Tiga belas tahun yang lalu, ada seorang anak yang sedang bermain dengan asyik di halaman sebuah taman kanak-kanak. Ia berlarian ke sana ke mari, menaiki anak tangga, menuruni perosotan, dan meloncat dengan girang. Hingga sampailah Ia di depan pintu, kemudian terpeleset, terjatuh tepat di ujung keramik, lantas melukai pelipis kanan matanya. Ia menangis, air mata dan darah keluar dengan deras dari mata dan pelipisnya. Semua orang panik, cemas, dan ketakutan, termasuk Dia. Bersama Ayah, Dia membawanya, mendekapnya dengan erat di tengah teriknya panas matahari, menaiki motor selama dua jam sampai ke ruang IGD tempat Dia bekerja. Sekujur tubuhnya lemas, kesadarannya hilang, hingga Ia tertidur di pelukannya.
Di kesempatan yang lain, anak itu pernah ‘hilang’ di tengah keramaian. Saat tengah menonton pertunjukan gajah di Taman Safari, ia kehilangan temannya. Temannya menghilang begitu saja, pergi tanpa permisi, meninggalkan sang anak sendirian di tengah keramaian. Anak kecil tadi menangis dan kebingungan, tak tahu harus pergi ke mana. Ajaibnya, di tengah tangis dan bingungnya itu, Tuhan beri petunjuk, Tuhan bimbing kakinya menuju sebuah tempat bernama Pusat Informasi. Sang anak melapor, bahwa Ia kehilangan temannya. Laporannya tadi diumumkan ke seluruh penjuru Taman Safari, sehingga semua orang mendengarnya, termasuk Dia. Setelah mendengar pengumuman itu, Dia bergegas berlari ke Pusat Informasi, lantas berlutut, mencium dan mendekap sang anak. Lagi-lagi, Ia tenggelam di pelukannya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. tiga belas tahun kemudian, Dengan berat hati, Dia harus mengantar sang anak pergi, merantau ke luar pulau untuk berkuliah. Senyumnya tak sekalipun pudar, bahagianya tak berhenti berpendar, hingga tiba lah saat perpisahan, Dia harus melepas sang anak di rantau orang. Kali ini, peluknya lebih erat, dekapnya lebih kuat, tangisnya lebih dahsyat. “Kuat ya, Nak, sampai jumpa lagi” ucapnya di telepon. Saat itu, bukan hanya Dia, sang anak pun ikut menangis dalam sepi.
Anak itu adalah aku, dan Dia adalah ibuku.
Kisah di atas merupakan kisah nyata, rangkuman tiga dari sekian banyak kisah 'tenggelam dalam pelukan Ibu' lainnya, mulai dari masa kecil, masa sekolah, masa remaja, hingga saat ini, usiaku hampir menginjak dua puluh tahun. Sejujurnya, aku bukan tipe anak yang suka bercerita ke keluarga, terlebih orang tua. Aku lebih nyaman bercerita kepada teman, maupun menuliskannya di buku catatan. Tetapi entah mengapa, ada rasa yang berbeda dari bercerita ke Ibu. Sungguh ajaib, tanpa tahu judulnya, tanpa melihat sampulnya, Ibu sudah tahu isi ceritanya. Mulai dari masalah belajar, agama, hingga percintaan.
Kali ini, aku benar-benar merasakan kehilangan dan kesepian. Berada jauh dari Ibu dan Ayah, terpisah jarak ribuan kilometer jauhnya, menumbuhkan perasaan baru yang semakin hari semakin tumbuh, yaitu rindu. Rindu suaranya, rindu omelannya, rindu perintah salatnya, rindu masakannya, rindu pelukannya, rindu segalanya. Aku ingat betul, sederas apa tangisku sore itu saat bercerita tentang permasalahanku ke Ibu. Itulah alasanku enggan bercerita via telepon, takut banjir air mata, menangis tersedu-sedu (lagi).
***
Ibu memberi banyak warna dalam perjalanan hidupku. Di setiap keberhasilanku, Ia tak pernah sekalipun absen mengingatkanku untuk selalu bersyukur kepada Sang Maha Pemurah. Di setiap kegagalanku, Ia juga tak pernah berhenti menyokong, memberi dukungan dan harapan. Dan percayalah, pelukannya merupakan tempat ternyaman yang pernah Tuhan ciptakan bagiku.
Kini, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak orang, di berbagai kesempatan, kegiatan, dan berbagai tempat. Aku bertemu dengan banyak sekali warna dari yang pernah Ibu ceritakan padaku dulu. Tetapi, di antara sekian banyak warna yang kutemui, masih saja kurang lengkap tanpa warna dari Ibu sendiri. Sebuah warna yang hanya dimiliki oleh seorang Ibu, warna yang tak dimiliki makhluk mana pun di muka bumi ini.
Semoga, Tuhan yang Maha Penyayang masih memberiku kesempatan untuk membuat Ibu menangis (lagi), tetapi bukan tangisan lara, melainkan tangisan haru dan bahagia. Sebelum Tuhan memanggilnya, sebelum aku tak lagi dapat melihatnya di dunia. Amin.
Bagiku, tidak ada hari khusus untukmu, Bu.
Tapi hari ini, izinkan aku untuk 'ikut merayakan' hari yang orang-orang katakan "Hari Ibu",
Izinkan aku meluahkan rindu pelukmu, Bu.
***
Teruslah memberi warna dan kehangatan untukku, Bu.
Karena ternyata, dunia tak sehangat pelukanmu.
Dunia tak seindah yang Kau katakan dahulu ketika aku kecil, Bu.
Terima kasih telah menyadarkanku sore itu,
bahwa aku tak bisa membuat semua orang bahagia,
dan bahwa diriku sendirilah yang harus kucintai dahulu sebelum aku mencintai orang lain,
dengan cinta terbesar yang tak pernah kuberikan kepada siapa pun.
مهما كبرت أعود بين يديك
(Sebesar apa pun aku tumbuh, aku akan kembali ke pelukanmu)
Maher Zain – Ummi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H