Di Sumatera, pengaruh Arab dan Cina sangat kentara, dalam penyebutan berbagai bentuk busana misalnya, ada istilah dalam bahasa daerah yaitu "Sarawa" atau "Siwan" yang berasal dari bahasa Arab  "Syirwal" yang berarti celana, atau ada jenis baju yang biasa disebut dengan istilah "gunting Cina". Di samping itu, penggunaan Jubah yang identik dengan bangsa Arab, juga banyak diserap sebagai busana tradisional oleh para Sultan, Bangsawan, apalagi oleh penyandang status Imam, Kiyai, Haji, Kadi, Fakih, dan Mufti pada masa Islam dan Kolonial di Indonesia. Masyarakat Betawi malahan menggunakan jubah sebagai salah satu busana tradisional bagi pengantin pria.
Baju lurik saya kira adalah busana yang dipengaruhi oleh unsur budaya China untuk modelnya, sementara tenunannya dipengaruhi unsur budaya India, dan penggunaan baju lurik dalam masyarakat Jawa cukup terbilang baru, karena dulu (masa Hindu-Budha) baju tidaklah menjadi komponen utama busana lelaki Jawa sebagaimana yang terlihat pada relief-relief candi.
Unsur Budaya terakhir yang mempengaruhi busana 'pribumi' Indonesia adalah unsur Eropa, penggunaan vest (rompi) dan wambius (jas pendek) marak di kalangan bangsawan istana ketika mereka diperkenalkan dengan tata cara berpakaian ala Eropa. Â
Ikat atau tutup kepala turut pula menjadi identitas busana tradisional etnis-etnis di Indonesia. Di Jawa dikenal dengan istilah Blankon, di Sumatera Barat dikenal istilah Deta atau Destar, di Riau dan Jambi ada istilah Tanjak, di Bali ada istilah Udeng, di Aceh ada istilah kupiah meuketuep, kupiah tungkop atau kupiah syam dan berbagai istilah lainnya yang digunakan oleh etnis di Indonesia. Berbagai bentuk ikat/tutup kepala tersebut bila diperhatikan secara seksama memiliki kemiripan dengan bentuk 'lilitan surban' atau 'kupiah' dari budaya-budaya lain di dunia seperti India, Arab bahkan Turki.Â
Sebuah kritik untuk Abu Janda Al-Boliwudi