Berbicara tentang Orang Rimba mengingatkan kita pada etnis yang hidup di Pedalaman Jambi. Mereka adalah etnis yang mendiami hutan-hutan di Jambi serta masih teguh mempertahankan adat dan kebudayaan mereka.Â
Orang Rimba atau Anak Dalam sering dipanggil dengan sebutan "orang sanak" oleh saudara mereka orang Melayu yang menetap di dusun-dusun pinggir hutan. Sanak dalan terminologi bahasa setempat berarti "saudara".Â
Jadi hubungan antara Orang Rimba dan Orang Melayu telah terjalin erat terbukti dengan julukan "sanak" (saudara) yang dilekatkan pada mereka.Â
Konon hubungan erat ini tergambar dalam mitos bahwa orang-orang Rimba tidak memakan daging rusa yang mereka dapatkan di hutan melainkan akan diberikan kepada orang Melayu.
Sebaliknya, orang Melayu membebaskan anak Dalam/orang Rimba untuk berburu babi di tanah-tanah ulayat mereka.
Orang Rimba memang masih mempertahankan budaya berburu dan meramu. Mereka berburu babi, labi-labi, biawak, kancil dan lain sebagainya untuk dikonsumsi. Mereka juga gemar mengumpulkan madu, resin, rotan dan getah jerenang untuk di jual di kampung terdekat.Â
Di segi kepercayaan, Orang Rimba menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, mereka percaya kepada roh-roh jahat dan roh-roh baik. Mereka juga percaya adanya kekuatan gaib yang dimiliki tumbuhan dan tanaman tertentu serta kepercayaan kepada roh nenek moyang.Â
Dalam ritual kematian, bila ada salah seorang di antara kelompok mereka yang meninggal, mereka akan pindah untuk meninggalkan hunian sementara yang mereka huni beserta jasad anggota kelompok selama beberapa tahun hingga rasa duka itu menghilang. Tradisi ini disebut dengan melangun.
Satu kelompok Orang Rimba umumnya terdiri dari lima hingga sepuluh keluarga dan mereka dipimpin oleh seorang tetua suku yang bergelar Temenggung.Â
Temenggung inilah yang menegakkan hukum di tengah kelompoknya dan mengawasi klaim tanah-tanah ulayat mereka di hutan. Setiap pelanggaran terhadap hukum adat akan dikenai sanksi berupa denda baik dalam bentuk kain, perkakas maupun binatang buruan.
Sayangnya, hak atas tanah ulayat Orang Rimba kian lama kian tergusur oleh perluasan perkebunan karet dan sawit. Sumber-sumber makanan mereka di dalam hutan kian lenyap.Â
Banyak di antara mereka yang keluar hutan untuk menjadi peminta-minta. Tak banyak pula yang harus mengubah kepercayaan dan adat mereka demi sedikit bantuan yang menyejahterakan.Â
Kasus ini terjadi beberapa tahun belakangan, banyak Orang Rimba yang secara sukarela menjadi muslim demi mendapatkan kartu identitas dan menerima bantuan dari pemerintah.Â
Kasus ini semakin meningkat saat meluasnya program dakwah ke pedalaman. Bahkan Ustadz Abdul Shomad dalam kunjungannya ke Sarolangun, Jambi beberapa waktu yang lalu memualafkan puluhan Orang Rimba.
Perlulah dicermati dari sisi kesejarahan, bahwa eksistensi Orang Rimba di Jambi sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, mereka ini telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu yang notabene beragama Islam bahkan dengan Kesultanan Jambi sejak ratusan tahun yang lalu.Â
Sebagaimana yang dicatat oleh Veth dalam sebuah ekspedisi di Jambi di awal abad ke-19 M maupun yang dimuat oleh Andaya (2018) dalam tulisannya tentang tentang Kesultanan Jambi bahwa relasi antara Temenggung (kepala suku Anak Dalam) dan pihak Kesultanan berlangsung secara harmonis.Â
Veth dan rombongan bahkan beberapa kali bertemu dengan kepala suku Anak Dalam/Orang Rimba atas bantuan pihak Kesultanan. Andaya juga mencatat bahwa Sultan-sultan Jambi menganugerahi para pemimpin anak Dalam/orang Rimba dengan barang barang mewah seperti kain, keris dan tombak.
Bagaimanapun juga Orang Rimba telah berjasa mengamankan wilayah Kesultanan Jambi yang berada di hutan belantara serta membantu Sultan Jambi berperang melawan musuh.Â
Di sini timbul pertanyaan mengapa Kesultanan Jambi sebagai negara Islam tidak mengislamkan suku Anak Dalam/Orang Rimba di masa lalu? Tampaknya leluhur kita di masa lalu memiliki sikap yang lebih bijak dibandingkan dengan kita saat ini. Orang Rimba dibebaskan menjalankan tradisi dan kepercayaannya bahkan para pendakwah pun tidak utus untuk mengislamkan mereka.
Kita harus belajar dari masa lalu, bagaimana para leluhur kita menjalin relasi dengan Orang Rimba. Membantu Orang Rimba tidak berarti harus memusnahkan tradisi dan kepercayaan mereka yang telah eksis selama berabad-abad. Akan tetapi, membiarkan mereka hidup bebas sebagaimana keinginan mereka.Â
Tidak membiarkan para kapitalis merongrong tanah ulayat mereka demi ribuan liter minyak kelapa sawit yang kitapun turut mengkonsumsinya tiap hari. Bayangkan, demi nafsu syahwat kaum hedonis dan materialistis mereka harus kehilangan adat dan tradisi. Bumi ini bukan milik kita saja, mari saling berbagi tempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H