Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menelusuri Sisa-sisa Megalitik di Kampung Adat Todo, Dataran Tinggi Manggarai

8 Desember 2018   11:05 Diperbarui: 10 Desember 2018   19:16 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Adat Todo tampak dari sisi Timur Laut (gerbang desa). Dok. Hafiful Hadi

Perjalanan Ke Todo

Bakda Subuh 29 November 2018, pagi-pagi benar, saya bersama teman-teman dan Tim Pegi-pegi Yuk Jelajahi Indonesiamu sudah disibukkan dengan persiapan untuk memulai perjalanan panjang.

Sesuai rencana, Jam 07.00 WITA kami sudah harus beranjak dari Labuan Bajo menuju ke Kampung Adat Todo. Jarak kedua tempat ini lumayan jauh, sekitar 4 jam perjalanan menggunakan mobil dengan medan berupa lereng-lereng bukit. 

Untunglah jalan ke sana cukup bagus dan mulus, sehingga saya tidak perlu dikhawatirkan goncangan-goncangan akibat jalan berlubang. Apalagi di sepanjang perjalanan saya disuguhi oleh panorama "rancak" berupa bentangan lahan persawahan penduduk, jajaran perbukitan, hingga perkebunan kemiri yang sedang "berpucuk muda". Daun-daun kemiri berwarna abu-abu laksana kilauan perak menghiasi perkampungan dan perbukitan di sepanjang perjalanan.

Sekitar pukul 11.00 WITA, nun dari kejauhan sudah tampak julangan atap kerucut dari "mbaru niang" sebutan untuk rumah tradisional orang Manggarai yang menyambut kedatangan saya dan rombongan dan akhirnya kami menjejakkan kaki jua di kampung Todo setelah perjalanan yang begitu melelahkan. Secara administratif, Kampung Todo berada di kecamatan Satar Mese Kab. Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Menhir di Kampung Todo

Insting seorang arkeolog memang tidak bisa dibohongi, segera setelah turun dari mobil saya memisahkan diri dari rombongan. Di saat teman-teman menemui Pak titus (pengelola desa Todo), saya malah melangkahkan kaki menuju pemakaman yang kebetulan berada di dekat pintu masuk kampung. Dan benar saja, di antara makam-makam penduduk saya menemukan beberapa "batu tegak" yang dalam istilah arkeologi disebut sebagai menhir.

Menhir merupakan salah satu tinggalan dari tradisi megalitik (batu besar) yang di beberapa wilayah di Indonesia tradisi ini masih bertahan.

Menhir di kampung Todo sangat menarik bagi saya, ini karenasebagian besar di antaranya memiliki kemiripan dengan menhir-menhir yang ada di wilayah Sumatra Barat. Satu menhir yang ada di sekitar pemakaman penduduk bahkan memiliki motif hias flora yang mirip dengan ukiran rumah gadang.

Salah satu bentuk menhir yang ada di sela-sela pemakaman penduduk desa Todo. Dok. Hafiful Hadi
Salah satu bentuk menhir yang ada di sela-sela pemakaman penduduk desa Todo. Dok. Hafiful Hadi
Jarak antara lokasi menhir yang ada di makam dengan bangunan mbaru niang hanya beberapa puluh meter saja. Keduanya dihubungkan oleh jalan selebar 1 hingga 1,5 meter yang terbuat dari susunan batu pipih. Selain di lokasi pemakaman yang berada di gerbang desa, menhir juga didirikan di tengah-tengah desa atau di depan rumah adat mbaru. 

Menhir ini didirikan di atas lahan yang lebih tinggi berbentuk persegi dan dikelilingi oleh susunan batu disebut dengan istilah compang atau altar.

Compang ini menjadi salah satu tempat ritual terhadap roh nenek moyang bagi orang Manggarai. Sementara itu, lokasi menhir di dekat gerbang desa disebut sebagai pasomba sebagai lokasi ritual untuk menolak bala.

Mbaru Niang dan Todo sebagai Pusat Kerajaan Manggarai

Mbaru Niang adalah rumah tradisional bagi Ata (orang) Manggarai. Mbaru berarti rumah dan niang berarti bundar, sehingga mbaru niang diartikan sebagai rumah bundar. Mbaru niang memiliki arsitektur yang sangat unik dibandingkan dengan rumah-rumah adat suku lain yang berdiam di Pulau Flores yakni atapnya yang berbentuk kerucut dan rumah yang berbentuk lingkaran.

Saya dan Pak Titus berkeliling di kampung Todo. Dok. Muhammad Irzal Adikurnia
Saya dan Pak Titus berkeliling di kampung Todo. Dok. Muhammad Irzal Adikurnia
Menurut Titus Jegadut (pengelola Kampung Todo), pada mulanya rumah tradisional orang Manggarai berupa rumah panggung seperti rumah adat orang Minangkabau (hubungan Minangkabau dan Manggarai akan dibahas dalam artikel lain). Akan tetapi kemudian leluhur Ata Manggarai menciptakan bentuk rumah tersendiri sebagai identitas dan simbol persatuan Ata Manggarai sebagaimana yang terlihat pada arsitektur Mbaru Niang saat ini.

Di Kampung Todo, sejatinya ada sembilan Mbaru Niang namun yang tersisa hingga kini hanya lima bangunan. Mbaru Niang ditata mengelilingi compang/altar membentuk tapal kuda, bagian pondasinya berada pada bagian tanah yang lebih rendah dari compang sehingga dari kejauhan yang terlihat hanya bagian atap kerucutnya saja.

Mbaru Niang di kampung Todo memiliki keistimewaan dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Mbaru Niang lainnya yang ada di Manggarai bahkan dengan Wae Rebo sekalipun. Hal ini cukup beralasan karena Todo memiliki sejarah dan kedudukan penting dalam struktur adat orang Manggarai.

Kampung Todo merupakan keraton atau istana bagi Raja-raja Manggarai. Di kampung ini, Raja dan para menterinya menjalankan pemerintahan adat mereka. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Todo adalah pusat dari Kerajaan Manggarai.

Di masa lalu, Kerajaan Manggarai memiliki struktur pemerintahan adat yang hierarkis. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh Raja yang disebut Mbowang bersama para Menterinya. Di bawahnya ada para Dalu (setingkat Gubernur) yang menguasai 12 wilayah di Manggarai, wilayah para Dalu ini disebut dengan Kedaluan. Di bawah Dalu terdapat komengkaba (setingkat camat saat ini) dan di bawah komengkaba ada para Leke' sebagai kepala-kepala kampung/desa.

Sebagai sebuah keraton, Mbaru Niang yang ada di Kampung Todo merupakan rumah bagi Raja dan para pejabat kerajaan. Mbaru Niang di kampung Todo terbagi menjadi sembilan bangunan rumah. (1) Niang Mbowang yaitu rumah bagi Raja Manggarai yang terletak di tengah-tengah deretan rumah. Di sebelah kanan Niang Mbowang terdapat (2) Niang Rato, rumah bagi perdana menteri kerajaan.

Seterusnya bangunan-bangunan yang menempati sisi kiri dan kanan Niang Mbowang-Niang Rato adalah (3) Niang Lodok, rumah bagi menteri urusan pertanahan sekaligus tempat sidang perkara-perkara yang menyangkut sengketa tanah (4) Niang Mongko, rumah bagi hakim agung yang menyelesaikan perkara hukum kerajaan, (5) Niang Dopo, rumah bagi menteri yang mengurusi hukum dan aturan Kerajaan, (6) Niang Wa, rumah bagi menteri yang mengurusi hubungan dengan kerajaan lain, (7) Niang Teruk, rumah bagi menteri yang mengurusi rumah tangga kerajaan, (8) Niang Supe, rumah bagi menteri yang mengurusi masalah militer Kerajaan dan (9) Niang Vase, rumah bagi juru bicara raja. 

Selain itu, di depan Niang Mbowang terdapat rumah kecil yang disebut Mbaru Tekur, tempat khusus bagi raja melakukan perenungan dan lobi ketika ada suatu perkara kerajaan yang menemui jalan buntu.

Niang Mbowang selain sebagai rumah bagi Raja juga menjadi tempat sebuah pusaka sakral bagi Orang Manggarai yaitu Loke Nggerang. Menurut Titus, Loke Nggerang adalah sebuah gendang yang bidang pukulnya terbuat dari kulit seorang putri cantik rebutan para raja.

Konon, Putri Nggerang menjadi rebutan tiga orang raja yakni Raja Todo, Raja Gowa dan Raja Bima, namun pada akhirnya sang putri memilih bunuh diri. Setelah sang putri meninggal, bagian kulit perutnya kemudian dijadikan bagian bidang pukul gendang yang disimpan di Todo sementara bagian kulit punggungnya dibawa ke Bima.

Keberadaan gendang di kampung Todo merupakan simbol bahwa Todo adalah pusat kerajaan Manggarai. "Seperti tubuh manusia, bagian perut (pusar) merupakan bagian pusat (titik tengah) dari tubuh manusia, begitu pula wilayah Manggarai yang diumpamakan sebagai tubuh manusia, maka Todo merupakan bagian titik pusatnya, itulah mengapa gendang kulit perut manusia itu disimpan di sini", Tutur Titus. Namun sayangnya saya tidak dapat melihat gendang pusaka tersebut karena untuk melihat gendang tersebut dipungut biaya sebesar Rp.150.000/orang sebagai pengganti ritual adat.

Tata Ruang Kampung Todo

Meskipun kedatangan saya ke Todo bukan dalam rangka penelitian, hanya sebagai seorang wisatawan. Namun secara sepintas saya memperhatikan tata ruang dan lanskap kampung Todo ini.

Kampung/desa Todo berorientasi dalam arah Timur Laut-Barat Daya. Bagian paling timurlaut dalam area desa ini adalah pemakaman penduduk yang terdapat beberapa menhir di dalamnya serta merupakan bagian dari Pasomba (lihat di atas). Bagian timurlaut ini sekaligus menjadi gerbang masuk ke kampung Todo. 

Sementara itu, bagian paling Baratdaya adalah deretan Mbaru Niang dengan pola susunan seperti tapal kuda (setengah lingkaran). Antara gerbang kampung dan rumah terhubung oleh pedestrian yang terbuat dari susunan batu dengan posisi ditinggikan sekitar setengah meter dari tanah. Di bagian tengah kampung terdapat susunan batu berundak dengan compang berada pada tingkat teratas. Di atas compang berdiri beberapa susunan menhir dan makam Raja.

Kampung Adat Todo tampak dari sisi Timur Laut (gerbang desa). Dok. Hafiful Hadi
Kampung Adat Todo tampak dari sisi Timur Laut (gerbang desa). Dok. Hafiful Hadi
Lanskap di sekitar Todo berupa pegunungan dan lembah. Pegunungan Mandosawu mengapit kampung di sisi Barat Laut, Utara hingga Timur Laut, sementara di sisi Selatan hingga Baratdaya merupakan bagian Lembah Mese yang di dalamnya mengalir beberapa sungai (Wae) seperti Waemantar, Waetarap dan Waelawa.

Todo sendiri berada di dataran di bawah kaki bukit dengan posisi yanh lebih tinggi dari Lembah Mese. Oleh sebab itu, dari Todo terlihat lembah Mese yang terdiri dari persawahan (sawah lodok), sungai dan perkampungan di dalamnya.

Lanskap Todo dari foto udara. Sumber. Indonesia.tripcanvas.com
Lanskap Todo dari foto udara. Sumber. Indonesia.tripcanvas.com
Todo bagi saya merupakan kampung adat yang unik karena menyerap dua unsur budaya yakni tradisi Megalitik dengan bukti budaya bendawi berupa susunan menhir, dan punden bebatuan serta sedikit unsur budaya Eropa, yang terlihat di sisi Timurlaut dari compang berupa lima buah meriam Eropa menghadap ke arah gerbang kampung. Hal ini menjadi penguat bahwa orang Todo telah menjalin kontak dengan orang Eropa/Asing di masa lalu.

Sekitar pukul 13.30 Wita, berakhirlah kegiatan mengeksplorasi kampung adat Todo. Setelah dijamu makan oleh Pak Titus, kami kembali ke Labuan Bajo dan mampir dulu ke Desa Melo, untuk menyaksikan serangkaian atraksi budaya Ata Manggarai. 

Meski sangat lelah, melihat panorama elok dan eksotik di Kampung Todo mampu memulihkan energi kami dan kelelahan kamipun terbayar sudah. Mengunjungi desa Todo, bisa menjadi alternatif lain bila anda tidak sempat ke Desa Wae Rebo yang harus melewati medan yang lebih berat lagi. HF

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun