Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pseudo-Sejarah dan Kaitannya dengan Kemunculan Kerajaan-kerajaan Baru

28 Januari 2020   21:30 Diperbarui: 30 Januari 2020   05:09 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya melihat tayangan di TV tentang kemunculan Keraton Agung Sejagat di Jawa Tengah beberapa waktu lalu, sikap saya acuh saja. Saya anggap itu hanyalah lelucon yang dilakukan oleh sekelompok orang. 

Namun belum redam berita mengenai Keraton Agung Sejagat, muncul lagi "kerajaan baru" di Jawa Barat dengan nama Sunda Empire. 

Fenomena kemunculan kerajaan baru, tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu di Malaysia, seorang wanita yang dikenal sebagai bomoh atau dukun mengaku sebagai Ratu dari Kesultanan yang ia beri nama Kesultanan alam Kerinchi Tinggi nan Sakti. 

Ia menjual nama wilayah Kerinci di Sumatra untuk menipu  banyak orang di Malaysia. Bayangkan saja, ia menarik jumlah uang yang cukup besar agar seseorang dapat ditabalkan dan dilekatkan gelar bangsawan kepadanya.

Tentu saja gejala sosial ini membuat saya terheran-heran. Apalagi setelah mendengar curaian dari salah seorang petinggi Sunda Empire di acara ILC. 

Di dalam tayangan itu, saya memang tidak sepenuhnya menangkap inti pembicaraan petinggi Sunda Empire (SE) itu. Namun, tampaknya ia berusaha mengaitkan eksistensi SE dengan berbagai kerajaan Kuno seperti Tarumanegara, dengan Alexander the Great, bahkan dengan peristiwa Perang Dunia.

Saya kemudian menulis tanggapan di postingan facebook pribadi yang berbunyi "Kesultanan Alam Kerinchi Tinggi di Malaysia, Keraton Agung Sejagat, dan Sunda Empire adalah aneka buah yang dihasilkan oleh pohon Pseudo-Sejarah. Saya yakin penggagasnya sangat fanatik akan paham pseudo itu". 

Para penggagas kerajaan baru itu, mendasari kemunculan kerajaan mereka dari narasi sejarah yang tidak lazim dan menyimpang dari pengetahuan umum. 

Anhar Gonggong, seorang sejarawan terkemuka, bahkan mengatakan apa yang dikatakan oleh petinggi Sunda Empire tidak pernah ia temukan selama ia belajar, dan menekuni bidang sejarah.

Maka dari itu, narasi sejarah yang disampaikan oleh mereka hanyalah karangan sendiri serta dibuat untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Istilah lainnya adalah pseudosejarah.

Pseudo-sejarah atau sejarah semu adalah sejarah yang dibuat-buat, disusun tanpa menggunakan metode sejarah yang lazim serta tidak berdasarkan pada fakta sejarah yang ada.  

Di antara penciri dari pseudo sejarah ini adalah:

  1. Karya itu mengandung agenda politik dan ideologis/religius. 
  2. Karya tersebut tidak pernah pernah diterbitkan pada jurnal akademik atau dinilai oleh para ahli. Sebagian mereka akan langsung menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku, karena tidak perlu melalui penilaian ilmiah yang ketat.
  3. Bukti yang dikemukakan dalam tulisan mereka adalah spekulasi, kontroversial, tidak merujuk pada sumber yang benar, berat sebelah dan keluar konteks.
  4. Selalu mengatakan adanya konspirasi.

Keberadaan Pseudo-sejarah ini bukanlah hal yang baru bahkan juga muncul di Eropa. Misalnya saja, Henry Lincoln dalam bukunya yang berjudul Holy Blood, Holy Grail, ia menulis bahwa Yesus Kristus menikahi Maria Magdalena kemudian pindah ke Prancis dan melahirkan garis keturunan Raja Merovingia. 

Di Indonesia misalnya tulisan M.O. Parlindungan tentang Tuanku Rao. Ia menulis bahwa penyebaran Islam di Tanah Batak terutama Mandailing berawal dari persekutuan antara Kelompok yang dipimpin Tuanku Rao dan beberapa orang dari marga Batak yang ingin membalas dendam kepada Sisingamangaraja, mereka bersekutu untuk melakukan penyerangan dan mengislamkan orang secara paksa. 

Ada pula pseudo-histori yang menyatakan bahwa Majapahit adalah Kerajaan Islam (Kesultanan) dan Gajah Mada ditukar namanya menjadi Gaj Ahmada. 

Landasannya hanyalah beberapa temuan koin gobok bertulis Arab, tetapi ia menafikan temuan-temuan arkeologi, sumber naskah kuno, catatan asing yang menguatkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha. 

Para pembuat Pseudo-sejarah biasanya menggunakan metode cocoklogi atau metode gutak-gatik-gatuk untuk menguatkan dan membuktikan pendapat mereka. 

Sering kali mereka mengartikan bahasa kuno pada suatu wilayah dengan bahasa lain yang sangat jauh berbeda budayanya. Seperti kosa kata sanskerta  diotak-atik kemudian dimaknai menurut bahasa Austronesia atau bahasa Mesir kuno diartikan menurut bahasa daerah yang ada sekarang. 

Tujuan pembuatan pseudo-sejarah ini beraneka ragam. Ada yang tujuannya politis, mengajak masyarakat untuk mengakui ideologi, organisasi dan kerajaan tertentu. 

Ada yang tujuannya ekonomi, untuk menarik uang dari masyarakat dengan iming-iming tertentu. Adalagi yang dilandasi oleh pandangan etnosentrisme, yaitu untuk mengesahkan bahwa etnis si penulis lebih unggul dari yang lain.

Meskipun dari sisi ilmiah, narasi yang mereka tulis adalah tidak benar dan terkadang tidak logis. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang meyakini kebenarannya. 

Menurut saya, hal ini terjadi karena adanya pergeseran nilai kebenaran di tengah masyarakat. Kebenaran tidak lagi didasarkan pada fakta empiris tetapi pada keyakinan umum. Bila sebagian besar orang di lingkungannya mengatakan itu benar maka itu pasti  benar meskipun secara empiris tidak benar. 

Apalagi untuk sesuatu yang mengesankan, ia akan lebih mudah dipercayai daripada hal-hal yang biasa terjadi.  

Bayangkan saja, bila ada seseorang yang menulis bahwa penemu benua Amerika  berasal dari Nusantara yang dijelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dicerna dan dipahami oleh kalangan awam. 

Tentu akan lebih mudah diterima daripada tulisan sejarawan yang bahasanya terkadang "njilimet" sehingga hanya bisa dicerna oleh para akademisi saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun