Mohon tunggu...
Hadenn
Hadenn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Football and Others

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sampah Plastik, Diam dalam Mengancam Laut dan Ketahanan Pangan

5 Mei 2024   13:35 Diperbarui: 5 Mei 2024   15:52 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Limbah plastik yang semakin tidak terkendali jumlahnya hingga mengancam laut dan ketahanan pangan. Sumber: KOMPAS/PANDU WIYOGA

Dua pekan lalu, 22 April atau lebih tepat lagi Hari Bumi diperingati. Melalui laman resmi mereka, Earthday mengusung "Planet Vs Plastics" sebagai tema, salah satu topik renungan pengamat lingkungan beberapa tahun terakhir.

Meski, tak bisa dipungkiri bukan bagian dari pengamat lingkungan, tetapi kita semua bernafas di planet ini, di lain sisi juga tidak ada sesuatu yang salah untuk mengetahui lebih jauh mengenai topik ini, lalu bagaimana kita mengaplikasikan peran krusial dalam bertarung dengan sampah plastik.

Ketergantungan berkelanjutan

Terlepas dari segala dampak negatif terhadap lingkungan, plastik merupakan salah satu penemuan paling kreatif dan inovatif, memungkinkan percepatan industrialisasi jauh lebih kencang dari yang pernah dibayangkan. Bukti di mana pasti ada barang plastik sepanjang mata memandang, bisa dibilang cukup membuktikan.

Bukti ini juga didukung oleh data resmi, menurut United Nations Environment Programme (UNEP) jumlah penggunaan plastik dari 1950 hingga awal 2000 melonjak drastis. Diperkirakan, tak kurang dari 9,2 juta ton telah diproduksi dari 1950.

Sementara itu, pada tahun 2021 sendiri, dari sumber sama, diperkirakan sudah 400 juta metrik ton per tahun. Ditaksir, pada 2050, angka ini akan terus naik berada di angka 1.100 juta metrik ton.

Berdasarkan riset dari World Population Review 2022, Indonesia berada pada urutan ke-5 berkontribusi dalam menghasilkan sampah plastik dunia, sekitar 9,13 juta ton. Sebanyak 56,3 ton dari sampah plastik tersebut dibuang ke laut.

jakartaglobe.id
jakartaglobe.id

Ancaman menghanyutkan

Dari dua data di atas, minimal ada dua hal bisa diambil dari sana. Pertama, penggunaan plastik akan naik terus selama tak ditemukan solusi pemberhentian. Produksi plastik ini juga akan selalu berkorelasi lurus dengan tuntutan konsumsi manusia, terlebih konsumsi dengan budaya "sekali pakai"

Kurang lebih 85 persen jumlah sampah plastik dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa diolah. Tak kurang dari 36 persen dari produksi plastik sekali pakai digunakan untuk kemasan makanan dan minuman. Sedangkan, produk lain sekali pakai seperti botol, tas, dan alat makan.

Tentu, jumlah ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sampah plastik dihasilkan tentu tidak bisa dikelola dan diolah dengan sangat baik.

Sistem industri dan daur ulang canggih belum merata, juga diiringi kekosongan ahli dan mesin sampah karena keterbatasan biaya. Sedangkan, kita semua tahu masa urai sampah plastik minimal 10 tahun. Beberapa fakta ini akan selalu mengganggu tidur pengamat lingkungan di negara berkembang.

Terlebih, kebanyakan masyarakat juga memilih membuang dalam jumlah besar ke laut atau sungai sebagai solusi, yang mana sejujurnya bukan solusi sama sekali. Sampah terbuang di laut atau sungai akan melukai ekosistem dalam sana, mereka bisa keracunan zat kimia, lalu berada dalam piring kita.

Selain itu, kesadaran diri sendiri juga sama penting, masyarakat harus tahu cara menempatkan sampah pada tempat yang pantas. Lalu, dari sini kita bisa bicara secara global, di mana perjanjian PBB juga mencoba percepatan penghentian produksi plastik sekali pakai pada 2030.

Earthday sebagai tempat pergerakan mendukung perjanjian ini secara masif, mereka berkampanye tentang menekan laju produksi sampah plastik hingga 60 persen pada 2040. 40 persen sisa memang angka yang masih tinggi, tetapi ini juga menunjukkan dibutuhkan proses lama untuk mengurai ini semua.

Kesatuan dari seluruh manusia bumi untuk turut berperan merupakan kunci, di mana gerakan 6R (rethink, refuse, reuse, repair, recycle, and reduce) harus lebih sering diperbincangkan. Bagaimanapun, kesehatan dari bumi juga kesehatan untuk makhluk hidup di dalam sana. 

Menekan peredaran plastik

jakartaglobe.id
jakartaglobe.id

Tak bisa dipungkiri mengurangi konsumsi plastik akan berdampak besar bagi kelestarian laut, salah satu sumber makanan terbesar manusia. Momen di mana kita menentukan untuk menggunakan plastik merupakan kemudahan sedetik berdampak puluhan tahun.

Krisis sampah plastik di laut semakin memprihatinkan. Setengah juta ton sampah plastik dari daratan dan 10.000 ton dari aktivitas di laut mencemari perairan.

Bisa dikatakan, laut menanggung beban setara 200 truk sampah per hari. Tanpa tindakan pengurangan penggunaan plastik, juga peningkatan kesadaran masyarakat, laut Indonesia tidak akan bisa lagi menghidupi ekosistem di dalam sana, juga menyediakan makanan enak untuk kita sendiri.

Usaha mengurangi penggunaan produk plastik juga dilakukan pemerintah, mereka telah berkomitmen mengurangi jumlah sampah di laut sampai 70 persen pada tahun 2025, ini perlu akselerasi. Sebab, langkah untuk daur ulang plastik tidak akan terlalu menunjukkan perbedaan. Mengingat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) sendiri, mengatakan cuma 7 persen sampah plastik yang dapat didaur ulang.

Meski demikian, hingga tahun 2021 minimal sudah ada 56 daerah menerapkan aturan pelarangan plastik sekali pakai. Daerah ini terdiri dari tiga provinsi, yakni Bali (2018), DKI Jakarta (2019), dan Riau (2019), ditambah dengan 31 kota dan 22 kabupaten. Akselerasi bisa dimulai dari sini dengan menularkan "virus pro-lingkungan" ke daerah-daerah lain.

Pemerintah daerah juga diharapkan bisa satu suara dengan pemerintah pusat untuk menciptakan program bersama dan berkelanjutan. Misalnya, melalui program Bulan Cinta Laut yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain itu, komitmen pengurangan plastik perlu berakar dari setiap pribadi. Pilihan untuk dengan kesadaran penuh menolak kemudahan yang ditawarkan plastik adalah keputusan sesaat yang memiliki dampak berkelanjutan. Usaha pribadi dapat dimulai dengan menekan penggunaan plastik sekali pakai.

Sebagai pekerja seni, membuat film juga bisa dijadikan media untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait isu plastik. Melalui film dokumenter Pulau Plastik (2021), sebagai contoh, penonton secara terang-terangan diajak menelusuri jejak sampah plastik hingga masuk ke dalam piring kita.

Melalui sampah plastik yang ditemukan di pantai, pesisir, dan laut tak lepas dari plastik yang telah diproduksi dan dibuang sembarangan puluhan tahun lalu. Beberapa jenis plastik ramah lingkungan juga masih terdiri dari komponen sulit terurai.

Secara global, serial Netflix Broken berjudul Recycle Sham, mereka juga menarasikan tentang pilihan daur ulang tidak selalu berdampak baik. Daur ulang plastik bisa menimbulkan masalah lain, seperti masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, dan pemborosan energi.

Dalam konteks kesehatan, misalnya, Human Rights Watch berhasil memaparkan dengan jelas bahwa bahan kimia dalam debu dan asap selama proses daur ulang membahayakan pekerja di sana, juga kesehatan masyarakat sekitar.

Bukan cuma dari kacamata lingkungan, persoalan sampah plastik di laut turut berdampak pada ketahanan pangan nasional. Seperti kita tahu kontaminasi plastik dan mikroplastik di laut akan mengganggu ekosistem dalam sana, bahkan berpotensi mematikan ekosistem.

Padahal, laut berpotensi besar menjadi penopang pangan di masa mendatang. Laporan The 2022 Edition of The State of World Fisheries and Aquaculture -- Towards Blue Transformation mengatakan laut bisa menjadi penopang ketercukupan pangan dunia.

Populasi dunia yang terus bertambah mendorong lonjakan produksi makanan akuatik sebesar 15% pada tahun 2030. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein sehat dan bergizi. Ketergantungan manusia terhadap laut pun semakin tinggi. Di Asia, makanan akuatik menjadi sumber protein hewani utama, menyumbang separuh dari total kebutuhan. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.

Semua juga berkorelasi dengan jumlah tangkapan produk laut di Indonesia yang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2020, angka tangkapan mencapai 6,43 juta ton, naik 7,5% dibandingkan dengan dekade 2010-an. Bahkan, jika dibandingkan dengan empat dekade lalu, produksi bahan pangan akuatik Indonesia dari laut telah melonjak hampir empat kali lipat.

Kenaikan ini menunjukkan peran penting laut dalam menyediakan sumber protein bagi masyarakat. Namun, peningkatan eksploitasi laut juga perlu diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian ekosistemnya. Praktek penangkapan ikan yang berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya laut yang bertanggung jawab menjadi kunci untuk memastikan kelestarian laut dan keberlanjutan produksi makanan akuatik di masa depan.

Secara keseluruhan, mengurangi sampah plastik bisa dikatakan sebagai gerakan nyata dalam menjaga keberlangsungan kestabilan pangan nasional. Keputusan sesaat untuk memilih menggunakan atau tidak menggunakan plastik menjadi sangat penting dan berdampak pada keberlanjutan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun