Salah satu yang paling ditakuti pada musim hujan di setiap daerah adalah masalah banjir. Di mana-mana tayangan televisi memberitakan banjir yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Jakarta misalnya. Di Jakarta, banjir merupakan masalah klasik yang telah berusaha di atasi tiap-tiap pergantian kepala daerah. Walaupun hingga saat ini belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Sebaliknya di kampung halaman saya tercinta, di Dataran Tinggi Jambi, Kabupaten Kerinci, banjir menjadi masalah baru yang dihadapi tiap datangnya musim hujan. Hampir tiap kali hujan datang, jalan-jalan desa dan jalan kabupaten sudah pasti tergenangi air.
Setelah saya perhatikan secara saksama, banjir tersebut justru diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur jalan yang salah, tidak terarah, dan tidak terencana, seperti membeton atau mengaspal jalan-jalan desa tanpa mempertimbangkan saluran pembuangan airnya.
Perlu disadari bahwa membeton jalan atau mengaspal jalan-jalan desa berarti mengurangi area resapan air. Tanah yang salah satu fungsinya menyerap air hujan, terhalangi aspal dan beton, sehingga menggenang di atas jalan. Sementara itu, selokan-selokan yang ada tak lagi mampu menampung air tersebut.Â
Hal ini diperparah pula dengan perubahan model bangunan rumah. Dulu, masyarakat umumnya membangun rumah panggung, tetapi sekarang rumah-rumah dibangun dengan fondasi dan lantai yang langsung dicor pada permukaan tanah, sehingga makin mengurangi area resapan air.
Membeton jalan memang salah satu program andalan setiap desa untuk merealisasikan dana-dana desa di Kerinci beberapa tahun belakangan ini. Tetapi, membangun juga harus memikirkan dampak negatif, tak sekedar untuk memperindah saja, atau hanya agar sedap dipandang mata seperti area-area perkotaan. Padahal sejatinya, berdampak buruk di masa-masa yang akan datang.
Mari belajar dari kearifan lokal nenek moyang
Desa atau dusun di Kerinci, umumnya permukiman tua yang telah ada sejak ratusan tahun lalu, sehingga pembangunan yang dilakukan saat ini, sejatinya pembangunan yang dilakukan di atas perkampungan kuno.
Dulu, nenek moyang orang Kerinci memiliki rumah panggung yang dibangun secara memanjang yang disebut umah larik atau larik. Perumahan/larik tersebut dibangun diatas lahan yang telah ditinggikan dari permukaan tanah di sekitarnya, lahan tersebut kemudian diperkuat dengan rekatan batu-batu sungai di sekelilingnya. Kadang kala lahan tersebut juga di kelilingi oleh selokan yang disebut dengan bendar, berukuran sekitar 50-80 cm sebagai saluran air ketika terjadi hujan.Â
Banjir hanya terjadi jika memang intensitas hujan yang tidak normal sehingga sungai-sungai meluap, dan itupun sebenarnya telah mereka antisipasi dari model rumah panggung yang mereka buat.
Penutup
Membangun infrastruktur fisik seperti membeton jalan desa/dusun boleh-boleh saja, asalkan dengan perencanaan yang tepat dan mempertimbangkan segala aspek termasuk aspek negatifnya. Jika toh membeton jalan desa sangat dibutuhkan dan diperlukan, maka harus dibarengi dengan perluasan selokan/drainase yang ada di desa. Sehingga mampu menampung air yang tak dapat terserap langsung oleh tanah tersebut.
Bagi saya, orientasi pembangunan di perdesaan tak harus selalu infrastruktur fisik yang kadangkala tak terlalu diperlukan masyarakat, atau hanya untuk memenuhi hasrat estetis saja agar menyamai perumahan perkotaan.Â
Hal ini sungguh sangat berbeda, kegiatan perekonomian di perdesaan umumnya adalah kegiatan pertanian sesuai dengan mata pencaharian penduduk, sehingga pembangunan bisa dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat seperti pembangunan irigasi, perluasan lahan persawahan dan perbaikan jalan-jalan utama yang berkaitan dengan distribusi hasil pertanian.Â
Sementara penduduk perkotaan lebih pada kegiatan perdagangan, jasa dan lain sebagainya, sehingga infrastruktur jalan memang sangat diperlukan di sudut-sudut perumahan.
Dan yang terpenting adalah bagaimana membangun pola pikir dan mental masyarakat. Selama ini saya kira, pola pikir masyarakat perdesaan sudah digiring menjadi materialis, mereka menganggap rumah beton model rumah perkotaan/barat, mewah dan megah adalah lebih baik daripada rumah panggung nenek moyang mereka, padahal belum tentu memberikan rasa nyaman.Â
Toh apa gunanya rumah beton kalau selalu waswas saat hujan tiba. Apalagi di negara tropis seperti Indonesia yang musim hujannya bisa setengah tahun.
Saya kira, mari kita pertimbangkan kembali aspek kearifan lokal masing-masing daerah dalam kegiatan membangun infrastruktur. Kadang kala model Barat tidak selalu cocok dengan lingkungan Indonesia, karena dari segi iklim dan cuacanya saja sudah berbeda.
Saya jadi teringat dengan arsitektur Gereja Blenduk di Kota Lama Semarang. Gedung tersebut merupakan salah satu gedung bergaya indische tertua yang sangat megah, dibangun dengan dinding yang sangat tebal dan jendela minimalis.Â
Tetapi arsiteknya lupa bahwa Indonesia beriklim tropis sehingga temperatur ruang di dalamnya menjadi panas, sedikit aliran udara, dan membuat tidak nyaman. Akhirnya mereka harus memodifikasi bangunan tersebut dengan membuat ventilasi udara di sekitar bagian bawah jendela.
Nenek moyang kita tentu lebih paham dengan kondisi lingkungan dan iklim di sekitar mereka. Dan tentu saja mereka sangat mempertimbangkan segala macam aspek dalam membangun, termasuk kondisi iklim dan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H