Mohon tunggu...
Hafidh Ihsanuddin
Hafidh Ihsanuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

21104080046 Hobi saya kadang hunting foto, kadang hunting soto

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Glorifikasi Yogya: dari Rasa Bangga Tuan Rumah hingga Kesan Para Pesinggah

17 Maret 2024   21:16 Diperbarui: 17 Maret 2024   22:25 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta, daerah yang tidak bisa lepas dari kata istimewa. Keistimewaan yang terwujud dari masyarakatnya, segi historisnya, hingga keistimewaan dari bentuk pemerintahannya sendiri.

Tetapi disini penulis tidak akan terlalu membahas aspek istimewanya, melainkan fenomena glorifikasi atau pengagungan terhadap Yogya. Fenomena glorifikasi ini berasal dari berbagai kalangan, baik oleh orang Yogya itu sendiri, mereka yang sedang merantau di Yogya, hingga mereka yang pernah singgah dan telah kembali ke daerah asalnya masing-masing.

Mari kita mulai dari orang Yogya itu sendiri, disini penulis mengambil dari pengalaman pribadi. Sebagai rakyate sultan sedari lahir, penulis mulai memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu lebih dalam tentang daerah istimewa ini semenjak bangku sekolah dasar. Penulis masih ingat pertama kali tahu tentang Malioboro Yogya dari majalah anak-anak Bobo yang memuat tulisan tentang pengalaman seorang anak yang diajak oleh orang tuanya berkunjung ke Malioboro. Saat itu penulis berpikir kenapa orang tua penulis belum pernah mengajak jalan-jalan ke Malioboro, padahal kami bertempat tinggal di Yogyakarta. Hingga akhirnya dewasa ini penulis sadar bahwa selain letaknya cukup jauh (rumah kami di Gunungkidul), orang tua penulis juga selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga jika ada waktu libur sekolahpun lebih baik digunakan untuk tilik simbah daripada berdesak-desakkan di Malioboro.

Sejak saat itulah ketertarikan penulis terhadap jogja semakin hari semakin terbentuk hingga saat ini. Berbagai situs bersejarah dan literasi-literasi bernilai historis yang telah penulis kunjungi dan pelajari meningkatkan rasa ketertarikan itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri dapat menjadi bagian dari suatu daerah istimewa yang masih sarat akan nilai-nilai sakral dan budaya.

Kemudian berlanjut membahas para pesinggah, disini penulis menggunakan istilah singgah sebab mereka bisa diibaratkan sedang bersinggah di Yogya dalam perjalanan hidup mereka yang dimana belum pasti di masa depan akan tetap tinggal atau meninggalkan daerah istimewa ini. Namun untuk pembahasan selanjutnya bisa kita sebut sebagai perantau. Rata-rata dari para perantau ini pasti menghabiskan setidaknya sekitar empat tahun di kota ini, dan sebagian besar bisa dipastikan datang dengan tujuan menimba ilmu di bangku perkuliahan. Dalam kurun waktu tahunan tersebut bisa kita bayangkan sudah berapa banyak memori yang mereka buat di Yogya, entah suka maupun duka. Berapa banyak kenangan yang tak terlupakan selama mereka mengenyam bangku perkuliahan. Tidak jarang dari para perantau yang pada akhirnya menjadi bagian dari rakyate sultan dengan jalur menetap bersama pasangannya yang merupakan sama-sama perantau atau malah mendapatkan pasangan orang asli Yogya.

Penulis mengambil sampel satu dari sekian teman perantauan yang saat ini sedang menimba ilmu di salah satu kampus swasta Yogya, ia terhitung sudah berada di Yogyakarta selama sembilan tahun mulai dari bangku sekolah menengah pertama. Penulis pada suatu kesempatan bertanya tentang rencananya setelah mendapatkan gelar sarjananya nanti, ia pun mengungkapkan bahwa ia berharap bisa mendapatkan penghidupan yang layak di Yogya sehingga bisa menetap seterusnya, sudah terbayang betapa beratnya jika suatu saat ia harus meninggalkan Yogya.

Jawaban dari teman penulis diatas sedikit memberikan dejavu. Bagaimana tidak? Beberapa dari teman rantau penulis dahulu juga mengungkapkan hal yang sama. Tidak sedikit dari teman-teman rantau yang sudah terlanjur nyaman berada di Yogya, dan sama seperti penulis yang merasakan ketertarikan dan kekaguman akan pesona daerah istimewa ini. Lalu bagaimana dengan para perantau yang telah kembali ke daerah asalnya? Disini penulis mengambil contoh kakak dari teman penulis yang berasal dari Indonesia Timur. Dia mengungkapkan bahwa kakaknya selalu ingin kembali ke Yogya walau hanya sekedar melepas rindu setidaknya selama satu minggu, diketahui beliau dan sang suami sama-sama pernah menimba ilmu di Yogya dan sudah sekitar sepuluh tahun kembali ke daerah asal mereka.

Yogya selalu memiliki tempat tersendiri bagi mereka yang pernah merasakan kehangatannya. Namun tidak bisa dipungkiri, Yogya memiliki sejumlah sisi gelap dan permasalahan yang cukup mengganggu aktivitas warganya. Beberapa permasalahan tersebut yang pertama adanya fenomena klitih, yaitu aksi kejahatan jalanan yang identik dengan aksi kekerasan senjata yang dilakukan oleh pelajar rentang SMP dan SMA dengan target serang acak, yakni siapapun yang mereka temui di jalan, kebanyakan aksi klitih akhir-akhir ini banyak dijumpai di ruas jalan Ringroad. Kemudian terdapat pula beberapa permasalahan seperti pengelolaan sampah yang sempat colapse belum lama ini, banjir tahunan yang terjadi saat musim penghujan mencapai puncaknya, macet yang menjadi langganan di setiap libur sekolah dan tanggal merah, hingga UMR yang tidak segera mengikuti meroketnya harga tanah.

Dibalik berbagai sisi gelap dan permasalahan yang terjadi di Yogya, sampai saat ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan terhadap jumlah perantau yang datang menimba ilmu dan jumlah wisatawan yang datang untuk menikmati pariwisata Yoga, buktinya masih macet dimana-mana. Mungkin warga lokalnya saja yang mengalah, biarlah orang luar yang menikmati liburan dengan berwisata, kami cukup dirumah saja pikir mereka. Toh warga Yogya juga sudah terbiasa dengan sikap “nrimo ing pandum”, yang bisa diartikan bisa menerima segala keadaan yang telah disediakan oleh yang kuasa, atau bisa diartikan pula dalam keadaan sosial sebagai sikap bermurah hati dengan sesama.

Ibarat orang yang sedang jatuh cinta, mau seburuk apapun sisi gelap dari Yogya, selalu ada alasan kembali mengagumi kebaikan dan keindahannya. dibalik macetnya jalan-jalan Yogya, masih ada jam-jam sepi dimana kita bisa menyusuri jalan-jalan Yogya yang konon katanya setiap sudutnya romantis, entah saat kita sendiri maupun bersama orang terdekat. Dibalik wisata Yogya yang menurut wisatawan itu-itu saja, selalu ada rasa rindu yang memanggil untuk kembali mengagumi gagahnya Tugu Golong-Gilig, menyusuri hangatnya pedestrian Malioboro, hingga berburu sunset di Parangtritis. Selebihnya benar-benar masih banyak tempat wisata yang wajib dikunjungi di daerah-daerah Yogya, seperti pantai-pantai di Gunungkidul dan Kulon Progo. Dibalik UMR yang tak kunjung naik masih setimpal dengan harga kebutuhan sehari-hari yang masih tergolong murah, dan jika ingin memiliki properti di Yogya bisa membeli tanah di daerah yang tanahnya masih murah alias agak minggir dari pusat kota. Dan dibalik klitih yang masih sering menjadi kasus akhir-akhir ini, masih dapat dihindari dengan memilih jalur yang masih ramai lalu lalang kendaraan, toh bulan ramadan tahun ini sudah tidak ada lagi guyonan yang berupa anjuran anak kos memakai armor prajurit salib saat akan berburu menu sahur. Wallahu alam, matur sembah nuwun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun