Mohon tunggu...
haerul said
haerul said Mohon Tunggu... Guru - Membaca dan menulis sudah menjadi candu.

Menulis melengkapi bacaan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Celoteh Suami tentang Ibu Kota Pindah

28 Agustus 2019   16:32 Diperbarui: 4 November 2019   09:58 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Duh sayang, ibukota tidak lama lagi akan pindah. Tahun 2045 itu masih tersisa 26 tahun sejak tahun ini. Tapi kau dengar, waktu 26 tahun yang akan datang itu, bayi yang sekarang umur satu tahun sudah menginjak usia mulai dewasa. Bahkan mungkin sudah ada yang menikah. Maka selama 26 tahun ini masih banyak yang perlu dilakukan. Bukan begitu? 

Lalu kita yang sekarang berumur antara 30 sampai 40 tahun kalau ditambah 26 tahun, sudah pada tua kan? Itu pun kalau masih hidup. Jangankan orang sakit bisa mati, orang sehat pun bisa tiba-tiba mati. Jadi, kenapa harus galau dan gerah dengan pindahnya ibu kota? 

Oiya, apakah kamu percaya dengan kritikan orang-orang yang tak setuju ibukota pindah? Apakah benar mereka itu sedang memperjuangkan rakyat? Yang katanya pemindahan ibukota ini pemborosan? 

Lalu selama ini, masyarakat yang masih banyak susah padahal Ibukota belum pindah, yang bela siapa sebenarnya? Apa yang telah mereka lakukan untuk perbaikan nasib orang-orang yang setiap tahunnya kesulitan mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan? 

Siapa saja sih elit politisi yang bisa kamu percaya? Khususnya yang ada di DPR sana? Ada seberapa gelintir yang setuju mendapatkan PIN Emas ? Ada ada berapa yang menolak dan menangis karena masih ada banyak rakyat kesulitan ekonominya, sehingga negara ini belum layak dinilai sebagai negara maju.

Bukankah negara maju itu kalau mayoritas rakyatnya sudah tak kesulitan mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan tiap tahun. Bahkan tiap bulan tidak pusing. 

Beda sekali dengan beberapa tetangga kita, setiap bulan ada saja kalimat miris yang terdengar di balik dinding kontrakan ini. Mereka mengeluh dan mulai depresi tentang biaya kesehatan atau BPJS yang akan dinaikkan, tentang Listrik yang ketika sudah berbunyi meteran-nya kepala jadi sakit. Lihat di ATM sisa saldo minimun. Dan terpaksa utang. 

Belum lagi keluhan tentang biaya sekolah, padahal bukankah anggaran untuk pendidikan ini begitu besar? Namun tak juga menghindari komersialisasi pendidikan. Maka jangan heran kalau masih banyak sekolah yang bayarannya tinggi, bahkan aku dengar ada yang bayar uang muka sampai 50 juta? Tentu kita dan tetangga sudah tak mau mendengar nilai itu untuk biaya pendidikan. 

Mungkin karena pendidikan bermutu memang tak layak bagi rakyat kecil seperti kita ini. Kita hanya berusaha melihat hidup ini benar-benar hanya persinggahan dan melewatinya tanpa membuat banyak dosa. Barangkali kita takut juga kalau sampai menjadi orang paling kaya raya, bisa lupa datangnya kematian. 

Maka karena itulah, urusan ibukota pindah bukan urusan yang penting buat kita-kita ini. Kita hanya tahu teks Pancasila di dalamnya berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dan berharap kehidupan tiap bulan cukup buat melanjutkan hidup, hingga anak-anak mendapatkan masanya bisa juga mandiri dan menemukan apa yang kita harapkan. 

Tapi namanya anak-anak, yahh apa yang ditangkap di luar dan masuk ke benaknya adalah potongan-potongan ide yang akan mereka kelola. Jika ia sudah terlatih menyusun aturan berpikir, mudah-mudahan itu bisa me-nyelemat-kannya dari sesatnya mengambil keputusan. Harapan kita sih seperti itu, tapi tak tahulah nanti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun