Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melacak Hubungan Sejarah Budaya Korea dan Nusantara di Masa Lampau

17 Januari 2018   16:36 Diperbarui: 18 Januari 2018   17:03 6364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat angkut yang digunakan oleh Bangsa Korea dan Bangsa Indonesia di Masa Lalu. Sumber: pinterest.com dan Perpusnas fanpage

Menyaksikan film dan  drama kolosal Korea (baca: Saeguk) tidak hanya menarik dan membuat saya memahami tentang sejarah maupun budaya Korea, tetapi juga membuat batin saya bertanya-tanya. Walaupun sebenarnya alur cerita maupun tokohnya dibumbui dengan berbagai hal-hal fiksi untuk menarik perhatian dan menambah rasa penasaran penontonnya.

Pertanyaan itu kian menggelora, ketika saya melihat drama yang berjudul "Saimdang, Light's Diary". Drama ini menceritakan kisah romantis antara tokoh sejarah Korea yang bernama Shin Saimdang, seorang penulis dan seniman perempuan yang hidup di abad ke 16 M pada era Dinasti Joseon dengan tokoh fiksi bernama Lee Gyeom, seorang seniman yang dekat dengan Raja Jungjong.

Di salah satu episodenya (19), ditayangkan mengenai Lee Gyeom yang tengah bercerita tentang pengalamannya sepulang dari pengembaraan ke berbagai belahan dunia sebagai utusan raja. Lee Gyeom menyebut tentang "para Dayang yang menemani putri dari Myeong Guk untuk menikah dengan orang Melayu yang disebut baba nyonya (?)", dan terlihat adegan Lee Gyeom menunjukkan tabung bambu berisi lada hitam kepada pengikutnya. Ia menyebutkan lada hitam didapatkan dari jalur sutra yang nilainya lebih mahal dari emas.

Cuplikan drama saeguk Saimdang, yang menyebut tentang Orang Melayu| Sumber: screenshoot dari Dramaqu
Cuplikan drama saeguk Saimdang, yang menyebut tentang Orang Melayu| Sumber: screenshoot dari Dramaqu
Tak ayal sepotong subtitle dan selintas tayangan itu, membuat batin saya bertanya-tanya, adakah hubungan sejarah dan budaya antara bangsa Korea dengan orang-orang Melayu (baca: bangsa penghuni kepulauan Asia Tenggara/Nusantara) di masa lampau? 

Untuk menjawab rasa penasaran ini, saya berupaya mencari referensi sejarah dan arkeologi yang menerangkan hubungan Korea dan Nusantara di masa lampau. Tetapi, tak satupun artikel maupun buku yang mengangkat isu  tersebut. Padahal merupakan kajian yang sangat menarik mengingat kondisi geografis Nusantara yang berada di sebelah Selatan Semenanjung Korea, di mana antar keduanya terhubung oleh Samudra Pasifik serta gugusan kepulauan Filipina dan Formosa.

Sayangnya hingga kini, tiada satupun bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan kontak budaya Nusantara-Korea di masa lalu. Semisal keramik kuno yang dijadikan komoditi dagang di masa lalu. Keramik-keramik yang ditemukan di Indonesia umumnya berasal dari China yang diproduksi oleh berbagai Dinasti di mulai dari Han hingga Qing, ada pula keramik yang berasal dari Vietnam, Thailand dan Eropa. 

Namun tak ada indikasi yang ditemukan oleh arkeolog mengenai keberadaan keramik yang berasal dari era Dinasti Goryeo maupun Joseon sebagai dinasti yang pernah berkuasa di Korea.  Padahal keramik dalam arkeologi telah menjadi objek kajian untuk melacak kontak budaya melalui perdagangan di masa lalu. Kajian tentang keramik di dalam bidang arkeologi disebut dengan keramologi.

Mangkuk kuno dari Korea, sumber. Koreanart.com
Mangkuk kuno dari Korea, sumber. Koreanart.com
Begitu pula dengan catatan-catatan bangsa Asing tentang Nusantara. Tak satupun sejarawan yang menyebutkan tentang adanya indikasi kehadiran pedagang-pedagang dari Korea di bandar terkemuka Nusantara. Akan tetapi, sebagian besar catatan Asing menyebut mengenai keberadaan bangsa Arab, China, India dan Eropa dalam jalur perdagangan rempah di Nusantara. Padahal selaiknya, Nusantara sebagai poros maritim dunia yang merupakan tujuan utama pencarian dan perdagangan rempah menjadi salah satu  titik penting pertemuan kultur antar bangsa. Tetapi, mengapa orang Korea absen dalam jalur dagang itu?

Ada beberapa asumsi yang saya kemukakan untuk menjawab persoalan di atas--tentu saja hal ini harus dibuktikan melalui penelitian ilmiah nantinya. Pertama, kendala geografis. Di masa lalu, pelayaran sangat mengandalkan sistem angin terutama angin muson Barat dan Timur. Angin Muson Barat misalnya dimanfaatkan oleh pedagang India maupun China untuk berlayar ke Nusantara begitu pula sebaliknya, hal ini didukung kondisi laut yang tidak terlalu berbahaya untuk dilayari. Tetapi keberadaan angin ini tidak bisa dimanfaatkan oleh pelayar dari Korea, apalagi laut ganas Formosa dan pulau-pulau di Selatan Korea yang harus mereka lalui, menambah rintangan untuk berlayar ke Nusantara.

Kedua, hegemoni bangsa Asing di Korea. Sepanjang sejarahnya, semenanjung Korea kerap kali diinvasi oleh Bangsa asing. Seperti invasi bangsa Mongol pada abad ke 13 M (sezaman dengan era Singasari  di Indonesia) yang menyebabkan runtuhnya dinasti Goryeo, invasi bangsa Jepang abad ke 16 M, invasi Dinasti Qing abad ke 17 M, serangan Barat dan invasi Jepang ke 2 di  abad ke 19-20 M. Mungkin dikarenakan hal ini para penguasa Korea terutama dari Dinasti Korea, mengeluarkan kebijakan untuk menutup diri dari pengaruh budaya bangsa-bangsa lain di dunia dalam rangka melindungi negaranya.

Tetapi beda halnya dengan China (terutama masa Dinasti Ming), para penguasa Korea di masa lalu malah menjalin hubungan baik dengan daratan Tiongkok sebagai sekutu dan protektornya, hal ini terlihat jelas dari pengaruh budaya China terhadap budaya Korea, mulai dari sistem tulisan hingga doktrin kepercayaan. Mungkin saja terjadi kontak budaya tidak langsung antar Korea dengan bangsa lain di dunia, tetapi melalui perantara dinasti berkuasa di China yang berbatasan langsung dengan Korea.

Ketiga, budaya dan doktrin konfusionisme. Kuatnya pengaruh China di Korea sejak awal dinasti Joseon, telah menjadikan doktrin konfusionisme sebagai landasan moral dalam kehidupan sosial dan politik bangsa itu. Kehadiran konfusionisme yang dipegang teguh oleh penerus Dinasti Joseon membuat merosotnya pengaruh Budhisme yang berjaya pada era Goryeo serta menjadi penghalang masuk pengaruh Katolik dan agama lainnya ke negara ini. 

Saking konservatifnya bahkan di abad ke 19 M, ada gerakan anti Katolik yang didukung oleh pihak kerajaan, di mana penduduk Korea baik dari strata rendah hingga kaum bangsawan (baca: Yangban) akan di hukum mati ketika ketahuan menganut Katolik atau bahkan hanya karena membaca dan mempelajari buku-buku yang berasal dari Barat. 

Di sisi lain jikalau melihat dari kuliner orang Korea, terlihat miskinnya kandungan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, kayu manis, kemiri dan lain sebagainya. Makanan favorit mereka umumnya dibuat dengan cara fermentasi. Ketidakbutuhan mereka akan rempah sebagai bahan makanan untuk menghangatkan tubuh dan keberadaan tanaman ginseng sebagai  alternatif-- mereka punya cara mengolah makanan sendiri, untuk bertahan di musim dingin -- menjadikan mereka tidak perlu berlayar mengharungi bahari demi mencari butir rempah-rempah yang melimpah di Nusantara.

Di samping itu, perihal absennya orang Korea dalam catatan asing di Nusantara, barangkali jikalau kita melihat dari perspektif bangsa non Korea di masa lalu (penduduk lokal, Arab, Eropa, India), akan susah membedakan antara orang Tionghoa dan orang Korea secara fisik dan kultural, apalagi jika orang Korea mengatasnamakan dinasti Ming ketika kontak dengan pedagang asing.

Oleh sebab itu, walaupun kenyataannya orang Korea hadir dalam jalur dagang rempah Nusantara, tetapi catatan asing mungkin saja menyamakan mereka dengan orang-orang dari dinasti Ming (Tionghoa). Hal ini makin menyulitkan melacak hubungan sejarah Korea dan Nusantara di masa lalu.

***

Sebagai pengakhir kata, ada baiknya para arkeolog dan keramolog Indonesia  mulai mempelajari keramik dan tembikar yang diproduksi oleh bangsa Korea dari berbagai masa. Kajian ini sangat berguna untuk melacak hubungan sejarah dan kebudayaan ke dua bangsa ini, sehingga dapat memperkokoh jalinan kerja sama antarbangsa. Mana tahu, keramik-keramik yang awalnya diklaim keramik China, sesungguhnya merupakan keramik Korea yang memiliki persamaan ciri. Kajian keramologi  di Indonesia saat ini, terbatas pada objek keramik China, Eropa, Jepang dan keramik dari Asia Tenggara Daratan seperti Thailand dan Vietnam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun