Dalam tulisan yang lalu, telah dipaparkan mengenai asal usul ayam yang ada di dunia. Para arkeolog menduga bahwa ayam pada mulanya berasal dari wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara sebelum didomestifikasi oleh manusia dan tersebar ke seluruh dunia (lihat di sini: Jejak Migrasi Ayam dari Asia Tenggara ke Eropa)
Kawasan Asia Tenggara memanglah habitat bagi ribuan spesies unggas. Di antara banyaknya spesies unggas itu ada memiliki bentuk yang sangat unik bahkan hanya bisa ditemukan di wilayah tertentu. Hewan semacam ini disebut sebagai hewan endemik. Di Indonesia, masing-masing pulau memiliki spesies unggas yang menjadi hewan endemik misalnya, Burung Cendrawasih di Papua dan Burung Maleo di Sulawesi.Â
Si Abang Pipi, yang merona
Di Sumatra, salah satu spesies unggas endemik yang jarang diketahui oleh masyarakat adalah Burung Abang Pipi atau dikenal pula sebagai Sempidan Sumatra, yang memiliki nama latin Lophura inornata.Â
Unggas yang satu sangat unik ini, tubuhnya memiliki bentuk fisik antara ayam (gallus) dan pegar (pheasant). Sehingga disebut pula sebagai Gallopheasant. Sekilas rupa burung ini memang mirip dengan ayam, ukuran tubuhnya  rata-rata antara 46-55 cm dan banyak menghabiskan waktu di tanah untuk mencari makan. Sempidan Jantan, memiliki bulu berwarna hitam-kebiruan, sementara yang betina memiliki warna coklat-kemerahan dengan bintik di bagian leher dan dada.
Ciri fisik lain dari unggas ini adalah pipinya yang berwarna merah cerah. Oleh sebab itu, orang Kerinci menyebutnya sebagai Burung Abang Pipi  yang artinya merah pipi (merah dalam bahasa lokal abang). Selain itu, di belakang matanya terdapat bintik yang berwarna kuning-kehijauan yang membedakannya dengan spesies Lophura yang lain.Â
Di bandingkan dengan jenis Lophura lainnya yang ada di Asia Tenggara, si Abang Pipi termasuk yang paling polos. Artinya, mereka tidak memiliki embel-embel hiasan jambul di bagian kepalanya. Oleh sebab itulah Tommaso Salvadori di tahun 1879 menyematkan nama "inornata" pada jenis Lophura ini, yang mengandung arti "tanpa hiasan".
Burung Abang Pipi termasuk unggas yang susah dijumpai karena mereka hidup jauh di  kawasan hutan hujan Perbukitan Barisan yang berada pada ketinggian di atas  800 meter mpdl.
Di kawasan perbukitan Barisan bagian Selatan, Abang Pipi banyak dijumpai di dalam kawasan  Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), terutama di sekitar Gunung Kaba Bengkulu, dan Gunung Kerinci, Jambi. Pada jalur pendakian Gunung Kerinci, para pendaki umumnya kerap menjumpai unggas ini saat mereka sedang mencari makan di tanah.
Abang Pipi, Nasibmu Kini
Abang Pipi yang merupakan hewan endemik Sumatra yang hanya hidup di kawasan hutan pada ketinggian tertentu pula. Oleh sebab itu, nenek moyang orang Kerinci di masa lalu menjadikan burung ini sebagai salah satu penanda kawasan hutan yang menjadi wilayah adat mereka.Â
Seperti bunyi tradisi lisan mereka, "...sado bakaraw-abang pipi, ayam tari gerugo utan...itulah pegangan  ninik kito di alam Kinci..." artinya semua hutan yang didalamnya hidup Burung Karau (Kuau-Kerdil Sumatra), Abang Pipi (Sempidan Sumatra), dan Ayam Hutan adalah pegangan leluhur kita di Alam Kerinci. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan milik masyarakat adat lain di sekitar wilayah adat Kerinci tidak akan dijumpai ketiga jenis unggas tersebut.
Sayangnya, populasi Abang Pipi ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini akibat degradasi hutan yang menjadi habitat Abang Pipi serta perburuan liar yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya.Â
Masyarakat hingga kini masih menjadikan Abang Pipi sebagai target penembakan dan perburuan hanya untuk mencicipi dan mengobati rasa penasaran terhadap rasa daging  dari unggas ini. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan.Â
Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahwa Abang Pipi termasuk jenis spesies yang dilindungi. Baru-baru ini, halaman facebook Kebudayaan Kerinci menampilkan beberapa foto burung Abang Pipi yang mati karena ditembak oleh masyarakat.Â
Di sisi lain, Pemda -terutama pemda Kerinci--seharusnya dapat memanfaatkan hewan endemik ini sebagai ikon daerah seperti halnya burung Maleo di Sulawesi dan Cendrawasih di Papua agar masyarakat semakin sadar untuk menjaga kelestariannya. Di samping itu pula, keberadaan hewan ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata alam yang unik bagi para penjelajah. Sayangnya potensi-potensi ini belum maksimal dikelola.
Mengapa kita harus mengkonsumsi Abang pipi di alam liar padahal daging ayam tersedia di mana-mana? Semoga kita bijak memperlakukan makhluk Tuhan yang satu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H