Mohon tunggu...
Hadenn
Hadenn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Football and Others

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Godaan Keinginan, Lebih Baik Konsisten Kerja atau Mundur?

8 Mei 2024   20:28 Diperbarui: 8 Mei 2024   20:35 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjatuh ke dalam lubang produktif semu bisa membuat semakin malas, makin stres, juga makin miskin. Lubang ini didorong oleh keuntungan per aksi, kita butuh bekerja untuk mendapatkan upah. Memang benar terkadang semua berjalan demikian, tetapi lingkaran ini harus berjalan sampai kapan?

Kita semua memahami diri sendiri merupakan pemalas secara alami, dan masih ada sebagian orang ingin memperbaiki ini semua, tetapi ada juga sebagian lain menerima semua dan memilih menjalani semua rutinitas sehari-hari hingga terjatuh dalam produktif semu.

Kehidupan modern memang dipenuhi daftar panjang keinginan, tetapi keterbatasan ruang untuk merealisasikan. 

Harus diakui mengerjakan pekerjaan dan pulang, lalu kembali kerja tidak akan membuatmu lebih cepat kaya, terutama dengan berbagai kebutuhan belanja, juga kebutuhan untuk membantu anggota keluarga. 

Dengan peningkatan biaya hidup, juga kestabilan gaji dan mungkin beberapa pekerjaan sampingan, semua kesibukan ini pada suatu titik akan membutuhkan ruang untuk tenang bersama teman atau keluarga.

Dari sini dibutuhkan keseimbangan untuk memaksimalkan semua, agar kita lebih produktif sungguhan, juga tidak cepat lelah dalam mengerjakan ini semua. Mari menggali beberapa alasan ini.

Terlalu sibuk mengatur finansial

Beberapa perusahaan memberikan jasa terkait pengaturan keuangan, ini memang membantu untuk beberapa orang, tetapi sebagian besar tidak membutuhkan jasa ini. Sebagai seorang berpenghasilan rata-rata, akan jauh lebih baik untuk menjaga keuangan sendiri, hindari bunga tinggi, dan investasi dengan hati-hati. 

Kalau kita tidak bisa menahan diri di saat kekurangan, maka tidak akan pernah bisa merasakan puasa di saat berkecukupan. 

Dari sini kita bisa mulai membaca sendiri buku tentang keuangan, menambah pundi-pundi ilmu pengetahuan. Dengan membaca, lalu praktik sendiri, mungkin juga akan gagal dalam proses, tidak akan masalah, karena kita akan mendapatkan pelajaran berharga dari ini semua.

Mungkin, di atas kertas ini akan berjalan lama. Namun, kalau dipikir kembali, apakah menggunakan jasa manajer keuangan akan selalu berjalan lancar. Setelah semua, mereka cuma memberikan saran terkait penganggaran uang, bukan mengambil kendali hak membelanjakan, kuasa penuh akan keuangan masih berada di tangan kita sendiri. 

Lebih jauh lagi, di masa era digital seperti ini, sejumlah aplikasi manajer keuangan juga tersedia gratis, mungkin tak lebih baik dari manajer jasa keuangan, tetapi kita menjalankan aplikasi ini dengan kesadaran diri sendiri.

Dengan demikian, memakai bantuan jasa manajer keuangan merupakan "toxic productivity", di mana ada kecenderungan merasakan seolah uang kita sudah aman, tetapi justru sebaliknya, membuat kita tak terbiasa dengan uang. Meski demikian, tak terbantahkan jasa manajer keuangan sangat signifikan untuk penghasilan atas.

Terjerembap lubang kelas menengah

Menyambut Kebijakan Baru Penataan Pegawai Non-ASN - Kompas.id 
Menyambut Kebijakan Baru Penataan Pegawai Non-ASN - Kompas.id 

Kelas menengah Indonesia, kelompok yang digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi bangsa, ternyata terjerat dalam lilitan finansial. Gaji yang "pas-pasan" untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengubur mimpi mereka untuk menabung dan berinvestasi.

Berdasarkan penelitian dari Kompas, selama 2012-2021, kaum muda dengan pengeluaran Rp 729.252 hingga Rp 1,7 juta hanya memiliki sisa gaji Rp 100.000. Sedangkan, kelas menengah dengan pengeluaran Rp 1,7 juta hingga Rp 8,2 juta, menipiskan dompet mereka dengan sisa gaji Rp 200.000 hingga Rp 400.000. Begitu juga dengan anak muda (17-40 tahun) sisa uang mereka kurang dari nol alias minus. 

Diperlukan dari sini adalah menggambar ulang roda penghidupan, jangan biarkan diri sendiri bergantung pada pekerjaan utama, cari sumber penghasilan baru. Tidak ada satu pun orang berani mengatakan ini mudah, tetapi tanpa berubah berarti akan tetap di sana.

Kalian tidak bisa menuntut perbedaan, ketika pekerjaan yang dikerjakan sama.

Sebagai contoh, Maudy Ayunda di luar dari pengaruh dia, ketika bekerja di warteg, pasti akan digaji sama dengan pegawai lain. Tidak ada alasan untuk menggaji dia lebih tinggi, bahkan ketika dipaketkan bersama otak cerdasnya. 

Sebab, pekerjaan ini bukan soal kepintaran, ilmu dari kampus-kampus negeri jauh tak akan terlalu digunakan di warteg, justru mereka akan lebih mengapresiasi kejujuran dan cekatan, jauh lebih signifikan untuk membuat pelanggan nyaman.

Mencoba menggambar ulang tempat di mana kemampuan kita dibutuhkan, merupakan poin penting di sini. Jangan pernah salahkan sistem sudah ada, juga jangan membuat diri terperangkap ke dalam sana. Mau lebih, maka kerjakan sesuatu yang lebih.

Secara keseluruhan, dua alasan ini merupakan sedikit dari beberapa masalah populer dialami kalangan anak muda. Mereka cenderung terdorong arus untuk menambah pernak-pernik tak penting, juga selalu bertahan di tempat sama. Sekarang, kita semua tahu bagaimana mengatasi ini semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun