Telah muncul konflik di Laut China Selatan (LCS) yang akhir-akhir ini telah memicu ketegangan di beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Wilayah tersebut merupakan jalur laut dunia yang sangat penting, juga kaya akan sumber daya alam berupa minyak dan gas. Dengan besarnya potensi sumber daya alam, serta jalur perdagangan maritim yang penting, tak heran jika Laut China Selatan menjadi objek penting yang ingin dikuasai oleh banyak negara disekitarnya dengan klaim kedaulatan atas wilayah tersebut. China merupakan yang paling mengajukan klaim terhadap seluruh wilayah Laut China Selatan. Ambisi China juga dibuktikan dengan membangun pulau buatan yang diperkuat oleh pasukan militernya di kepulauan Spratly.
    Sejarah konflik Luat China Selatan ada sejak lama sebelum negara-bangsa (nation state) yang berada dikawasan Asia Tenggara. Secara periodik, adanya dorongan politik telah menghantarkan untuk menguasai wilayah tersebut yang diiringi dengan mobilitas kapal-kapal perdagangan. Misalnya dinasti Han, adalah salah satu episentrum perdagangan yang melihat potensi jalur pelayaran antara barang dan jasa. Dominasi dinasti Han dalam mobililasi perdagangan ialah salah satu pemicu aktor lokal di sekitar wilayah Laut China Selatan guna terlibat aktif perebutan sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut. Aktor lokal itu meliputi kerajaan Funan, Kerajaan Angkor, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Champa, Kerajaan Ayutthaya, dan Kesultanan Melaka.
    Keterlibatan aktor lokal silih berganti mengendalikan Laut China Selatan. Hingga abad ke-12, kerajaan-kerajaan tersebut mengendalikan secara penuh sampai kawasan di sekitarnya. Namun, selama abad 12 hingga abad 15, muncul tokoh penting yang bernama Laksamana Cheng Ho yang berperan menahkodai selurh armada-armada China untuk mendomiansi Laut China Selatan. Laksamana Cheng Ho juga seorang muslim yang pada akhirnya ikut andil dalam mensyi'arkan agama Islam di Nusantara dan sekitarnya. Kondisi semakin berubah ketika para saudagar-saudagar Barat mulai berbondong-bondong datang seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis, dan Inggris yang juga diperkuat militer untuk mendominasi Laut China Selatan yang sebelumnya di kuasai para saudagar Arab. Hingga abad 17, Belanda adalah yang paling mendominasi kawasan Laut China Selatan yang pada akhirnya di abad 18-19 dominasi penjajah eropa semkain menurun.
    Implikasi atas konflik Laut China Selatan telah mengancam kedaulatan yang pada khususnya klaim wilayah Tiongkok yang juga mencakup sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara. Ancaman yang nyata meliputi keamanan maritim, aktivitas ekonomi, dan memengaruhi hubungan bilateral kedua negara tersebut. Selain itu, potensi keamanan regional, termasuk stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara akan menghambat usaha ASEAN dalam melakukan promosi stabilitas, perdamaian, dan kerjasama di kawasan itu.
    Memahami konflik yang terjadi di kawasan Laut China Selatan membutuhkan ketelitian masalah dan pokok persoalannya. Potensi sumber daya alam yang menjadi fundamental masalah kawasan tersebut merupakan persoalan kedaulatan negara. Tumpang tindih wilayah perbatasan yang diklaim oleh negara yang terlibat menjadikan persoalan semakin rumit. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, rumitnya persoalan Laut China Selatan ialah kegagalan perjanjian San Fransisco Treaty pada tahun 1951 yang menetapkan status kepulauan Spratly pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II
    Mengenal Sembilan Garis Terputus. Sembilan Garis Terputus (SGT) muncul dalam peta yang dipublikasikan Republik Rakyat China (RRC) untuk menunjukkan batas teritorial maritim Laut China Selatan. Garis tersebut pertama kali dikenalkan pada tahun 1947, dan telah digunakan RRC menjustifikasi klaimnya terhadap kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan karang. Namun, SGT tidak familiar dikalangan komunitas Internasional dan menjadi sumber sengketa bagi negara-negara, termasuk Filipina, Vietnam, Brunei, dan Indonesia (Kepulauan Natuna).
    Kedaulatan harus menjadi tema penting di tengah-tengah konflik yang muncul diberbagai belahan dunia. Konflik yang terjadi di kawasan Laut China Selatan adalah contoh nyata yang menjadi episentrum yang dialami oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Ancaman ini perlu disadari oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia, khususnya di kawasan Natuna ialah salah satu yang terdampak karena letak kawasan berdekatan dengan area konflik. Oleh karena itu, peran negara untuk selalu hadir di kawasan Perairan Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia sangat dibutuhkan yang sebelumnya telah di klaim melalui SGT. Kehadiran bisa diupayakan oleh aparat keamanan dan pemerintah hingga penduduk yang aktif sebagai simbol yang sah atas kedaulatan negara.
    Upaya diplomasi Indonesia merupakan bentuk penolakan terhadap klaim China di kawasan Laut China Selatan musti secara terus menerus dijalankan. Selain melakukan diplomasi, pemerintah Indonesia juga menyiagakan kekuatan militer di kawasan Natuna guna mewujudkan deterrence effect kepada China. Dalam hal ini, seluruh seperangkat kekuatan militer Indonesia melalui TNI AL, TNI AU, serta Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) RI terus ditingkatkan dalam melakukan operasi pertahanan secara intensif di kawasan tersebut. Oleh karena itu, pengerahan dan peningkatan kekuatan militer melalui TNI AL dan TNI AU diharapkan mampu mengantisipasi potensi-potensi konflik yang akan terjadi. Disisi lain, BAKAMLA musti berperan aktif guna pengamanan terhadap ancaman non militer yang terjadi di kawasan tersebut, sebagaimana tindakan yang terjadi berupa transnational crime. Dalam sengketa yang terjadi di Laut China Selatan, illegal fishing ialah pelanggaran yang sering dilakukan para nelayan China.
    Selain meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut, pemerintah Indonesia harus secara konsisten mencermati segala dinamika yang terjadi dan terus meningkatkan upaya koordinasi antar lembaga yang terkait guna menangani sengketa di kawasan itu. Dengan kehadiran kekuatan militer dan non militer yang terus menerus dikerahkan di kawasan sengketa menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjaga kedaulatannya, serta wujud untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala bentuk ancaman dari negara-negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H