Lihat juga: Sawit, Jengkol dan Ide Jokowi          Â
Sementara itu, ulasan tentang pidato Prabowo diunggah pada tanggal 24 Oktober 2018 (lihat di sini). Dalam video tersebut, ditayangkan rekaman suara Prabowo yang  berbicara dalam bahasa Inggris saat  diwawancarai oleh wartawan dari detik ke 0:35 hingga menit 1:27 . Karena kondisinya sedang diwawancarai maka besar kemungkinan  Prabowo berbicara tanpa menggunakan teks. Sacha berkomentar bahwa grammar Prabowo dalam bahasa Inggris nyaris sempurna. Meskipun beberapa kata yang dilafalkannya masih belum seperti native speaker. Secara garis besar ucapan Prabowo sangat baik, jelas dan bisa dimengerti oleh para native speaker. Di akhir komentarnya Sacha menyebutkan bahwa grammar Prabowo luar biasa, dan dalam masalah bahasa Inggris Prabowo adalah yang terbaik di antara politisi yang pernah ia bahas. "suka atau tidak politiknya tetap harus mengapresiasi kerja keras dia (Prabowo) dalam mempelajari bahasa Inggris", pungkas Sacha. Video ini sudah ditonton sebanyak 219.253 kali dan disukai oleh sekitar 6,5  ribu penonton sejak Oktober hingga sekarang.
Lihat juga:Â Menelaah Kembali Isi Pidato Prabowo Mengenai "Indonesia Punah"
Pentingnya Kemampuan Berbahasa Inggris
Banyak orang yang menilai bahwa untuk menjadi seorang Presiden tidak perlu pandai berbahasa Inggris, hal ini disetujui pula oleh Sacha. Namun bagi saya, presiden yang memiliki kemampuan dalam berbahasa Inggris tentu memiliki nilai tambah tersendiri terlebih di zaman sekarang.Â
Seorang mahasiswa S1 saja dituntut harus memiliki sertifikat kemampuan bahasa Inggris dengan skor tertentu bila ingin di wisuda. Apalagi yang ingin melajutkan jenjang studi S2, S3 dan untuk memperoleh beasiswa semuanya mempersyaratkan sertifikat kemampuan bahasa Inggris dengan skor yang sangat tinggi. Pun begitu di perusahaan ternama mereka juga mempersyaratkan sertifikat bahasa Inggris. Banyak di antara teman-teman mahasiswan yang menghabiskan dana dan waktu mereka hanya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Ironis dan alangkah tidak adilnya, untuk jadi orang nomor satu di Indonesia kemampuan bahasa Inggris justru tidak dipersoalkan, hanya cukup bermodal didukung oleh partai politik tertentu serta memiliki kondisi jasmani dan rohani yang sehat.
Memang benar, mahasiswa tingkat lanjut meski memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni agar dapat memahami literatur dan teks-teks bahasa Inggris. Akan tetapi, bukankah kemampuan ini lebih urgen dimiliki seorang presiden?karena mereka secara langsung dan mau tidak mau terlibat dalam panggung internasional. Ada pula yang berkilah bahwa presiden dibantu oleh para translator handal, ia dapat memilih siapa saja untuk menjadi penerjemahnya.
Dalam hal ini, saya teringat dengan sebuah film historis yang berlatar masa-masa akhir kekaisaran Joseon. Di sana ditayangkan adegan mengenai Raja yang dengan begitu mudah ditipu oleh penerjemahnya. Sang penerjemah menyampaikan data dan informasi yang sengaja dikelirukan untuk memperlemah kekuasaan sang raja secara politis. Dengan demikian dalam kasus ini, kemampuan bahasa yang kurang juga turut berpengaruh terhadap  kekuasaan dan pengaruh politik Raja di mata lawan-lawannya. Kurangnya kemampuan bahasa tersebut menjadi alat yang dimainkan untuk mengendalikan sang raja oleh elit-elit politik di belakangnya. Di mana mereka didukung pula oleh bangsa asing yang siap mencengkram dan mengeksploitasi Joseon. Penuh intrik memang!
Namun demikian, banyak pula pemimpin negara-negara di dunia saat ini yang menampakkan "keengganannya" menggunakan bahasa Inggris. Erdogan misalnya, tidak pernah ia menggunakan bahasa Inggris dalam setiap kali kesempatan pidatonya baik di panggung nasional maupun internasional. Ia selalu menggunakan bahasa Turki. Entah karena ketidakmampuannya dalam berbahasa Inggris atau karena kecintaan dan rasa nasionalisme pada bangsanya? yang jelas Erdogan adalah sosok pemimpin yang dicintai oleh rakyat turki dan cukup berpengaruh di dunia Internasional.Â
Di sisi lain, Jokowi justru memperlihatkan hal yang membingungkan rakyat. Di berbagai kesempatan berkelas Internasional, ia selalu menggunakan bahasa Inggris meskipun kemampuannya sangat kurang dan mungkin sulit dipahami oleh native speaker seperti Sacha Stevenson. Padahal ia tidak dituntut menggunakan bahasa Inggris. Ia bisa saja berpidato menggunakan bahasa Indonesia dan teks bahasa Inggrisnya dibacakan oleh para translator kepada audiens melalui headset dan semacamnya. Namun mengapa Jokowi tetap "kekeuh" menggunakan bahasa Inggris di  tengah kemampuannya yang kurang tersebut?tentu hal ini membuat publik dan rakyat seperti saya bertanya-tanya, ada apakah gerangan.
Terlepas dari itu semua, menjadi hak setiap oranglah untuk menilai dan memilih presiden yang dikehendakinya di masa mendatang. Salam damai!