Seperti bunyi tradisi lisan mereka, "...sado bakaraw-abang pipi, ayam tari gerugo utan...itulah pegangan  ninik kito di alam Kinci..." artinya semua hutan yang didalamnya hidup Burung Karau (Kuau-Kerdil Sumatra), Abang Pipi (Sempidan Sumatra), dan Ayam Hutan adalah pegangan leluhur kita di Alam Kerinci. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan milik masyarakat adat lain di sekitar wilayah adat Kerinci tidak akan dijumpai ketiga jenis unggas tersebut.
Sayangnya, populasi Abang Pipi ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini akibat degradasi hutan yang menjadi habitat Abang Pipi serta perburuan liar yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya.Â
Masyarakat hingga kini masih menjadikan Abang Pipi sebagai target penembakan dan perburuan hanya untuk mencicipi dan mengobati rasa penasaran terhadap rasa daging  dari unggas ini. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan.Â
Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahwa Abang Pipi termasuk jenis spesies yang dilindungi. Baru-baru ini, halaman facebook Kebudayaan Kerinci menampilkan beberapa foto burung Abang Pipi yang mati karena ditembak oleh masyarakat.Â
Di sisi lain, Pemda -terutama pemda Kerinci--seharusnya dapat memanfaatkan hewan endemik ini sebagai ikon daerah seperti halnya burung Maleo di Sulawesi dan Cendrawasih di Papua agar masyarakat semakin sadar untuk menjaga kelestariannya. Di samping itu pula, keberadaan hewan ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata alam yang unik bagi para penjelajah. Sayangnya potensi-potensi ini belum maksimal dikelola.
Mengapa kita harus mengkonsumsi Abang pipi di alam liar padahal daging ayam tersedia di mana-mana? Semoga kita bijak memperlakukan makhluk Tuhan yang satu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H