Beberapa tahun lalu, kita semua tahu sosial media di tengah panas pertikaian politik, sempat diramaikan dengan istilah 'kadrun', yang mana merupakan istilah digunakan sekelompok tertentu untuk menyindir kelompok lain dengan perbedaan ideologi, terutama untuk orang dengan penampilan kearab-araban. Bagaimanapun, istilah 'kadrun' diambil dari kadal gurun.
Terlepas dari kedua pihak berantem, tidak ada yang kami benarkan di sini. Meski demikian, kami dengan senang hati ingin menyoroti habib Ja'far dalam acara 'kenduri cinta' tentang al-Adatu muhakkamah, yang mana merupakan konsep tentang adat istiadat sebagai acuan hukum agama.
Lebih jauh lagi, habib menjelaskan bagaimana nabi mengenakan sorban, pakaian putih, juga aksesoris dari timur tengah, semua berdasarkan adat istiadat di sana. Ringkasnya, tidak ada di sana anjuran untuk umat mengikuti budaya timur tengah, nabi lebih menganjurkan untuk kita mengikuti adat istiadat masing-masing. Dari sana kita memahami, alasan habib sering menggunakan songkok, kokoh, atau bahkan batik untuk berbagai acara keagamaan dihadiri.
Di sini kami akan dengan senang membahas tentang 'al-Adatu muhakkamah' lebih dalam, terutama tentang ide, pengaplikasian, hingga eksistensi hukum di dunia modern. Terlebih, tentang tradisi yang kami miliki di sini.
Komparasi dengan hukum umumÂ
Seperti kita tahu al-Adatu muhakkamah berarti tradisi adat istiadat yang dijadikan acuan dasar hukum dalam berkelakuan. Terlebih, di sini kami akan mengetahui perbedaan mendasar antara al-Adatu muhakkamah dengan hukum lain.
Hukum umum berasal dari putusan hakim terdahulu. Hakim wajib mempertimbangkan putusan serupa di masa lalu untuk kasus yang sedang ditangani. Putusan ini menjadi rujukan dan pedoman dalam memutus perkara sejenis di masa depan. Sedangkan, 'al-adatu muhakkamah' tidak hanya berasal dari putusan, tetapi juga tradisi dan kebiasaan masyarakat yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat.
Hukum umum cenderung lebih fleksibel. Hakim memiliki ruang untuk menafsirkan kasus, juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini. Sementara, secara umum lebih kaku dibandingkan hukum biasa. Tradisi yang sudah ada dianggap sebagai pedoman yang tidak bisa diganggu gugat. Meski, terkadang ulama bisa menyesuaikan adat tertentu dengan pertimbangan syariat Islam.
Perbedaan paling mendasar di antara semua, agama tidak memiliki pengaruh langsung terhadap hukum secara umum, keputusan didasarkan pada logika dan putusan hakim. Sementara itu, agama memiliki peranan penting di sini, meski adat yang bertentangan tak bisa dijadikan acuan sumber hukum dalam sana.
Penerapan hari ini
Di sini kita bisa mengambil tradisi 'selamatan', di mana merupakan acara doa bersama diselenggarakan untuk berbagai tujuan misal syukuran, setelah musibah, dan lain-lain.
Tradisi ini tak bisa dipungkiri tak pernah dikerjakan oleh nabi, tidak ada catatan 'selamatan' pernah diselenggarakan di tanah Saudi. Mereka memiliki tradisi tersendiri, begitu juga dengan kita semua yang berada di sini.
Lebih jauh lagi, 'selamatan' sudah hampir dianggap kewajiban untuk semua kalangan, mereka merasa sudah kebutuhan sebagai ungkapan rasa terima kasih. Dari sini, tradisi ini menjadi 'al-Adatu Muhakkamah', di mana sebuah hukum agama diambil berdasarkan tradisi orang sini.Â
Terlepas dari itu semua, masih terlalu banyak contoh hukum kita ambil dari tradisi. Mulai dari hukum pidana, hukum tanah, hukum waris, hukum kawin, dan bermacam-macam hukum lain, bahkan tradisi simpel seperti mengenakan sarung termasuk dalam hukum ini, yang mana kita tidak mengikuti nabi di sini, tetapi sebuah tradisi.
Keuntungan dan kerugian
Tak bisa dibantah semua aturan tentu memiliki keuntungan, juga kerugian. Tidak ada di sana aturan bisa membahagiakan semua orang, kecuali keadilan dari tuhan. Di sini akan mencatatkan sedikit pembahasan dari ini semua.
Pertama, dari segi hukum tradisi tentu menekankan pada mediasi, yang mana salah satu cara memperoleh kedamaian terbaik kita tahu hari ini, di mana konsep kekeluargaan diutamakan. Namun, tak bisa dipungkiri konsep mediasi bisa juga jadi cara terbaik untuk merugikan korban, di mana proses mendapatkan keadilan di sini bisa dikatakan terlalu fleksibel.
Kedua, tak bisa dibantah negara tidak mengurus semua kasus yang ada. Dari sini konsep hukum menurut tradisi bisa berperan untuk mengisi, terutama untuk hukum-hukum rinci berkaitan tentang alam atau lingkungan, akan jauh lebih baik untuk mengikuti tradisi, sebab memang sudah terbukti dalam melestarikan bumi.
Di lain sisi, hukum tradisi selayaknya pernikahan dini, maupun diskriminasi gender tak bisa dipungkiri harus segera dibasmi. Terlalu banyak pelanggaran hak asasi di sini, hanya karena ketidaktahuan korban, terutama untuk kaum anak-anak dan perempuan.
Setelah semua, tak bisa dibantah akan selalu ada di sana pro atau kontra tentang tiap masalah, kami sendiri berpikir untuk lebih memilih menyerahkan semua tentang alam, maupun hukum tak terjamah kepada adat istiadat. Sementara, hukum tentang mengurus kelakuan manusia kepada negara, terutama tentang hak asasi dan diskriminasi. Terakhir, selalu ada pengecualian di sini, akan tetap kami sebagai bagian kecil dari adat atau negara tak bisa melepas semua ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H