Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ketika Debat Pilpres Terasa Seperti Sebuah Lomba

18 Januari 2019   08:18 Diperbarui: 18 Januari 2019   22:34 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu apakah teknis debat paslon capres-cawapres malam tadi sudah dikaji secara mendalam melibatkan para akademisi atau hanya meneruskan dari sistem yang lalu-lalu tanpa ada perbaikan. Namun, yang pasti debat malam tadi seperti sebuah lomba, lomba berpacu dengan waktu.

Waktu dua menit/120 detik untuk menjawab pertanyaan yang diberikan kepada kedua pasangan calon , bagi saya terasa sangat terbatas. Keterbatasan itu membuat kedua pasangan calon tidak leluasa memaparkan ide dan gagasan mereka. 

Mulut masih ternganga, lidah masih berkelik tahu-tahunya waktu sudah habis.  Jadinya, gagasan yang mereka sampaikan tidak utuh dan pemirsa tidak mampu menyerap inti dan maksud pernyataan mereka. 

Misalnya yang terlihat malam tadi, Kiyai Ma'ruf terpaksa menghentikan ceritanya karena diskak oleh waktu. Padahal itu adalah kesempatan emas baginya untuk mengeluarkan  gagasannya terhadap persoalan bangsa. 

Rasanya KPU perlu menjelaskan kembali maksud diselenggarakannya debat pilpres ini. Apakah hanya sekadar tontonan lomba bagi rakyat sebagai penyemarak pemilu atau memang ajang adu gagasan dan ide kedua pasangan calon. 

Kalau memang ajang adu gagasan kok rasanya tadi malam masih terasa hambar, kaku, dan miskin ide, birahi rakyat termasuk saya masih belum terpuaskan dari jawaban kedua kandidat.

Mestinya saat menyusun teknis debat, KPU harus melibatkan para ahli terutama para psikolog bukan seenaknya "dewe". Terutama soal pengaturan waktu, apakah waktu dua menit untuk menjawab dan satu menit untuk merespon benar-benar efektif bagi seseorang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan atau malah memberikan tekanan psikologis sehingga mempengaruhi kinerja otak sehingga gagasan yang mereka sampaikan kurang maksimal padahal sudah membawa banyak contekan. 

Sebagai contoh, mungkin kita semua pernah merasakan bagaimana rasanya diburu waktu saat sedang ujian.  Ketika masih banyak pertanyaam yang belum terjawab saat menit-menit terakhir selesainya ujian, jantung akan berdegup lebih kencang, nafas terengah-terengah, banyak yang menghela nafas panjang, di saat itu pula otak tak lagi logis.

 Akhirnya menerka atau menjawab asal-asalan menjadi pilihan. Ada pula yang memilih jalan tak logis lainnya yaitu dengan toleh kiri dan tengok kanan untuk menguntit jawaban teman. Itu semua disebabkan tekanan psikologis karena harus berlomba dengan waktu.

Begitu pula dengan kedua kandidat tadi malam, aura ketegangan akibat tekanan psikologis tampak dari mimik wajah dan perilaku mereka. Pada kandidat o1 misalnya, mimik wajah Jokowi terlihat jauh lebih tegang dibandingkan dengan debat 2014 yang lalu. Saat itu ia terlihat lebih santai dan tanpa ragu memberi janji. Begitu pula dengan Kiyai Makruf yang tampak hanya sedikit berbicara. 

Pada kandidat 02, adanya ketegangan tersebut tampak dari Prabowo yang berusaha untuk lebih rileks dengan berjoged dan atraksi Sandi yang memijat punggung pasangannya itu dari belakang. Cukup bisa mencairkan suasana yang begitu tegang.

Ke depannya, KPU seharusnya dapat mengevaluasi  teknis debat sehingga debat yang terselenggara lebih berbobot.  Saya sebagai rakyat ingin kandidat berdebat tidak dalam suasana tegang, dan sangat formal. 

Mereka harusnya berdebat secara santai, tidak dalam pangging yang begitu formal, agar mereka lebih leluasa menyampaikan ide dan gagasan, sehingga apa yang mereka sampaikan lebih mengena serta mampu diserap dan dicerna oleh rakyat. Bukan gagasan terkatung tanpa ujung yang jelas. 

Gagasan dan ide kedua kandidat menurut saya adalah hal yang paling penting dan paling dasar yang harus diketahui masyarakat. Tanpa gagasan dan ide cemerlang, tak akan diperoleh praktik dan implementasi yang maksimal. 

Seorang ilmuwan saja dapat bekerja dengan baik karena mereka dituntun oleh gagasan yang dituangkan dalam bentuk langkah-langkah sistematis. Tanpa gagasan yang jelas, hasil yang didapatkannya mungkin amburadul dan terpaksa harus mengulang dari awal. Apatah lagi dalam menyelanggarakan negara majemuk semacam Indonesia.

Sayangnya tadi malam, saya tidak disuguhi gagasan itu, malahan mendapat suguhan promosi dari apa yang telah mereka lakukan dan hal-hal bersifat teknis lainnya. Padahal teknis yang baik harus di mulai dari gagasan yang baik pula. Apalagi seorang presiden memanglah gagasan yang lebih dibutuhkan. Sementara hal-hal teknis adalah kerja para bawahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun