Walaupun Yondri mengemukakan bahwa orientasi makam (Barat Laut-Tenggara) berbeda dengan orientasi makam orang Islam saat ini (Utara-Selatan), arah makam lebih berorientasi menghadap Gunung Sago. Dengan kata lain, konsepsi religi mereka masih konsepsi religi masa prasejarah, sementara sistem penguburan menyerap sistem penguburan Islam sehingga komunitas pendukungnya dikatakan berada pada masa transisi prasejarah-Islam.Â
Namun, penulis berasumsi bahwa makam tersebut merupakan makam orang-orang Islam pada periode awal Islam di Sumatera Barat, bukan pada masa transisi. Terkait dengan perbedaan orientasi dengan makam orang Islam masa kini, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (1) arah kepala dari rangka yang ditemukan menghadap ke arah barat laut, tepat di mana arah kiblat (Ka'bah) berada, (2) ada perbedaan konsepsi arah kiblat antara komunitas pada awal Islam dengan komunitas Islam yang ada sekarang. Pertama berkaitan dengan pemahaman apakah yang menghadap kiblat itu wajah 'si mayit' atau kepala 'si mayit'.Â
Komunitas Islam pada periode awal agaknya berpendapat bahwa yang menghadap kiblat bukanlah wajah 'si mayat' tetapi kepala 'si mayat' sehingga orientasi kuburannya berada pada arah Barat laut-tenggara, berbeda dengan pemahaman Islam pada periode berikutnya yang berpendapat bahwa yang menghadap ke kiblat adalah wajah si mayat walaupun dengan pengetahuan arah kiblat berada di barat (walaupun perhitungannya kurang tepat, karena arah kiblat di Indonesia berada pada arah barat laut). Oleh sebab itu, penulis berkesimpulan bahwa adanya perbedaan antara orientasi makam orang Islam periode awal dengan makam Islam masa sekarang di Sumatera Barat disebabkan oleh perbedaan konsepsi tata cara penguburan secara Islam dan perbedaan pengetahuan tentang arah kiblat.Â
Sayangnya, pendapat penulis ini tidak didukung oleh hasil pertanggalan karbon (C-14) yang ada di situs Bawah Parit dan situs Guguk. Hasil pertanggalan Aziz dan Siregar (1997) di situs Bawahparit menunjukkan angka 1650-1450 SM. Sementara itu, hasil pertanggalan karbon dari dua rangka yang ada di situs Guguk menunjukkan angka abad 4-5 M dan 1-4 M (Triwurjani, 2016: 135). Angka pertanggalan ini sangat mengejutkan karena jauh lebih tua dibandingkan dengan permulaan agama Islam di Mekkah yakni di mulai pada abad ke 7 M.
Ada beberapa pandangan terkait dengan hasil pertanggalan C-14 pada situs Bawahparit maupun situs guguk. Pertama, Yondri (2014) mengemukakan bahwa hasil pertanggalan karbon dari situs megalitik Bawah Parit tidak cocok dan tidak sesuai dengan pertanggalan situs-situs megalitik lainnya yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, menurutnya, hasil pertanggalan tersebut harus ditinjau kembali karena tidak selaras dengan budaya yang terjadi pada masa itu. Sebagai contoh, situs megalitik di Nias berasal dari periode 15-17 M, situs-situs megalitik dataran tinggi Jambi 4-13 M, situs-situs megalitik Banua Keling Sumatera Selatan 3 hingga 17 M.Â
Kedua, Senada dengan Yondri, penulis berpendapat bahwa kemungkinan penyebab ketidaksesuaian pertanggalan karbon disebabkan oleh adanya proses penggalian tanah untuk penguburan. Karbon yang seharusnya berada pada lapisan lebih bawah teraduk saat dilakukan penggalian untuk pemakaman pada masa lalu. Karbon ini pada akhirnya terdeposisi pada lapisan yang lebih atas atau melekat pada rangka yang kemudian ditemukan saat ekskavasi. Lebih lanjut, seharusnya dilakukan pengukuran pH tanah di sekitar temuan rangka, biasanya tanah dengan derajat keasaman yang tinggi tidak akan aman untuk preservasi tulang apalagi yang sudah sangat tua. Rangka manusia masa prasejarah  kebanyakan ditemukan di sekitar mulut gua dengan kondisi tanah yang bersifat basa. Sementara untuk situs terbuka jarang ditemukan karena telah hancur, kecuali rangka2  yang berumur lebih muda.
Menhir di wilayah Sumatera Barat mungkin telah ada pada periode pertengahan milenium pertama masehi, namun pada periode berikutnya menhir tersebut telah dialihfungsikan atau ditiru bentuknya oleh komunitas berikutnya. Miksic (2004) berpendapat bahwa menhir yang disebut pula mejan atau batu tagak telah dialihfungsikan sejak masa klasik (periode Adityawarman) di mana menhir tersebut dipindahkan ke lokasi tempat berdirinya balai adat, digunakan sebagai pembatas gelanggang, sebagai batas nagari atau wilayah kaum. Sementara itu, bagi komunitas muslim pada periode awal menjadikan menhir berbentuk gagang keris/pedang sebagai bentuk nisan, bentuk nisan seperti menhir terus diproduksi hingga masa-masa berikutnya sebagai karakteristik nisan yang berasal dari pedalaman Sumatera Barat.Â
Referensi:
Indriastuti, Kristantina, 2010. Akulturasi Budaya Austronesia: Tinjauan pada Tempayan Kubur di wilayah Sumatera bagian Selatan, Kapita Arkeologi 6 (10), pp. 19-40
Miksic, John, 2004, From Megaliths To Tombstones: The Transition From Prehistory to The Early Islamic Period in Highland west Sumatra, Journal Indonesia and the Malay World 32 (93), pp. 192-210
Triwurjani, RR .2016. Tradisi Berlanjut Budaya Austronesia di Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Berkala Arkeologi 36 (2) pp. 120-140