Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh para arkeolog dan sejarawan adalah sejak kapan manusia di Asia Tenggara Kepulauan mulai melakukan pertanian padi dan melakukan domestikasi hewan.Â
Bukti-bukti sebelum ini menunjukkan bahwa padi pertama kali dikultivasi di sekitar Lembah Yangtze, Daratan Tiongkok sekitar 10000 tahun yang lalu dan mereka mulai mengembangkan pertanian padi pada lahan basah beberapa millenium setelahnya.Â
Sementara itu di Asia Tenggara, temuan sisa sisa padi tertua ditemukan di Gua Niah, Sarawak, Kalimantan, dalam sebuah tembikar yang berusia sekitar 4000 tahun yang lalu.Â
Temuan ini sedikit kontroversial karena usia pertanggalan tembikar yang bertentangan dengan teori migrasi kelompok Austronesia yang datang ke wilayah ini. Sayangnya, temuan ini belum mampu membuktikan bahwa manusia telah benar benar melakukan pertanian padi pada masa tersebut. Oleh sebab itu, awal mula pertanian padi di Asia Tenggara masih menjadi misteri.Â
Berbagai penelitian dan analisis menggunakan pendekatan saintifik terkhusus pada bidang botani terus dilakukan oleh para arkeolog untuk menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya dengan melakukan analisis polen (serbuk sari), spora dan lain sebagainya dari sampel yang diambil pada lokasi di sekitar situs-situs arkeologi.Â
Analisis ini sebenarnya banyak digunakan oleh para ahki botani, biologi dalam mengidentifikasi tumbuhan namun diserap sebagai ilmu bantu untuk menafsirkan peristiwa masa lalu.
Di dalam ilmu arkeologi, kajian yang khusus membahas tentang hubungan manusia masa lalu dalam memanfaatkan tumbuhan  disebut sebagai arkeobotani. Melalui kajian ini, kemisteriusan awal mula pertanian padi di Asia Tenggara sedikit demi sedikit mulai terkuak.
Dalam sebuah jurnal  vegetation history and archeobotany yang diterbitkan oleh Springer, sebuah artikel yang berjudul "First Palaeoecological Evidence of Buffalo Husbandry and Rice Cultivation in the Kerinci Seblat National Park in Sumatra, Indonesia" memberikan bukti baru awal mula budidaya padi (rice cultivation) yang berkaitan pula dengan peternakan kerbau (bufallo husbandry) di Asia Tenggara khususnya di Pulau Sumatra.
Penulis artikel Setyaningsih dkk (2019: 1-16) membuktikan pendapat mereka  berdasarkan pada analisis palaeoecological multi-proxy, analisis  pollen and spora, non-pollen palynomorphs (NPPs) dan analisis macro-chorcoal yang diambil dari sedimen inti dari hutan rawa Danau Bento (lihat gambar 2), Kerinci, Jambi.
Sementara itu, hasil analisis NPPs dan Pollen menunjukkan keberadaan padang rumput hingga sekitar 3200 tahun yang lalu (sekitar 1200 SM) di sekitar area tersebut yang dimanfaatkan sebagai lahan pengembalaan.