Pikiranku kalut, napasku cepat, dan detak jantungku tak beraturan.Â
Hari itu, hariku hancur.Rumah yang selama ini kutinggali, yang selama ini kubanggakan, kurawat, kujaga dengan baik, dan kupercantik dengan bunga, kini hancur. Rumahku hangus terbakar.Â
Aku tak tahu mengapa, apakah karena arus listrik yang pendek, karena kebocoran gas, atau karena percikan kembang api dari anak-anak yang bermain di halamanku?Â
Sampai hari ini, aku masih terheran-heran. Seakan ada tanda tanya besar bersemayam di pikiranku. Ia enggan pergi sampai keinginannya terpenuhi, menuntut jawaban atas apa yang telah terjadi.
Beberapa waktu sebelum kejadian, aku memang sudah mencium aroma hangus, seperti ada yang terbakar. Tetapi tak kugubris, tak kuambil pusing. "Ah, mungkin cuma perasaan saja", gumamku berusaha mencoba berpikir positif.Â
Sampai hari itu tiba, tepat pada pukul enam sore, saat sedang meeting bersama pimpinan perusahaan, aku ditelepon oleh seorang tetangga. Dengan napas tersengal, Ia berteriak dan berkata dari balik pesawat telepon, "Bang, rumahmu, rumahmu!" belum genap semenit, Ia melanjutkan, "Rumahmu hangus!". Tanpa berpikir panjang, kututup telepon dan bergegas pulang.Â
Sampai di sana, sudah ramai warga membawa ember air, berusaha memadamkan si jago merah yang terus membara. Kuhampiri salah seorang petugas pemadam kebakaran, lantas bertanya, "Pak, masih bisa diselamatkan, kan?"Â dengan tatapan kosong, Ia menjawab "Maaf, kami tidak bisa".
Aku bersikeras membantu, sembari mendesak mereka memadamkan api yang terus melahap bagian rumahku satu persatu. "Pak, bisa padam, kan? saya yakin, kalau kita gigih, rumah saya akan bisa terselamatkan" desakku."Pak, silakan lakukan apa yang Bapak mau, tetapi jawaban kami akan tetap sama", jawab mereka.Â
Sampai hari-hari berikutnya, berbulan-bulan semenjak kejadian itu, aku masih bersikeras, menjaga bentuk rumahku seperti semula. Sampai pada akhirnya, aku perlahan mulai mecoba mengikhlaskan, mencoba melepaskan apa yang sudah ditakdirkan-Nya. Ya, rumahku hangus terbakar, menyisakan sedikit pondasi dan beberapa bunga di halamannya.Â
Lalu Kau hadir, menawarkan bantuan, memberiku harapan untuk terlepas dari kesedihan. Kau bawa perkakas, Kau beri bantuan dana untuk merenovasi rumahku, dengan harapan aku bisa hidup di rumah 'yang baru'. Tetapi maaf, aku masih suka bentuk rumahku yang lama.Â
Lengkap dengan kaligrafi salam menggantung di depan pintunya, dengan papan nomor rumah bertuliskan "H5/17", dan pagar kayu berwarna biru, pembatas halamanku dengan jalan utama. Bedanya, kali ini kucoba memasang pagar yang lebih tinggi, kutambahkan CCTV di depannya, agar tak sembarang orang bisa masuk.Â
Mohon maaf,Â
Jangan (dulu) Kau ketuk pintuku,Â
Aku belum bisa menerima tamu.Â
Aku takut tak bisa menjamu dan membalas buah tanganmu dengan baik.Â
Aku tak berniat mengusirmu. Hanya saja, aku masih memerlukan waktu untuk pulih, membangun dan menata ulang rumahku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H