Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Harimau dan Orang Kerinci, Sebuah Hubungan Magis-Religius

28 Oktober 2018   06:11 Diperbarui: 27 Juli 2023   07:55 4627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Harimau Sumatera. (SHUTTERSTOCK.com/TOM117) 

Beberapa artikel yang diterbitkan oleh National Geographic Indonesia tentang Harimau Sumatra dan konflik dengan manusia di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), telah membuat saya tergugah untuk menuliskan bagaimana hubungan orang Kerinci dengan harimau dari apa yang saya ketahui. 

Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Kerinci, sedikit banyak saya pernah mendengar berbagai mitos terkait dengan harimau Sumatra yang berhabitat di area  sekitar TNKS, di sekitar area permukiman dan perladangan penduduk. 

Keberadaan Harimau Sumatra hingga saat ini sangatlah menarik. Hal ini karena mereka relatif bisa bertahan dari kepunahan dibandingkan dengan Harimau Jawa dan Harimau Bali. Saya menganggap penyebab kelestarian harimau sumatra hingga kini salah satunya karena tradisi masyarakat setempat. 

Namun kini, tradisi itu sudah mulai hilang dan mitos-mitos yang mengiringi eksistensi harimau kian lenyap hingga konflik-konflik yang melibatkan antara manusia dan harimau kerap terjadi. Ini adalah berita yang sangat menyedihkan, di mana harimau sekarat di "rumahnya" sendiri yang sekaligus menjadi tempat perlindungan terakhir. 

Kepercayaan tentang Harimau

Kepercayaan asli orang Kerinci berakar dari animisme dan dinamisme. Mereka percaya akan adanya roh-roh leluhur yang disebut nineik, roh-roh baik dan jahat yang menguasai alam seperti dewa dan mambang serta adanya  totem. Dalam istilah antropologis, totem adalah hewan-hewan yang dianggap suci oleh suku-suku tertentu. 

Bagi masyarakat Kerinci, harimau merupakan salah satu totem di antara banyak totem dalam kepercayaan mereka. Mereka percaya ada dua jenis harimau yaitu harimau pengganggu dan harimau gaib. 

Motif harimau pada salah satu tinggalan megalitik di Desa Renah Kemumu, Merangin sekitar TNKS. Sumber. Fb Alimin, Dpt
Motif harimau pada salah satu tinggalan megalitik di Desa Renah Kemumu, Merangin sekitar TNKS. Sumber. Fb Alimin, Dpt
Harimau penganggu adalah harimau yang bersifat  nyata yang bisa menyerang dan memakan manusia maupun binatang peliharaannya. Sementara itu, harimau gaib adalah harimau yang tidak kelihatan dan dianggap sebagai jelmaan "sahabat" dan "prajurit" dari para roh leluhur. Harimau ini disebut sebagai Imaw srabat atau Imaw Ulubalang, mereka dipercaya menghuni punggung-punggung bukit di dalam hutan, muara dan hulu sungai. Harimau ini bersifat melindungi manusia, menjaga hutan milik suatu klan, serta menghalau harimau penganggu agar tidak masuk ke permukiman. 

Kedua jenis harimau ini harus dihormati sehingga ada pantangan untuk menyebut istilah "harimau" bila berada di dalam hutan. Mereka dipanggil layaknya panggilan manusia "dio", "diyau", "hangtuo".  Penghormatan ini karena mereka dianggap sebagai makhluk yang lebih dulu menempati wilayah Kerinci sebelum kedatangan manusia.


Harimau gaib diceritakan terdiri dari dua karakter fisik yakni harimau belang dengan salah satu jari kakinya terpotong, dan harimau kumbang (berwarna hitam) dengan tanda putih di keningnya. Mereka memiliki beberapa gelar seperi Palimo (panglima) Tingkih, Palimo Kumbang, Palimo barantai, Palimo Sirah Mato, palimo guling dan Palimo Ciyap. 

Kepercayaan lain adalah manusia dapat menjelma menjadi harimau ketika mereka meninggal. Hal ini terjadi bagi mereka yang mengamalkan ilmu hitam selama hidupnya. Sebagaimana yang dituturkan oleh kakek saya sendiri, bahwa dulu paman beliau setelah wafat berubah menjadi harimau gaib. Hal ini diketahui dari adanya lubang di kuburan beliau setelah tujuh hari pemakaman serta jasadnya yang sudah menghilang.

Ketika kakek saya sedang berladang di pinggir hutan, harimau gaib yang merupakan jelmaan sang paman kerap muncul melindungi beliau. Menurut beliau ciri fisik harimau gaib tersebut yang terlihat dari jejaknya memiliki kesamaan demgam ciri fisik  dengan sang paman, yakni salah satu anak jarinya putus. Selain itu, harimau gaib ketika menemui manusia memiliki bunyi yang khas. Mereka berbunyi layaknya anak ayam, "menciap".

Kepercayaan manusia yang dapat menjelma menjadi harimau ini pulalah yang menyebabkan orang Kerinci menjadi salah satu etnik yang paling ditakuti di perantauan. Tulisan era Kolonial menyebutkan orang Kerinci ditakuti di Semenanjung Malaya karena mereka dipercayai bisa berubah menjadi harimau.

Secara antropologis, harimau yang dijadikan sebagai totem masyarakat Kerinci bisa dijelaskan. Pertama, hewan tersebut sangat dikenali sekaligus ditakuti oleh penduduk karena sifat buasnya. Kedua, hewan tersebut menghuni kawasan hutan yang secara adat telah diklaim kepemilikannya oleh komunitas adat tertentu. 

Watson, seorang antropolog mengatakan bahwa tidak ada satupun lahan di Kerinci yang tidak berpunya termasuk hutan-hutan lebat. Setiap komunitas adat yang mendiami Kerinci memiliki klaim terhadap penguasaan lahan tertentu yang disebut tanah ajun arah. Meskipun tidak semua lahan bisa dikelola dengan bebas. Lahan-lahan antarkomunitas adat tersebut dibatasi dengan tanda alam berdasarkan pada perjanjian sakral nenek moyang komunitas di masa lalu.

Untuk menjaga lahan-lahan tersebut, leluhur di masa lalu membutuhkan hewan penjaga yang berwujud harimau. Oleh sebab itulah, harimau gaib ini disebut sebagai Imau sabat (harimau sahabat Nenek Moyang) atau imau ulubalang (harimau prajurit).

Harimau gaib ini memiliki peran penting dalam menata relasi sosial masyarakat Kerinci. Mereka dianggap sebagai pelindung anggota komunitas saat berada di hutan milik mereka, atau menyerang anggota  komunitas lain ketika mereka memasuki hutan milik suatu komunitas tanpa izin. Mereka juga dianggap mampu mengusir harimau penganggu agar tidak menyerang manusia dan memasuki permukiman. 

Kadangkala harimau gaib ini juga akan masuk ke dalam permukiman penduduk bila ada suatu larangan adat dan hukum moral yang dilanggar atau ada tradisi adat yang tidak dilakukan oleh penduduk dusun terdekat. 

Ritual terhadap harimau gaib. Dok. Edy Susanto, National Geographic Indonesia
Ritual terhadap harimau gaib. Dok. Edy Susanto, National Geographic Indonesia
Karena peran pentingnya ini, harimau-harimau gaib rutin diberi sesajian oleh pemangku adat setempat. Berupa darah-darah ayam dikurbankan, dengan harapan harimau gaib tetap setia menjaga hutan dan melindungi mereka. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Mat Nasir, Saimun dan Gindo Rahim sebagaimana yang diberitakan oleh National Geographic.

Lihat di sini: Tiga Ayam Hitam dan Ayam Kuning bagi Si Tak Kasat Mata dalam Tradisi Kerinci

Adanya tradisi dan kepercayaan terhadap harimau di Kerinci sangatlah unik karena bisa dijadikan sebagai dasar dalam pelestarian harimau sumatra berbasis kearifan lokal. Hal ini sangat berbeda di wilayah lain di Indonesia, di Jawa misalnya tradisi perburuan harimau di kalangan para Priyayi di masa lalu menjadi salah satu penyebab kepunahan harimau Jawa. Namun  sayangnya, tradisi masyarakat lokal Kerinci tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah dalam upaya perlindungan harimau sumatra.

Hilangnya Tradisi, Meningkatnya Konflik

Di era saat ini, kepercayaan-kepercayaan lama dan tradisi masyarakat kian tergerus akibat kemajuan zaman. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat beragam. Di satu sisi memiliki dampak positif. Namun di sisi lain memiliki dampak negatif. 

Bagi penulis, hilangnya tradisi berdampak meningkatnya konflik manusia dengan harimau di sekitar TNKS. Saat ini, siapa yang masih bertahan dengan keyakinan kolot, bahwa ada harimau yang dapat mengusir harimau "penganggu"secara gaib. Ketidakpercayaan ini menyebabkan mereka mengusir dan memburu harimau dengan  cara yang lebih modern yaitu menggunakan senjata api.

Pembantaian harimau di Mandailing Natal, Sumatra Utara (kompas.com)
Pembantaian harimau di Mandailing Natal, Sumatra Utara (kompas.com)
Di samping itu, hilangnya peran kepala suku atau kepala komunitas adat juga secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya konflik manusia dan harimau. Sejak era Soeharto, peran lembaga-lembaga adat banyak dihapuskan, hutan-hutan lindung dialihkan menjadi milik negara. Berbeda di masa lalu, di mana  hutan lindung statusnya berada dalam pengawasan masyarakat adat setempat. Setiap orang hanya bisa membuka hutan dan mengambil hasil hutan atas izin dari kepala komunitas adat yang memiliki tanah ajun arah di sana. Namun sekarang setelah dimiliki pemerintah, mereka malah tidak mampu menjaganya dari ketamakan investor dan para kapitalis.

Di sisi lain, untuk kembali membangkitkan tradisi kuno dan sistem adat yang lama tidaklah mudah. Masyarakat adat telah berevolusi sangat jauh mengikuti peradaban barat. Ibarat kata,  kapalnya sudah melaju ke tengah dan sulit untuk dikendalikan, apalagi hendak memutar haluan kembali ke belakang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun