Bisa dibayangkan pula, bila AD dinyatakan tidak bersalah dan ia kemudian melaporkan balik pelapor untuk kasus pencemaran nama baik. Dalam hal ini, Lembaga kehakiman-pun akhirnya menjadi gelanggang pertempuran pembalasan dendam kesumat bukan lagi sebagai tempat untuk menuntut keadilan.
Kedua, putusan-putusan hakim terdahulu biasanya dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara serupa di masa datang. Bayangkan saja bila ada ratusan kasus yang serupa dengan kasus AD, tentunya ini akan menguras begitu banyak energi lembaga peradilan di Indonesia, hanya untuk mengurusi masalah sepele. Padahal ada begitu banyak kasus dan perkara lebih penting yang harus diusut dan diselesaikan.Â
Apalagi jika ada kasus yang muatan kebenciannya jauh lebih "besar" dari cuitan AD apakah akan dijatuhi hukuman lebih tinggi pula? Â Bila demikian adanya, akan berdampak secara sosial di masyarakat. Pertanyaan di atas berkaitan pula dengan alasan pertama seperti yang telah disinggung.
Masyarakat akan termotivasi membuat laporan ke lembaga peradilan demi menjatuhkan orang-orang yang mereka anggap sebagai lawan dan yang tidak disukai. Hanya dengan bermodalkan bukti beberapa potong kalimat kebencian saja, bisa membuat seseorang meringkuk di tahanan dalam hitungan tahun pula.Â
Bukankah ini sesuatu hal yang sangat mudah dilakukan? Secara empiris, fenomena tersebut di atas sudah  terjadi, misalnya kasus Rocky Gerung (RG) yang dilaporkan oleh beberapa pihak selang beberapa hari setelah vonis AD.
Ketiga, sudah siapkah pemerintah menghadapi dampak sosial tersebut? Bila terdapat banyak kasus ujaran kebencian yang pelakunya dijatuhi hukuman penjara seperti AD. Bisa-bisa penjara penuh sesak bukan oleh para koruptor, pembunuh, pemerkosa, penipu, mafia narkoba tetapi oleh para terpidana kasus "tetek bengek" ujaran kebencian.Â
Apalagi secara kultural, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang suka "mengumpat" dalam meluapkan emosinya di belakang layar, salah satunya melalui media sosial . Saya pun juga mengumpat bila sedang marah meskipun tidak dilakukan di hadapan yang bersangkutan (hehehe).Â
Keempat, kredibilitas para hakim yang masih meragukan bagi publik. Bukan hal yang asing lagi, bila hakim di Indonesia banyak yang meringkuk di penjara karena kasus suap menyuap putusan pengadilan.Â
Apalagi hakim dalam memutuskan perkara sulit dilepaskan dari unsur-unsur subjektivitas sehingga makin memperlebar ketidakpercayaan masyarakat kepada mereka. Kasus ujaran kebencian bisa menjadi fenomena menarik baru dalam meraup untung dalam dunia mafia peradilan(?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H