Undang-undang keuangan, sebuah pedoman dibutuhkan di mana ketika terpenuhi akan membuat siapa pun bisa menikmati kebebasan finansial. Bagaimana kalau aturan ini benaran ada? Bagaimana kalau selama ini kita cuma belum mengetahui aturan ini?
Sebelum lebih jauh, kita harus mengingat kembali tidak ada batasan hari ini, semua hal bisa dicari melalui mesin pencarian Google. Benar, bahkan ketika semua hal bisa diakses dengan jari lebih dari 50% warga Indonesia belum terliterasi secara finansial.Â
Sebagai contoh, Budi merupakan seorang pegawai BUMN, menghasilkan kurang lebih 15 juta per bulan, tepat pada momen gaji turun, malam tersebut Budi tegak lurus langsung berkunjung ke Zoo, SCBD.
Budi memutuskan membeli minuman bersama teman-teman, dan sejumlah pengeluaran tidak diperlukan. Lantas, apakah kalian termasuk ke dalam golongan Budi? Bagaimanapun, berlimpahan sekali jumlah orang-orang tidak terliterasi semacam ini, kita akan dengan senang melimpahkan literasi finansial di sini.
Perlu digarisbawahi, Â tidak ada orang berkecukupan tanpa menempuh jalan literasi finansial, kecuali kalau mereka adalah pemenang lottery. Meskipun, statistik mengatakan lebih dari 70% pemenang lottery kembali jatuh miskin setelah 5 tahun, toh bisnis lottery juga ilegal di negeri ini.
Bahkan, ketika hari ini kalian mendapatkan segambreng uang satu milyar, maksimal 3 tahun juga tetap akan kembali miskin, karena tidak mengerti akan ditaruh di mana uang tersebut.
Buang mindset kuno
Sebelum menjatuhkan diri dalam literasi keuangan, akan jauh lebih baik untuk kita membuang terlebih dulu mindset tidak penting. Bagaimanapun, sebelum bertindak pikiran selalu berbicara lebih jauh, karena hal ini akan sangat tepat pertama-tama untuk menata ulang cara berpikir paling tepat.
Berbicara soal mindset kuno, kita bisa memulai dengan anggapan berkecukupan sama dengan jahat, ini sangat salah. Harus diingat uang tidak akan pernah membuat kita menjadi jahat, justru kekurangan uang mungkin mengubah seseorang menjadi jahat.
Benar, kemiskinan bisa memicu tindakan kriminal, dan daerah rawan kejahatan cenderung berada di kawasan tertinggal, bukan di kompleks atau perumahan.
Lebih jauh lagi, seseorang berkecukupan memiliki jaminan keamanan lebih tinggi ketimbang orang miskin, bukan cuma keamanan dalam arti literal, tetapi juga keamanan dalam artian keuangan, kesehatan, dan keinginan. Semua keinginan mereka bisa dibilang "aman" tercukupi.