Saya sebenarnya sama sekali tidak tertarik akan dunia perpolitikan, bukan pula seorang ahli di bidang politik. Akan tetapi, hanya sebagai seorang pengamat awam yang melihat fenomena-fenomena politik "unik" di tengah masyarakat.
Apalagi di tahun ini, suhu politik bisa dikatakan lebih "panas" dari efek pemanasan global dan musim kemarau yang terjadi di beberapa tempat. Dampak yang ditimbulkan pemanasan politik ini bermacam-macam pula, yang paling konyol adalah "mendidihnya" suasana hati masyarakat dan diluapkan dengan emosi-emosi melalui serangkaian kata.
Bagaimana tidak, sederet kolom komentar terhadap postingan berbau politik yang saya baca, isinya berupa celaan dan hinaan terhadap "politisi junjungan" lawan atau bahkan celaan terhadap orang yang berbeda pilihan politik. Fenomena itu terkadang membuat saya risih dan tertawa geli dalam hati. Hal ini pulalah yang menjadi dorongan saya membuat tulisan ini.
Kembali ke judul di atas politik rasional kontra politik irrasional, mengapa hal ini menarik bagi saya? Berdasarkan pengamatan saya terutama di media-media sosial, masyarakat cendrung menempatkan irrasionalitas mereka dalam menilai tokoh-tokoh politik tertentu sehingga yang terjadi adalah tokoh yang menjadi "junjungannya" selalu baik, tidak pernah salah, sempurna, tanpa cacat dan cela.
Untuk meyakinkan bahwa junjungan mereka selalu baik, mereka tidak segan-segan menampilkan data "palsu". Sebaliknya, tokoh politik junjungan lawan selalu jelek, tidak ada baiknya, dicacati dan dicela dengan acuan isu-isu yang hanya hoak semata.
Kalaulah masyarakat menempatkan rasionalitas di atas irrasionalitas, mereka akan berpikir adakah manusia sehebat itu yang mampu berbuat apapun tanpa salah?dan jawabannya tidak pula susah karena pasti "tidak ada".Â
"Lawan" pada hakikatnya sangat diperlukan dalam kehidupan sosial. Ibarat kosmologi orang Tionghoa mengenai Yin dan Yang, lawan menjadi penyeimbang karena dari merekalah kritik-kritik "pedas" yang menyadarkan seseorang untuk lebih baik didapatkan. Akan tetapi, kritik tentang kesalahan itu diacuhkan saja karena rasionalitas mereka ditutupi oleh irrasionalitas.
Saya memandang bahwa masyarakat ini hanyalah sebagai 'korban" dari permainan para politisi di atas mereka. Masyarakat tak segan-segan untuk gaduh sesamanya demi melancarkan usaha politisi untuk memperoleh kekuasaan. Padahal ketika kuasa sudah ditangan, pendukung "penuh dosa" tak akan diacuhkan. Uniknya lagi, justru masyarakat sangat senang diri mereka ditipu oleh para politisi setiap lima tahun sekali.
Di mana-mana tempat saya kira, para politisi selalu mengatakan di musim kampanye "demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara". Saya sendiri sudah bosan dan cendrung muak mendengarkannya karena setelah mereka terpilih, hanya sedikit kebijakan yang dibuat benar-benar untuk rakyat.
Selebihnya, hanya untuk kepentingan politik dan golongan tertentu saja. Contoh riilnya adalah ketika pejabat-pejabat tinggi negara-menteri misalnya- diisi oleh tokoh politik dari partai pendukungnya, bukan oleh akademisi, pakar dan ilmuwan yang benar-benar piawai di bidangnya. Â
Apa salahnya seorang politis ketika berkampanye jujur berkata bahwa setelah dia terpilih "dia akan berbagi kursi dengan partai pendukungnya", atau dia membayar sekian-sekian milyar kepada partai politik tertentu agar dipilih atau untuk biaya kampanye".
Secara rasional, hal ini adalah suatu kewajaran karena sistem politik yang dibangun sejak dulu memang demikian. Saya kira tak ada satupun partai politik yang secara gratis memberi dukungan karena mereka bukan mesin uang dan sangat butuh uang. Walaupun secara normatif bagi Orang Timur cendrung tidak wajar.
Akibatnya apa, politisi tidak akan pernah mengungkapkan kejujuran karena takut kehilangan para pendukungnya. Sekali lagi, masyarakat malah menerima "ketidakjujuran" itu karena irrasionalitas mereka di atas rasionalitas.
Para pendukung tokoh politik tertentu demikian pula sama tidak jujurnya, tak ada satupun dari mereka yang mengkampanyekan atau memposting mengenai "kejelekan dan kesalahan" para junjungannya di samping "kebaikannya".Â
Akibatnya apa? Masyarakat tidak akan tahu keburukan-keburukan para politisi karena ter-cover oleh citra baiknya saja. Jangan lagi masyarakat tertipu dan hanya menjadi korban politik. Mereka sudah capek-capek berbuat dosa karena mencela, tahu-tahunya mereka juga korban dari tipuan politis belaka.
Akhirnya, saya berharap pada masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling minim kesalahannya, bukan yang paling baik karena prinsip saya tidak ada satupun manusia yang paling baik, apalagi ketika ia sudah terjun di dunia perpolitikan, dunia penuh intrik dan kepentingan untuk mencapai kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H