Pilpres 2019 tidak hanya menjadi ajang pertarungan kedua paslon, 01 dan 02, tetapi juga menjadi ajang pertarungan para pendukungnya. Kompasiana tampaknya menjadi medan laga alias gelanggang yang ampuh untuk pertarungan menggunakan senjata "untaian kata", tulisan-tulisan menohok yang menyerang masing-masing paslon.Â
Prajurit "penulis" ini, menggunakan berbagai jurus jitu untuk melumpuhkan lawan. Namun belakangan justru jurus itu tak lagi mempan. Imunitas alami tampaknya mulai terbentuk dari kubu lawan sehingga jurus itu telah basi. Serangan-serangan jitu oleh panglima perangpun tak lagi "mangkus". Malahan berdampak baik bagi kubu lawan.Â
Contohnya saja di kubu paslon 02, Prabowo-Sandi. Belakangan Prabowo yang merupakan capres 02 ini adalah yang paling banyak diguyur senjata pemelintiran kata oleh pihak lawan. Di mulai dari "buta huruf", "tampang boyolali", "indonesia bubar", "indonesia punah", "miskin 99%" , dan terbaru masalah "Haiti".Â
Serangan dengan pola dan struktur yang sama secara berulang-ulang ini. Sudah jelas dilakukan secara sengaja untuk melemahkan pihak lawan. Namun hasilnya tak sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan menjadi bumerang bagi pihak penyerang.Â
Persoalannya terletak dari para penonton di luar medan laga yang belum menentukan pilihan. Mereka ingin melihat pertarungan yang semarak bukan norak. Kubu mana yang gaya mainnya lebih indah dilihat.Â
Serangan-serangan yang tidak inovatif, monoton dan gaya basi membuat mereka bosan dan bahkan muak.  Hal ini membuat penonton bertanya tentang penyerang yang tidak lagi inovatif ini? Apakah amunisi lain sudah habis sehingga hanya mengandalkan senjata "plintir kata". Mereka meramalkan bahwa bila senjata "plintir kata" juga tidak ampuh, maka akan berbahaya sekali bagi penyerang sendiri. Di saat kubu lawan menunjukkan permainan yang menarik bagi penonton, tetapi penyerang masih menggunakan serangan kuno yang makin basi, maka sangat potensial kubu penyerang ini yang akan kalah.Â
Pihak yang menggunakan senjata "plintir kata" ini, ingin menggambarkan bahwa pihak lawan memang sarangnya dusta, suka merendahkan, temperamental, tidak mengerti permasalahan bangsa. Pokoknya mereka ingin menggambarkan junjungan pihak lawan memiliki kepribadian yang buruk sehingga tidak pantas menjadi presiden kepada para penonton di luar medan laga. Oleh sebab itu, pasukan "pelintir kata" ini berupaya mengaburkan substansi dari apa yang ingin dikemukakan oleh kubu lawan.Â
Kubu lawan sesungguhnya ingin menyampaikan tentang kesenjangan sosial di masyarakat yang sangat kentara, kesenjangan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat. Si kaya makin sejahtera, si miskin semakin teraniaya.Â
Dalam sebuah wawancara di kompas tv (lihat di sini), Prabowo mengatakan bahwa kesenjangan sosial ini dapat berdampak lain yaitu timbulnya konflik di mana-mana. Orang bisa irrasional bila sedang lapar, katanya. Sementara pemerintahan sekarang ini belum mampu  mengatasi itu semua secara signifikan.Â
Sebagai salah satu elit politik, Prabowo merasa bersalah dan bertanggung jawab untuk memperbaiki hal ini. Namun secara konstitusional, dia tidak dapat berbuat banyak karena ia berada di luar pemerintahan. Untuk itulah ia kemudian mendirikan kendaraan politik bernama Gerindra, dan pada akhirnya ia didukung oleh banyak kalangan untuk bertarung di pilpres 2019.
Apa yang dikatakan oleh Prabowo tentang kesenjangan sosial bukan sekedar omongan belaka. Contoh kasus yang mudah diamati secara empiris adalah masalah pendidikan.Â
Bayangkan saja, sembilan (hampir mendekati 10) kampus atau universitas terbaik di Indonesia semua berada di Pulau Jawa. Padahal Jawa dan Sumatera sama-sama di wilayah NKRI dan merdeka di tahun yang sama pula, tetapi tak ada satupun universitas di pulau Sumatera yang meraih 10 besar terbaik nasional, apa yang salah dengan hal ini?
Banyak pemuda Sumatera yang pada akhirnya memilih meneruskan pendidikan di Jawa karena kampusnya yang lebih berkualitas. Mereka menghabiskan biaya jauh lebih tinggi daripada mereka yang berdomisili di Jawa.Â
Semakin lama di Jawa semakin tersadarkan pula mereka bahwa adanya kesenjangan itu. Banyak di antaranya yang berpikir bahwa tanah mereka dikeruk dan dieksploitasi habis-habisan sumber dayanya untuk perkebunan, pertambangan, Â dan kemudian hasilnya digunakan untuk membangun wilayah lain, termasuk membangun kampus-kampus nan elok lagi megah. Merekapun menghabiskan biaya dari hasil kebun-kebun mereka di kampung untuk dibawa menuntut ilmu ke negeri orang yang pembangunannya lebih baik tersebut.
Sungguh kesenjangan yang terlihat jelas di depan mata namun sengaja ditutupi oleh elit politik. Keadaan seperti ini ibarat bom waktu yang dapat meledak kapan saja, menunggu momen dan penyulutnya datang. Bercermin dari sejarah, bukan tidak mungkin konflik itu terjadi kembali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H