Arkeologi dan Studi Perdagangan
Arkeologi pada mulanya lahir dan berkembang di dunia Barat. Munculnya ilmu arkeologi dilatarbelakangi oleh pelampiasan keingintahuan pribadi mengenai masa lalu dan asal usul manusia yang lama-kelamaan berubah menjadi tantangan akan kemampuan berpikir. Kata arkeologi berasal dari bahasa Yunani yaitu 'Arkhaios' yang berarti kuno, tua atau purbakala, dan 'logos' yang berarti ilmu. Secara umum, arkeologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui tinggalan-tinggalannya yang berwujud artefak, ekofak dan fitur. Melalui tinggalan-tinggalan tersebut arkeolog merekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup dan prilaku manusia, serta perubahan-perubahan budaya di masa lampau. (Simanjuntak, 2008).
Salah satu studi dalam ilmu arkeologi dalam rangka rekonstruksi kebudayaan adalah studi perdagangan. Perdagangan sendiri didefiniskan sebagai proses interaksi antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain untuk memperoleh komoditas (Puslit Arkenas, 1999). Di mana hal ini melibatkan empat komponen pokok yaitu orang yang mengadakan interaksi, barang atau komoditas, transportasi atau alat yang digunakan untuk memindahkan barang atau komoditas dan kedua belah pihak yang terkait dengan perdagangan (Puslit Arkenas, 1999).
Dewasa ini di Indonesia, kajian perdagangan kuno lebih difokuskan pada artefak keramik yang secara kuantitas dan kualitas sangat banyak ditemukan di situs-situs arkeologi di Indonesia, serta di dalam kapal-kapal yang karam di perairan Indonesia di masa lampau. keramik-keramik tersebut umumnya berasal dari Tiongkok yang berasal dari berbagai dinasti, meskipun sejumlah kecil juga ada yang berasal dari Asia Tenggara Daratan. Namun demikian, potensi kajian perdagangan kuna tidak hanya terbatas pada kajian artefak keramik tetapi juga pada material lain seperti kain/tekstil misalnya.
Ceritra dari sumber-sumber Naskah tentang Perdagangan Kain
Sebuah surat dari Sultan Indrapura yang berkuasa di Pesisir Barat Sumatra kepada Para Depati Penguasa Kerinci khususnya di sebuah Negeri bernama Semurup, surat ini telah dialihaksarakan oleh Petrus Voorhoeve (1941) diketahui berisi mengenai permintaan Sang Sultan agar Raja Kiyai Dipati Simpan Bumi (seorang penguasa Kerinci) untuk berniaga ke Bandar Indrapura karena saat itu para peniaga asing telah datang dengan membawa komoditas yang banyak seperti kain dan besi, berikut penggalan isi suratnya:
........Salam Allah (bagian yang tak terbaca) dibarakat Muhammadin sayyidil anam amin yaa Rabba l'alamin. Maka dapat daripada surat ta'lim dan takrim dan tabik banyak-banyak daripada Orang Kaya Serian dan Orang kaya Petor Muda barang disampaikan Allah kiranya kepada Raja Kiai Dipa(t)i Simpan Bumi dengan segala dipati semuanya dalam negeri Kerinci. Wa ba'du kemudian itu karena surat ini seperti janji tahu sekarang sudah datang barang-barang berniaga jenisnya selampuri hitam beseta itam besar beseta putih besar, beseta itam kecil, beseta (putih) kecil, zusilangan, kasah putih halus, kasah putih kasar, kasah merah halus, perkara (merah), giras putih, ipuh, kendakin, beseta papan, ginggang lagi sekih, ada besi panjang lagi semoa elok barang2. Karena itu kami suka Raja Dipati Simpan Bumi dengan orang banyak dari Air Aji berniaga bawak barang-barang lagi gading gajah dan lilin dan banyak-banyak tali Kerinci yang putar tiga lain2 yang boleh dapat dalam negeri Kerinci..... (Voorhoeve, 1941)
Di dalam surat ini sang Sultan menyebut berbagai jenis tekstil impor yang diperdagangkan di Bandar Indrapura seperti: Kain Salempuri Hitam, Kain Bashta (ditulis beseta dalam surat) yang berwarna hitam dan putih dengan berbagai ukuran, Zusilangan (?), dan Kain Sarasa (di dalam surat disebut kasah) dengan warna hitam dan putih. Literatur lain mengenai perdagangan tekstil disebut dalam hikayat Sulalatussalatin yang menceritakan bahwa Laksmana Hang Nadim diperintah oleh Sultan Mahmud untuk berlayar di India agar mendapat 140 lembar kain Sarasah dengan 40 pola jenis bunga pada setiap lembarnya.
Tekstil-tekstil Kuno dari India: Pusaka yang tersimpan Elok
Kebenaran isi surat dan hikayat tentang adanya perdagangan tekstil di masa lampau dibuktikan dengan bukti arkeologis. Suku Kerinci di wilayah Jambi misalnya (sebagaimana yang disebut dalam surat Sultan Indrapura) memiliki kebiasaan menyimpan barang pusaka dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Berbagai jenis barang seperti surat raja, senjata, perhiasan, perkakas ritual dan kain disimpan dalam kotak penyimpanan khusus yang kemudian diletakkan di atas loteng bagian dapur sebuah rumah adat. Cara penyimpanan yang demikian pula-lah yang menyebabkan barang-barang kuna tetap terjaga walaupun sudah berusia sangat tua karena kelembapan dan temperatur yang stabil. Di antara barang-barang pusaka tersebut adalah kain-kain yang berasal dari India. Dalam bahasa lokal kain tersebut disebut sebagai kain cinde (gambar 1), kain salimpuri (gambar 3), kain serasah dan telepuk serasah (gambar 4).