Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapak dan Kaum Darwis, Sisi Lain Asketisme dalam Islam

24 Juli 2018   01:35 Diperbarui: 30 Juli 2018   13:48 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simbol-simbol yang digunakan oleh para Darwis. Sumber: pinterest

Pernah Dengar Kata Darwis?

Tak sepopuler kata Darwin (sang pencetus teori evolusi), kata darwis bagi orang Indonesia mungkin disangkakan sebagai nama seseorang, misalnya saja "Darwis Triadi" seorang fotografer populer, atau "Prof Darwis Hude", seorang pakar tafsir Alqur'an. Tetapi, kata "darwis" dalam ulasan ini bukanlah merujuk kepada nama orang melainkan sebutan bagi golongan dalam Islam yang menjalankan praktek Asketisme.

Darwis merupakan sebutan bagi para sufi yang menjalani praktik Asketisme. Mengutip dari wikipedia Asketisme adalah suatu gaya hidup bercirikan laku-tirakat atau berpantang kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang seringkali dilakukan untuk mencapai maksud-maksud rohani. Para petarak (praktisi Asketisme) dapat saja menyepi dari keramaian dunia demi menjalankan laku-tirakat mereka, dan dapat pula hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi lazimnya mereka mengadopsi suatu gaya hidup yang sangat bersahaja, bercirikan penolakan terhadap harta-benda dan kenikmatan-kenikmatan jasmani, serta melewatkan waktu dengan berpuasa sambil tekun beribadat atau sambil merenungkan perkara-perkara rohani. 

Asketisme dalam catatan sejarah pernah dijalani oleh tokoh-tokoh penting dalam berbagai agama. Misalnya saja Siddharta Gautama  yang mempraktikkan asketisme ekstrim hingga mencapai pencerahan, Mahawira juga mempraktikkan asketisme bahkan menjadi ritual keagamaan bagi penganut Jainisme. Begitu pula, dengan Nabi Muhammad pernah mempraktikkan asketisme ketika ia mengasingkan diri dari keramaian kota Mekkah ke Gua Hira selama 40 hari hingga menerima wahyu pertama. 

Dalam konteks Sufisme, Asketisme adalah wujud dari penerapan  konsep zuhud. Zuhud adalah konsep untuk meninggalkan sesuatu yang bersifat keduniawiaan dan materi guna mencapai kesempurnaan rohani. Seseorang tidak layak mendapat sebutan zuhud kecuali menghindari enam macam yakni harta, wajah, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain daripada Allah.

Dalam praktiknya, Para Darwis (Sufi yang menjalankan asketisme) hidup dengan mengembara, memiskinkan bahkan mangasingkan diri kesibukan dunia, mereka hanya merenungkan hal-hal kerohanian. Oleh karena itu, dari kacamata masyarakat awam para Darwis ini seringkali dianggap sebagai "orang suci", karena kemampuan mereka mengobati penyakit, memberikan kebijaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara bahkan "motivator" dalam menggerakkan aksi melawan penjajahan.

Seorang Darwis dari Iran dengan senjatanya. Sumber: pinterest
Seorang Darwis dari Iran dengan senjatanya. Sumber: pinterest
Para Darwis juga menggunakan simbol-simbol tertentu yang ia bawa dalam pengembaraannya  seperti tongkat, seruling, wadah makanan, bahkan senjata tajam, sesuai dengan ordo Tariqah (metode untuk mencapai tingkat rohani tertinggi dalam Sufisme) yang mereka ambil.  

Berkenaan simbol tersebut, hal menarik dijumpai pada para Darwis dari wilayah Persia (Iran). Foto-foto kuno yang berasal dari abad ke-19 M menggambarkan para Darwis membawa senjata sejenis kapak yang disebut sebagai tabar atau tabarzin. Mengapa mereka membawa senjata dalam pengembaraan rohaninya?dan apa makna kapak bagi mereka?

Makna Kapak dalam Perspektif Kaum Darwis

Sebuah artikel yang berjudul "Sufi in War: Persian Influence on African Weaponry in 19th century Mahdist Sudan" oleh Pradines dan Khorasani (2018), mengungkapkan bagaimana senjata-senjata begitu bermakna bagi para Sufi. Mereka pula-lah yang memperkenalkan jenis-jenis senjata dari wilayah mereka ke wilayah yang mereka datangi, dalam hal ini dari Persia ke Afrika. 

Menurut Pradines dan Khorasani, kapak merupakan salah satu benda sakral dan simbol dari Sufisme. Kapak para Darwis memilik banyak aspek simbolis di antaranya: (1) kesakralan kapak karena merepresentasikan keberanian; (2) simbol dari pendiri ordo Tarikat Kalandariya; (3) kapak perang merepresentasikan kehendak para darwis untuk memotong/memutus diri mereka dari dunia material; (4) kapak dengan dua mata sisi merupakan lambang Nikmatullahi darwis yang bermakna bahwa mereka telah menghapus isi hati mereka dengan hal-hal terkait dunia material dan di sisi lain mengisinya dengan spritualitas; (5) kapak yang dibawa para Darwis menunjukkan bahwa  mereka sedang berupaya berpindah dari jihad kecil menuju jihad besar yaitu dengan berjuang melawan ego mereka. 

Kapak merupakan salah satu instrumen jihad, di mana dengan membawanya menjadi pengingat bahwa mereka sedang di dalam medan perjuangan melawan hawa nafsu dan ego diri sendiri.

Simbol-simbol yang digunakan oleh para Darwis. Sumber: pinterest
Simbol-simbol yang digunakan oleh para Darwis. Sumber: pinterest
Bercermin dari Para Darwis

Di era globalisasi saat ini, telah mengubah banyak prilaku dan cara berpikir manusia. Sikap materialistik yaitu watak yang diwujudkan melalui sikap hidup yang mendambakan materi, ingin menguasai dan memiliki benda sebanyak mungkin. Prilaku semacam ini menyibukkan manusia mencari "benda dan benda" dengan segala cara, menumpuk harta  sehingga melalaikan mereka terhadap masalah kerohanian. Tentu saja, sikap semacam ini memicu masalah-masalah sosial yang lain seperti kriminalitas, korupsi dan berbagai prilaku amoral lainnya. Bila direlasikan dengan Asketisme, maka Materialisme ini adalah oposisinya.

Para materialis yang telah mengalami kekosongan rohani, bahkan tidak ragu untuk melakukan tindakan "bunuh diri" ketika mencapai suatu titik jenuh, seperti banyak contoh kasus para konglomerat, artis dan pejabat tinggi yang hal tersebut. Di satu sisi, mereka berupaya kembali menemukan kebahagian dan ketenangan jiwa dengan kembali mempelajari agama, merenung tentang kehidupan serta menanggalkan atribut dan kekayaan mereka.

Melalui kehidupan para Darwis ataupun Asketis lainnya, hendaknya dapat dijadikan cermin dalam berprilaku di masa kini. Menjadikan kita banyak membantu sesama manusia yang membutuhkan, tak hanya untuk mengejar dan mencari harta semata. Seperti halnya, Siddharta Gautama, seorang pangeran yang keluar dari dunia material di lingkungan istana menuju dunia spritual di lingkungan kaum papa. Begitu pula, tokoh Mahatma Gandhi, yang karena pemikirannya mendorong semangat masyarakat untuk menentang penindasan dan melawan penjajahan. Tentu saja pemikiran-pemkiran itu lahir dari kemapanan rohani, bukan dari kaum Materialis yang justru menjadi biang kemunculan penjajahan dan kolonialisasi.

Referensi Utama

Pradines, Stephane dan Khorasani, MM. 2018. Sufi in War: Persian Influence on African Weaponry in 19th century Mahdist Sudan. JAAS XXII (5): 254-279

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun