Jika Anda pernah berjalan-jalan ke Thailand, mungkin anda pernah menjumpai atau bahkan sekadar mencicipi makanan yang tidak lazim dikonsumsi alias makanan ekstrem.
Berbagai jenis serangga seperti kalajengking, belatung, jangkrik hingga kecoa yang diolah dalam berbagai bentuk kuliner dan dijual secara bebas. Mok Huak misalnya adalah makanan berupa kecebong goreng kering. Jangankan mencicipi, mendengarnya saja sudah membuat kita hilang selera.
Tak jauh-jauh ke luar negeri, di seputaran pasar Beringharjo Yogyakarta berseliweran pedagang kelelewar bakar. Penggemarnya pun cukup banyak, mereka rela datang jauh-jauh hanya untuk mencoba makan tersebut.
Kuliner kelelawar bakar ini dibanderol hanya dengan harga 15 ribu rupiah hingga 20 ribu rupiah per porsi. Kuliner serupa juga banyak dijual di Pasar Tomohon, Mando.
Tampaknya, masing-masing daerah di Indonesia memiliki berbagai makanan ekstrem yang khas, termasuk di kampung halaman saya sendiri. Di sini, masyarakat mengonsumsi salah satu serangga yang dinamakan "sipasin".
Usut punya usut, sipasin ini ternyata adalah nimfa capung yakni bentuk capung saat dalam proses metamorfosis. Sama halnya dengan kecebong atau berudu sebelum menjadi katak.

Nimfa capung termasuk hewan yang ganas, pasalnya mereka adalah predator karnivora dan kanibal. Mereka memakan berudu, anak ikan, dan hewan-hewan kecil lainnya.
Sebelum ke tahap metamorfosis berikutnya, nimfa capung dapat bertahan selama empat minggu hingga empat tahun. Cukup lama bukan?

Sipasin terjerat oleh jaring bersama ikan, lele, dan udang sungai. Namun, terkadang tangkapan sipasin justru lebih banyak daripada ikan atau udang yang memang ditargetkan.

Jangan salah, rasa sipasin ini tak kalah dengan rasa ikan goreng atau belalang goreng apalagi disajikan bersama nasi goreng khas Kerinci yang disebut "nasi ndang".
Berdasarkan cerita orang-orang tua terdahulu, ternyata mereka tidak hanya mengonsumsi nimfa capung atau sipasin tetapi juga mengonsumsi capung atau dalam bahasa lokal disebut semabat atau sepatung. Mereka biasanya mencari capung ini di tepi aliran sungai, tangkapan mereka diolah dengan cara dibakar sejenak dan digiling bersama bumbu-bumbu tertentu.
Bagi saya, sipasin ini bukanlah makanan ekstrem. Soalnya, masyarakat Kerinci sudah terbiasa mengonsumsinya termasuk saya sendiri. Pandangan ekstrem dilayangkan oleh mereka yang sama sekali belum pernah mendengar dan mencicipi makanan ini. Apalagi setelah melihat bentuk sipasin atau nimfa capung yang sekilas mirip jangkrik, serta ditaruh pula di atas nasi. Seolah seperti jangkrik yang merayap di atas hidangan bukan?
Meskipun merupakan kuliner ekstrem yang khas, sipasin goreng ini belum dijual bebas oleh masyarakat. Mereka hanya dimasak untuk dikonsumsi secara pribadi atau bersama keluarga. Tertarik untuk mencobanya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI