Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyikapi Klaim Kepemilikan Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci

16 Februari 2018   15:48 Diperbarui: 17 Februari 2018   18:36 6140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisi Gunung Kerinci terlihat dari Kersik Tuo, Kerinci. Sumber:blog.act.id

Siapa yang tak kenal Gunung Kerinci? Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini, telah menjadi primadona para pendaki Gunung Nasional dan Internasional. Gunung setinggi 3805 mdpl ini, menjulang di tengah-tengah Pulau Sumatra. Tak hanya itu, gunung yang pernah ditaklukkan Presiden Joko Widodo saat berstatus mahasiswa UGM ini, semakin meningkat ketenarannya, tatkala Jokowi memaparkan memorinya tentang pengalaman mendaki Gunung Kerinci saat berkunjung ke Provinsi Sumatra Barat beberapa waktu yang lalu.

Namun tak ada yang menyangka bahwa Gunung Kerinci sendiri menjadi polemik di tengah masyarakat Jambi terutama masyarakat Kerinci dengan masyarakat Solok Selatan di Sumatra Barat terkait klaim kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam yang satu ini. Hal ini dikarenakan posisi Gunung Kerinci sendiri terletak di perbatasan ke dua provinsi.

Apalagi, di saat Pemkab Solok Selatan-- kabupaten yang terbentuk tahun 2004-- membuka jalur pendakian Gunung Kerinci yang baru dari wilayahnya pada tahun 2017. Sontak saja, menimbulkan kontra di tengah-tengah masyarakat Kerinci yang memiliki jalur  pendakian utama Gunung Kerinci sejak tahun 1933 via Kersik Tuo, Kayu Aro. Menyikapi hal ini, izinkanlah saya memaparkan beberapa data sejarah penting terkait dengan kepemilikan Gunung Kerinci tersebut.

Gunung Kerinci dulunya bernama Gunung Berapi

Gunung Kerinci sejatinya tak hanya menjadi primadona bagi masyarakat sekarang ini, tetapi sejak berabad-abad yang lalu, komunitas-komunitas adat telah mengklaim kepemilikan/penguasaan terhadap Gunung Kerinci ini. Data sejarah paling awal terkait dengan kepemilikan atau penguasaan Gunung Kerinci adalah naskah piagam dari Kesultanan Jambi sekitar pertengahan abad ke 18 M (1742-1776).

Naskah piagam atau piagem merupakan naskah kuno beraksara Jawi yang umumnya dikeluarkan pada masa Kesultanan Islam di Indonesia. Khusus di wilayah Jambi, naskah piagam ini berisi legitimasi penguasaan wilayah adat beserta batas-batasnya oleh pihak Kesultanan Jambi kepada penguasa daerah/lokal yang mengakui Jambi sebagai kerajaan protektornya.  

Kepemilikan dan penguasaan Gunung Kerinci juga disebutkan dalam naskah piagam dari Kesultanan Jambi ini, sebagaimana hasil alihaksara oleh Voorhoeve (1941), naskah-naskah tersebut berbunyi:

"Bahwa ini piagam tanah kepala persembah yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Nagara dengan cap surat celak piagamnya kepada Depati  Raja Simpan Bumi, Mangku Bumi  dan Depati Raja Simpan Bumi Indera Andum Laksana, Adapun perbatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bungsu,  Gunung Berapi........"

Naskah yang lain berbunyi: "Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang bertiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi......"

Naskah ini dikeluarkan oleh Sultan Anum Suria Ingalaga yang bertahta di Kesultanan Jambi pada 1742-1776 M berisi mengenai pengakuan penguasaan wilayah adat oleh Kesultanan Jambi kepada penguasa lokal yang bermukim di kaki Gunung tersebut (sekarang wilayah kec. Siulak dan Siulak Mukai) yaitu Depati Intan, Depati Mangkubumi dan Depati Rajo Simpan Bumi. Wilayah penguasaan ketiga orang Depati tersebut mencakup Gunung Berapi secara keseluruhan.

Namun, wilayah di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok Selatan--hal ini karena gunung Berapi sekaligus dijadikan sebagai penanda batas wilayah.  

Saat piagam dikeluarkan, Gunung Kerinci masih dinamakan sebagai Gunung Berapi, sesuai dengan penamaan oleh masyarakat setempat. 

Penamaan Gunung Berapi oleh Orang-Orang Belanda

Wilayah di sepanjang Pesisir Barat Sumatra, merupakan wilayah-wilayah paling awal yang menjadi koloni orang Barat di Pulau Sumatra, termasuk wilayah Kerajaan Indrapura yang merupakan tetangga  wilayah Kerinci di sebelah Barat, namun penguasaan mereka masih terbatas di wilayah pesisir saja, sementara wilayah pedalaman termasuk Kerinci belum dikuasai.

Sebagai gunung yang tertinggi di Sumatra, gunung "berapi" ini, bisa dilihat dari Indrapura, bahkan terlihat paling tinggi di antara jejeran bukit barisan jika kita berada di sana. Oleh sebab itu, orang-orang Barat menamakan gunung berapi ini sebagai "puncak Indrapura" atau piek van Indrapura sebagaimana yang tertulis di peta-peta awal mereka. 

Namun ketika mereka melakukan  sejumlah ekspedisi  ke pedalaman Sumatra pada  abad ke 19 M, mereka mengetahui bahwa Gunung yang disebut sebagai Puncak Indrapura tersebut berada di wilayah adat penguasa Kerinci sehingga sejak saat itu mereka mengganti istilah puncak Indrapura menjadi Gunung Kerinci (Mount Korintji) atau piek van Korintji (C. M. Kan, 1876).

Sejak saat itu pula, nama Gunung Kerinci mulai digunakan oleh kalangan-kalangan Barat termasuk di dalam buku maupun peta yang mereka buat dan kemudian dijadikan sebagai sumber bahan ajar geografi di sekolah-sekolah Hindia Belanda.

Kerinci dan Sumatera-WestKust

Kerinci termasuk wilayah paling akhir yang dikuasai Hindia Belanda di Pulau Sumatra. Wilayah ini secara resmi menjadi bagian dari jajahan Belanda pada tahun 1904 M melalui sejumlah ekspedisi militer yang mereka lakukan sejak tahun sebelumnya (Van Aken, 1915). Pada mulanya wilayah Kerinci secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Jambi. Namun pada tahun 1922, Kerinci secara administratif dimasukkan ke dalam keresidenan Sumatra westkust di bawah Afdelling Kerinci-Painan. 

Pada tahun 1933, pendakian pertama Gunung Kerinci melaui Kersik Tuo dilakukan. Sejumlah dokumentasi Belanda yang bisa dilihat di KITLV-Pictura bertahun 1933, menunjukkan potret-potret pendakian Gunung Kerinci pertama. Di antaranya berjudul Rustpauze tijdens de beklimming van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933, seperti gambar-gambar berikut ini:

Rustpauze tijdens de beklimming van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Rustpauze tijdens de beklimming van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Op de top van de piek van de Kerintji (3508 m.). Zittend in het midden J.H. Brinkgreve Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Op de top van de piek van de Kerintji (3508 m.). Zittend in het midden J.H. Brinkgreve Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Een drager bij de afdaling van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Een drager bij de afdaling van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (http://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Setelah masa Kemerdekaan, Kerinci satu bagian dengan Pesisir Selatan dengan wilayah administratif bernama Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci dalam provinsi Sumatra Tengah. Pasca pemberontakan PRRI, pada tahun 1957 Provinsi Sumatra Tengah dipecah menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatra Barat, provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Kerinci saat itu menjadi kabupaten tersendiri dan memilih bergabung dengan provinsi Jambi dibandingkan dengan Sumatra Barat.

Saat itulah, tapal batas provinsi Sumatra Barat dan Jambi ditetapkan. Penetapan batas-batas ini sebenarnya masih menjadi polemik di antara ke dua provinsi termasuk mengenai keberadaan Gunung Kerinci. Peta-peta yang dilihat di Google Maps menunjukkan bahwa Gunung Kerinci dibelah menjadi dua bagian, bagian Selatan berada di wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi sementara wilayah Utara berada di wilayah di Sumatra Barat. Ke dua wilayah administratif ini merasa berhak  memanfaatkan Gunung ini untuk kegiatan pariwisata dalam rangka menambah pendapatan daerah.

Kesimpulan

Dalam perspektif komunitas adat yang keberadaannya jauh lebih tua dibandingkan dengan Republik ini, Gunung Kerinci secara keseluruhan menjadi milik kaum adat yang berdiam di wilayah Kabupaten Kerinci saat ini, meskipun Gunung Kerinci dipisah oleh dua daerah administratif. 

Kita tidak tahu bagaimana pemerintah sebelumnya menetapkan batas wilayah kabupaten/provinsi, apakah berdasarkan sumber-sumber sejarah dan historiografi tradisional dari komunitas adat setempat, dari sumber-sumber Belanda atau penuh nuansa politik kedaerahan masa lalu. Sehingga mereka membelah gunung Kerinci menjadi dua bagian. Agaknya persoalan tapal batas ini sangat perlu diselesaikan melalui kajian akademis yang mendalam. Sebelum konflik-konflik sosial  tentang lahan semakin meluas.

Pemkab Solok Selatan juga harus arif menyikapi akan hal ini, sebagai masyarakat Sumbar (Minangkabau) yang katanya menunjung tinggi nilai-nilai dan aturan adat yang berlaku, tidak serta merta saja mengelola tanpa izin komunitas adat yang menguasainya sejak ratusan tahun lalu.

Begitu pula dengan pihak Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), sejak hutan-hutan  yang sejatinya merupakan wilayah adat masyarakat lokal diserahkan pengelolaannya kepada negara (TNKS) mereka sama sekali tidak berkoordinasi, mengajak peran serta komunitas adat tempatan, padahal masyarakat adat juga punya kearifan lokal tersendiri dalam mengelola hutan hingga masih bisa dilihat dan dinikmati sekarang. Tak ayal, beberapa tahun yang lalu TNKS -- termasuk gunung Kerinci-- pernah terancam dikeluarkan dari warisan alam dunia oleh Unesco.

Referensi:

Aken, A. Ph. van. 1915.  Nota betreffende de afdeeling Koerintji. [Batavia?], Encyclopaedisch Bureau.

C. M. Kan, Dr, 1876. Naar de Boven-Djambi en Korintji-Vallei, Voordracht, gehouden te haarlem in de vereegening: "oefening in Wtenschappen. J.L.Beijers, Utrecht

Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid. Lihat disini

Kitlv-Pictura. Diakses Februari 2018 (atau lihat disini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun