Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menelisik Sejarah Indonesia Melalui Perdagangan Tekstil di Masa Lalu

3 Oktober 2017   12:42 Diperbarui: 3 Oktober 2017   15:33 2925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar 4. Kain Telepuk Sarasa Pusaka Dipati Agung dari Siulak | sumber: EAP117/British Library

Arkeologi dan Studi Perdagangan

Arkeologi pada mulanya lahir dan berkembang di dunia Barat. Munculnya ilmu arkeologi dilatarbelakangi oleh pelampiasan keingintahuan pribadi mengenai masa lalu dan asal usul manusia yang lama-kelamaan berubah menjadi tantangan akan kemampuan berpikir. Kata arkeologi berasal dari bahasa Yunani yaitu 'Arkhaios' yang berarti kuno, tua atau purbakala, dan 'logos' yang berarti ilmu. Secara umum, arkeologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui tinggalan-tinggalannya yang berwujud artefak, ekofak dan fitur. Melalui tinggalan-tinggalan tersebut arkeolog merekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup dan prilaku manusia, serta perubahan-perubahan budaya di masa lampau. (Simanjuntak, 2008).

Salah satu studi dalam ilmu arkeologi dalam rangka rekonstruksi kebudayaan adalah studi perdagangan. Perdagangan sendiri didefiniskan sebagai proses interaksi antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain untuk memperoleh komoditas (Puslit Arkenas, 1999). Di mana hal ini melibatkan empat komponen pokok yaitu orang yang mengadakan interaksi, barang atau komoditas, transportasi atau alat yang digunakan untuk memindahkan barang atau komoditas dan kedua belah pihak yang terkait dengan perdagangan (Puslit Arkenas, 1999).

Dewasa ini di Indonesia, kajian perdagangan kuno lebih difokuskan pada artefak keramik yang secara kuantitas dan kualitas sangat banyak ditemukan di situs-situs arkeologi di Indonesia, serta di dalam kapal-kapal yang karam di perairan Indonesia di masa lampau. keramik-keramik tersebut umumnya berasal dari Tiongkok yang berasal dari berbagai dinasti, meskipun sejumlah kecil juga ada yang berasal dari Asia Tenggara Daratan. Namun demikian, potensi kajian perdagangan kuna tidak hanya terbatas pada kajian artefak keramik tetapi juga pada material lain seperti kain/tekstil misalnya.

Ceritra dari sumber-sumber Naskah tentang Perdagangan Kain

Sebuah surat dari Sultan Indrapura yang berkuasa di Pesisir Barat Sumatra kepada Para Depati Penguasa Kerinci khususnya di sebuah Negeri bernama Semurup, surat ini telah dialihaksarakan oleh Petrus Voorhoeve (1941) diketahui berisi mengenai permintaan Sang Sultan agar Raja Kiyai Dipati Simpan Bumi (seorang penguasa Kerinci) untuk berniaga ke Bandar Indrapura karena saat itu para peniaga asing telah datang dengan membawa komoditas yang banyak seperti kain dan besi, berikut penggalan isi suratnya:

........Salam Allah (bagian yang tak terbaca) dibarakat Muhammadin sayyidil anam amin yaa Rabba l'alamin. Maka dapat daripada surat ta'lim dan takrim dan tabik banyak-banyak daripada Orang Kaya Serian dan Orang kaya Petor Muda barang disampaikan Allah kiranya kepada Raja Kiai Dipa(t)i Simpan Bumi dengan segala dipati semuanya dalam negeri Kerinci. Wa ba'du kemudian itu karena surat ini seperti janji tahu sekarang sudah datang barang-barang berniaga jenisnya selampuri hitam beseta itam besar beseta putih besar, beseta itam kecil, beseta (putih) kecil, zusilangan, kasah putih halus, kasah putih kasar, kasah merah halus, perkara (merah), giras putih, ipuh, kendakin, beseta papan, ginggang lagi sekih, ada besi panjang lagi semoa elok barang2. Karena itu kami suka Raja Dipati Simpan Bumi dengan orang banyak dari Air Aji berniaga bawak barang-barang lagi gading gajah dan lilin dan banyak-banyak tali Kerinci yang putar tiga lain2 yang boleh dapat dalam negeri Kerinci..... (Voorhoeve, 1941)

Di dalam surat ini sang Sultan menyebut berbagai jenis tekstil impor yang diperdagangkan di Bandar Indrapura seperti: Kain Salempuri Hitam, Kain Bashta (ditulis beseta dalam surat) yang berwarna hitam dan putih dengan berbagai ukuran, Zusilangan (?), dan Kain Sarasa (di dalam surat disebut kasah) dengan warna hitam dan putih. Literatur lain mengenai perdagangan tekstil disebut dalam hikayat Sulalatussalatin yang menceritakan bahwa Laksmana Hang Nadim diperintah oleh Sultan Mahmud untuk berlayar di India agar mendapat 140 lembar kain Sarasah dengan 40 pola jenis bunga pada setiap lembarnya.

Gambar 2. Kain Basta Gujarat yang ditemukan di Palembang Sumber:https://nga.gov.au/IndonesianTextiles
Gambar 2. Kain Basta Gujarat yang ditemukan di Palembang Sumber:https://nga.gov.au/IndonesianTextiles
Berbagai jenis tekstil yang disebut di dalam surat Sultan Indrapura ini merupakan tekstil berkualitas yang berasal dari India. Dalam KBBI misalnya mendefinisikan kain Serasah sebagai kain tenunan India. Hal ini membuktikan adanya jaringan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan India di masa lampau. Perdagangan antara Nusantara dan India sudah dimulai sejak awal millennium pertama masehi dan terus berlangsung hingga masa Islam dan Kolonial. Bangsa India banyak mengimpor sistem pengetahuan ke Indonesia termasuk tulisan, sistem pemerintahan, religi bahkan teknologi menenun kain. Sebagaimana diketahui, masyarakat penutur Austronesia di Nusantara  pada mulanya hanya mengenal pembuatan pakaian dari kulit kayu, hingga terjadi kontak budaya dengan India, penduduk Nusantara pada akhirnya mampu mengembangkan sendiri cara membuat kain dengan teknologi tenun dan menghasilkan berbagai corak yang khas. Hingga abad ke 19 M, impor kain dari India masih terus berlangsung karena saat itu kain India dianggap lebih berkualitas.

Tekstil-tekstil Kuno dari India: Pusaka yang tersimpan Elok

Kebenaran isi surat dan hikayat tentang adanya perdagangan tekstil di masa lampau dibuktikan dengan bukti arkeologis. Suku Kerinci di wilayah Jambi misalnya (sebagaimana yang disebut dalam surat Sultan Indrapura) memiliki kebiasaan menyimpan barang pusaka dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Berbagai jenis barang seperti surat raja, senjata, perhiasan, perkakas ritual dan kain disimpan dalam kotak penyimpanan khusus yang kemudian diletakkan di atas loteng bagian dapur sebuah rumah adat. Cara penyimpanan yang demikian pula-lah yang menyebabkan barang-barang kuna tetap terjaga walaupun sudah berusia sangat tua karena kelembapan dan temperatur yang stabil. Di antara barang-barang pusaka tersebut adalah kain-kain yang berasal dari India. Dalam bahasa lokal kain tersebut disebut sebagai kain cinde (gambar 1), kain salimpuri (gambar 3), kain serasah dan telepuk serasah (gambar 4).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun