda pusaka, barang keramat bahkan sebagai simbol kebesaran bagi suatu kelompok.
Untuk kasus di desa Selali, Bengkulu, cangkang padi yang diperlihatkan berbeda dengan yang diperlihatkan di tempat lain. Bentuk dan sangat mirip dengan bulir padi sesungguhnya. Bagian atasnya terlihat berlubang dan bagian dalamnya berongga. Tampaknya benda tersebut bukanlah sebagai alat takaran beras. Mungkin saja sebagai wadah menyimpan benih, beras, dan  biji-bijian lainnya. Selain itu, bahannya tidak terbuat dari tempurung kelapa melainkan dari tanaman lain yang belum diketahui.
Bagi saya, yang terpenting bukanlah keberadaan padi sebesar kelapa di masa lalu. Akan tetapi, bagaimana memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari legenda padi sebesar kelapa. Sebagaimana cerita di permulaan tulisan, marilah tetap bersyukur dengan kondisi dan keadaan apapun yang kita terima sekarang. Jika tak bersyukur barangkali Tuhan akan mengurangi anugrah yang Dia berikan kepada kita di masa mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI