Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kasus Ahmad Dhani Bisa Menjadi Preseden Buruk di Masa Mendatang

4 Februari 2019   21:01 Diperbarui: 6 Februari 2019   01:14 3252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artis musik Ahmad Dhani saat menjalani sidang kasus dugaan ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/4/2018). Ahmad Dhani diduga melanggar Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Bisa dibayangkan pula, bila AD dinyatakan tidak bersalah dan ia kemudian melaporkan balik pelapor untuk kasus pencemaran nama baik. Dalam hal ini, Lembaga kehakiman-pun akhirnya menjadi gelanggang  pertempuran pembalasan dendam kesumat bukan lagi sebagai tempat untuk menuntut keadilan.

Kedua, putusan-putusan hakim terdahulu biasanya dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara serupa di masa datang. Bayangkan saja bila ada ratusan kasus yang serupa dengan kasus AD, tentunya ini akan menguras begitu banyak energi lembaga peradilan di Indonesia, hanya untuk mengurusi masalah sepele. Padahal ada begitu banyak kasus dan perkara lebih penting yang harus diusut dan diselesaikan. 

Apalagi jika ada kasus yang muatan kebenciannya jauh lebih "besar" dari cuitan AD apakah akan dijatuhi hukuman lebih tinggi pula?  Bila demikian adanya, akan berdampak secara sosial di masyarakat. Pertanyaan di atas berkaitan pula dengan alasan pertama seperti yang telah disinggung.

Masyarakat akan termotivasi membuat laporan ke lembaga peradilan demi menjatuhkan orang-orang yang mereka anggap sebagai lawan dan yang tidak disukai. Hanya dengan bermodalkan bukti beberapa potong kalimat kebencian saja, bisa membuat seseorang meringkuk di tahanan dalam hitungan tahun pula. 

Bukankah ini sesuatu hal yang sangat mudah dilakukan? Secara empiris, fenomena tersebut di atas sudah  terjadi, misalnya kasus Rocky Gerung (RG) yang dilaporkan oleh beberapa pihak selang beberapa hari setelah vonis AD.

Ketiga, sudah siapkah pemerintah menghadapi dampak sosial tersebut? Bila terdapat banyak kasus ujaran kebencian yang pelakunya dijatuhi hukuman penjara seperti AD. Bisa-bisa penjara penuh sesak bukan oleh para koruptor, pembunuh, pemerkosa, penipu, mafia narkoba tetapi oleh para terpidana kasus "tetek bengek" ujaran kebencian. 

Apalagi secara kultural, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang suka "mengumpat" dalam meluapkan emosinya di belakang layar, salah satunya melalui media sosial . Saya pun juga mengumpat bila sedang marah meskipun tidak dilakukan di hadapan yang bersangkutan (hehehe). 

Keempat, kredibilitas para hakim yang masih meragukan bagi publik. Bukan hal yang asing lagi, bila hakim di Indonesia banyak yang meringkuk di penjara karena kasus suap menyuap putusan pengadilan. 

Apalagi hakim dalam memutuskan perkara sulit dilepaskan dari unsur-unsur subjektivitas sehingga makin memperlebar ketidakpercayaan masyarakat kepada mereka. Kasus ujaran kebencian bisa menjadi fenomena menarik baru dalam meraup untung dalam dunia mafia peradilan(?)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun