Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam membangun masyarakat Islam di Madinah diawali dengan mempersatukan dua kaum yang berbeda, yaitu kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dua kelompok yang memiliki identitas yang berbeda dipersatukan di Madinah. Kaum Muhajirin yang datang dari Makkah diterima dengan suka cita oleh kaum Anshor di Madinah. Kedua kelompok tersebut tanpa ada yang merasa menang atau sebaliknya, dikalahkan secara bersama, membangun masyarakat atas dasar nilai-nilai yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam melalui Malaikat Jibril.
Selain itu yang segera dilakukan oleh Rasulullah adalah membangun masjid. Di tempat ibadah itu, siapapun bisa hadir tanpa ada perbedaan tentang asal muasalnya. Semua saja memiliki hak yang sama. Bagi mereka yang datang terlebih dahulu berhak menempati tempat yang ada didepan, dan sebaliknya yang datang kemudian menempati tempat di belakang. Di dalam masjid, maka tidak ada seorangpun yang boleh merasa memiliki kedudukan istimewa.
Persatuan di tempat ibadah itu sedemikian indah. Para jama’ah dianjurkan berbaris secara rapat, bershaf-shaf hingga menunjukan kebersamaan dan persamaan di antara mereka. Dengan gambaran seperti itu, ummat Islam tidak saja bersatu tetapi juga hidup secara bersama-sama, dan dengan hak dan kewajiban yang sama pula. Namun demikian, hak-hak individu tetap dihargai dan dijunjung tinggi oleh semua. Hak-hak individu yang dimaksudkan itu ialah bahwa setiap orang memiliki dan/atau menguasai harta benda yang diusahakannya.
Selain itu, seorang individu boleh mendapatkan perhargaan atau memiliki derajat yang tinggi, melebihi lainnya, namun dengan ukuran yang bisa diraih oleh semua orang. Ukuran itu adalah berupa keimanan dan ilmu pengetahuan yang disandangnya. Dengan kelebihan itu maka yang bersangkutan berhak menduduki posisi kepemimpinan, diantaranya adalah sebagai imam shalat.
Di masjid yang didirikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam di Madinah, digunakan oleh semua orang untuk menjalankan shalat lima waktu secara berjama’ah, melakukan pertemuan untuk membahas hal-hal yang terkait dengan kebutuhan bersama, pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain. Manakala terjadi persoalan yang harus diselesaikan bersama, maka baik kaum Muhajirin maupun kaum Anshor menyelesaikannya di masjid. Dengan demikian masjid, menjadi simbol dan tempat mempersatukan ummat Islam.
Tempat ibadah berupa masjid itu, digunakan sepanjang waktu, dalam arti tidak hanya pada bulan-bulan tertentu, misalnya pada bulan Ramadhan saja. Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam berbagai riwayatnya, tidak pernah menjalankan shalat sendirian, melainkan selalu berjama’ah dan shalat itu dilaksanakan di masjid. Apa yang dibiasakan oleh Rasulullah tersebut selalu ditiru oleh ummatnya, dan bahkan oleh orang yang sebenarnya sangat sulit datang ke masjid, karena sahabat tersebut adalah dalam keadaan buta. Diriwayatkan bahwa, oleh karena yang tidak bisa melihat tersebut, masih bisa mendengar adzan yang dikumandangkan dari arah masjid, maka oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dianjurkan mendatangi panggilan itu.
Perbedaan pandangan diantara para sahabat dan jama’ah ketika itu sudah seringkali terjadi. Namun Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu menyelesaikan dengan arif dan bijak. Pada setiap kali terjadi perbedaan, maka dicari penyelesaian secara adil. Semua pihak diberi penghormatan dan penghargaan yang sama. Nilai-nilai kemanusiaan selalu dikedepankan daripada sekedar menyelamatkan harta atau kekayaan. Selain itu, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, maka dikembangkan tradisi saling menasihati di antara sesama tentang kebenaran dan kesabaran.
Diantara sesame kaum muslimin dibangun saling percaya mempercayai. Manakala terdapat sesuatu yang meragukan tentang informasi yang dibawa oleh seseorang, maka kebenarannya cukup didasarkan pada didasarkan pada sumpah oleh orang yang bersangkutan. Hingga misalnya terdapat yang mengaku telah meilhat bulan, sebagai pertanda penanggalan sudah masuk pada bulan berikutnya, maka yang bersangkutan cukup disumpah sebagai bukti atas kesaksiannya itu. Dengan demikian, pada saat itu tidak terjadi perbedaan hanya dalam soal penentuanb masuknya bulan Ramadhan dan atau hari raya. Hari raya dan wukuf di Arofah selalu jatuh pada hari yang sama, tidak sebagaimana terjadi di Indonesia ini.
Persatuan dipelihara secara bersama-sama. Sebab persatuan itu dianggap indah, dan oleh karena itu dibutukan dan dibangun secara bersama-sama pula oleh semuanya. Mereka menyadari bahwa dengan bersatu maka ummat Islam akan kokoh dan sebaliknya bercerai berai akan ditertawakan oleh orang lain. Namun sayang, para tokoh Islam di Indonesia ini masih belum sepenuhnya menyadari tentang hal itu. Bahkan kadangkala, mereka masih mencari dalil untuk memperkukuh pandangannya, bahwa perbedaan adalah rahmat. Padahal secara empiric, perbedaan itu, ------apalagi yang dirasakan oleh masyarakat awam di desa-desa, mengakibatkan banyak yang mengalami kebingungan. Orang-orang awam rupanya berbeda dengan para pemimpinnya, telah merasakan bahwa bersatu itu indah dan menjadi kokoh. Wallahu a’lam. [Hafidz Shalihin/Rabu, 9 Juli 2014]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H