Tak tanggung-tanggung, isu ini bahkan membuat pihak "istana negara" mengirim utusan khusus untuk meneliti masalah piramida tersebut dengan dana fantastis walaupun hasilnya tak pernah dipublikasikan hingga saat ini. Namun, sayangnya arkeolog menepis isu bahwa Gunung Padang sebagai piramida terbesar yang telah berusia puluh ribuan tahun menyaingi piramida di Mesir. Menurut arkeolog, susunan batu gunung padang merupakan columnar joint yang terbentuk secara alamiah melalui peristiwa geologis, jauh setelah itu, manusia kemudian memanfaatkan batuan-batuan columnar joint yang berada di permukaan Gunung Padang sebagai menhir dan tugu batu untuk keperluan religi seperti penyembahan terhadap arwah nenek moyang.Â
Jadi, sentuhan manusia terhadap gunung padang jauh lebih kemudian daripada pembentukan alamiah Gunung Padang itu sendiri. Kedua, isu tentang Borobudur sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman oleh seseorang Matematikawan Al-qur'an(?) Buku-bukunya tentang Borobudur Nabi Sulaiman itu sangat laris di pasaran dan bahkan didukung oleh banyak simpatisan.Â
Arkeolog sangat menolak pandangan tersebut, soalnya sangatlah jelas Borobudur merupakan candi agama Budha terlihat dari arca dan relief-reliefnya yang sangat dipengaruhi gaya India. Selain itu, sebagaimana yang dipaparkan Susantio, inskripsi-inskripsi singkat yang ditemukan pada batuan candi pun berupa mantra-mantra Budhis. Artikel yang ditulis pada April 2017 ini, telah dibaca sebanyak 3345 kali oleh pembaca dan dinilai oleh 10 pembaca.Â
3. Tulisan pada Prasasti Kuno Terbaca Gajah Mada, Bukan Gaj Ahmada
Isu ini turut menarik perhatian Pak Susantio dan mendorongnya untuk menulis artikel yang menyajikan data arkeologis terkait dengan nama Gajah Mada itu. Melalui artikel tersebut, Susantio menyajikan tiga prasasti beraksara Jawa Kuno dari periode abad ke 14 M, yang kesemuanya secara terang benderang-sesuai dengan kaedah pembacaan aksara Jawa kuno -menuliskan nama "Gajah Mada", bukan "Gaj Ahmada". Artikel ini sangat menarik, karena mungkin satu-satunya artikel yang menyajikan data arkeologis untuk membantah nama Arab Gaj Ahmada itu. Tulisan ini telah dibaca sebanyak 2782 kali dan dinilai sebanyak 9 pembaca sejak dipublis pada Juni 2017.
4. Mau Diapakan Ribuan Naskah Kuno Kita?
Tulisan yang saya buat pada pada Oktober 2017 ini, berisi tentang laporan mengenai sebuah seminar Internasional pernaskahan Nusantara yang digelar pada September yang lalu. Seminar-seminar semacam ini kerapkali luput dari pemberitaan media massa sehingga jarang diketahui oleh masyarakat padahal seminar ini mengangkat topik yang menarik yaitu mengenai naskah-naskah kuno Nusantara dan peranannya dalam memperteguh kebhinnekaan.Â
Mungkin artikel ini menjadi satu-satunya yang mengupas beberapa materi yang disampaikan dalam seminar itu. Melalui artikel ini, saya mengangkat masalah-masalah yang dihadapi naskah kuno Nusantara, salah satu data arkeologis, seperti terkait pelestariannya, keberadaannya yang tersimpan di perpustakaan luar negeri hingga keberadaannya di tengah masyarakat awam yang terkadang membahayakan preservasinya kerena ketidaktahuan cara menanganinya.Â