Riwayat Jambi bisa dibilang sangat tragis, bila dibandingkan dengan Kesultanan-kesultanan lain di Nusantara. Kesultanan Deli, Siak dan Langkat misalnya, justru mencapai puncak kejayaan di masa-masa akhir kolonial setelah dibukanya perkebunan Tembakau dan Karet dengan perjanjian bahwa Kesultanan-Kesultanan itu berada di bawah Kerajaan Belanda, begitu pula dengan Kesultanan Yogyakarta, hubungan baik dengan Belanda yang terjalin setelah perang Jawa, telah membangun perekonomian Kesultanan. Tentu saja ada dampak positif dari hubungan baik Belanda dan Kesultanan di akhir-akhir masa Kolonial, para Sultan 'nyaman' duduk di tahtanya dengan bergelimpangan harta, istana-istana, pesanggrahan, sekolah-sekolah, sebuah kota bergaya Indisch dibangun di wilayah kekuasaannya. Dampak positifnya pun masih bisa dirasakan hingga sekarang, bangunan-bangunan ala indisch itu dijadikan cagar budaya dan tempat wisata yang secara aktif turut menyumbangkan PAD daerah. Sementara Jambi, namanya terus tenggelam, bahkan Makam-makam sultannya terus dihimpit oleh arus pembangunan modern.
![Gambar 3. Makam Sultan Abdul Qahhar yang tidak terawat dan berada di tengah-tengah permukiman, sumber: Via Dicky](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/22/fb-img-1504012342179-59ec3956c226f9325743d893.jpg?t=o&v=555)
Andaya, Barbara (2016). Hidup Bersaudara: Sumatra Tenggara pada abad ke 17-18 M. Yogyakarya, Penerbit Ombak
Usman Meng (1996). Ikhtisar Sejarah Sepucuk Jambi Sembilan lurah. Disparbud Jambi (tidak diterbitkan)