Hari ini 6 Maret hingga besok,  Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menyelenggarakan seminar nasional epigrafi dengan tema "penelitian terkini prasasti di Indonesia". Seminar ini menghadirkan para arkeolog kenamaan yang menekuni bidang epigrafi (epigrap) dari berbagai instansi  di Indonesia serta mahasiswa yang berminat di bidang epigrafi.Â
Epigrafi sendiri merupakan  ilmu mengenai tulisan kuno yang dituliskan pada benda budaya yang berisikan angka maupun tulisan. Umumnya benda budaya yang dimaksud adalah prasasti (baik batu, logam, maupun tulang) ataupun pada dinding bangunan kuno, nisan, dan berbagai artefak lainnya.Â
Tjahyono Prasodjo dan JSE Yuwono dengan memadukan antara kajian epigrafi dan geografi mampu mengungkapkan aspek hidrologi masyarakat Jawa Kuno. Penelitian ini didasarkan pada pembacaan prasasti Tlu Ron yang ditemukan di Candi Plaosan tahun 2015 silam. Prasasti tersebut menyebutkan istilah dawuhan (bendung), wluran (saluran air) dan pancuran. Â
Lebih lanjut, Mimi Savitri memaparkan unsur-unsur taman dari masa klasik. Kajiannya didasarkan pada prasasti Talang Tuo  yang menyebutkan bahwa di dalam taman sri terdapat aneka pohon seperti kelapa, pinang, aren dan sagu. Aneka bambu juga ditemui di taman yang dilengkapi dengan bendungan serta kolam.  Serta Prasasti Pajurungan yang menyebutkan tentang taman sima dengan unsur-unsur pepohonan di dalamnya seperti bambu, kelapa, pinang dan bunga-bungaan.Â
Fenomena banjir akhir-akhir ini juga menarik perhatian mahasiswa arkeologi Fitri Kusumastuti untuk diangkat dalam seminar ini. Ia mendasari kajian dari pembacaan beberapa teks prasasti dari periode dan wilayah yang berbeda. Seperti prasasti Tugu di Jawa Barat  yang menyebutkan usaha raja membangun saluran air dan bendungan untuk mengatasi banjir yang telah memasuki istana raja.Â
Barangkali fenomena banjir sudah jadi fenomena klasik yang masih belum teratasi hingga sekarang. Akan tetapi, di zaman dulu banjir lebih disebabkan sungai yang meluap karena tak mampu lagi menampung volume air.Â
Berbeda dengan fenomena sekarang, banjir tak hanya terjadi akibat cuaca ekstrim saja tetapi juga keteledoran dan ulah manusia itu sendiri seperti dengan menggunduli hutan, membuang sampah di sungai, dan mengurangi area resapan air dari pembangunan fisik yang mereka lakukan.Â
Objek baru kajian epigrafi juga diungkapkan dalam seminar kali ini yaitu prasasti yang ditulis pada media tanduk khususnya tanduk kerbau sebagaimana yang diungkapkan oleh WR Andhifani dari Balai Arkeologi Palembang.Â
Selama ini, kajian epigrafi terbatas pada inskripsi/prasasti yang ditulis pada batu, logam, Â dinding bangunan, nisan dan lain sebagainya. Tetapi belum menyentuh prasasti dalam bentuk lain seperti pada tanduk kerbau.Â
Memang prasasti tanduk kerbau tidak ditemukan di Pulau Jawa dan bahkan di wilayah lain di Asia. Tetapi prasasti ini kebanyakan ditemukan di pedalaman Sumatra seperti di Rawas, Lebong, Ogan, Kerinci, Toba, Batak, dan Mandailing. Â Â