Gerhana akan datang, denyut jantung ini kok semakin berdebar, ada apa ya?, kejutan-kejutan apa yang akan ditunjukkan kali ini?, Ahh...Mungkin sama saja seperti yang lalu-lalu, muncul lalu hilang perlahan saat aku berdiri terpaku. Namun Sebenarnya kehadirannya itu adalah kejutan, maka tak perlu lagi berharap kejutan apa yang akan disodorkannya, meskipun aku berharap ada perubahan, tapi aku mau menyepi saja besok meskipun ia datang bahkan kalau ia membangunkanku aku ingin tetap sendiri menyepi.
Aku sudah terlalu lama menantinya, bahkan jangan-jangan aku tidak mengharapkannya lagi karena sudah mulai jenuh dengan pemberitaannya selama ini, namun kenapa orang-orang pada heboh ya?, padahal si Gerhana itu bukanlah sebab hadirnya si Pelangi, apalagi melantik si Rembulan agar tetap menjaga malam gelap yang pekat?. Gerhana bukan apa-apa dan siapa, hanya moment waktu saja ia mencoba menyapa. Apakah ia hendak membawa berita besar?, bahwa sang Naga itu telah membeku selama berjuta-juta tahun lamanya? atau akan memberikan harapan bahwa sebentar lagi Jakarta akan menjadi kota yang paling fantastic sebab ada calon Gubernur yang akan menerobos jalur-jalur yang tidak lazim dilalui oleh para pegundal-pegundal yang telah mengotori jakarta.
Atau si Gerhana akan menertawakan orang-orang yang memakai kacamata palsu bahwa yang kamu lihat itu adalah fatamorgana sebab yang nyata itu setelah fenomena alam materi ini sudah remuk lebur entah tak terbentuk atau hanya membentuk kristal-kristal kotoran hitam.
Oh Gerhana, aku terkejut dan bahkan bangga jika engkau muncul  langsung menampar orang-orang yang selama ini membuang sampah di kali ciliwung, bukankah engkau mau bersenandung dengan aliran ciliwung yang permai dulu?, yang sangat jernih, bahkan kalau harga BBM naik tak perlu dimasak airnya bisa langsung diminum, jadi bisa menghemat dan menyehatkan. Atau kehadiranmu lebih sadis lagi, yaitu melilitkan sampah-sampah kabel ke leher orang yang telah menyesakkan paru-paru kita.
Tapi, engkau hadir sepertinya hanya akan menjadi bahan tontonan, tak jauh beda dengan para artis dan aktor yang dengan alasan untuk bertahan hidup rela melakukan tindakan yang kontradiksi dengan jiwannya, tapi bagaimanapun, kamu beda dengan mereka wahai Gerhana, kamu tidak takut dengan carut marut hidup ini, tidak goyah dan tidak khawatir dengan perubahan yang begitu cepat hingga banyak yang merasa terlindas, kamu santai saja meskipun orang-orang itu heboh melihatmu, kamu tetap melaksanakan tugasmu sebagaimana yang diperintahkan, tidak ngotot harus berlama-lama jadi ngetop atau duduk di kursi empuk, engkau pergi ketika memang saatnya pergi, berhenti bernyanyi ketika saatnya berhenti tanpa perlu dipaksa oleh malaikat yang hinggap di ubun-ubun.Â
Mungkin karena kamu masih taat dan patuh dengan sistem yang telah tercipta, sehingga sepertinya kamu hanya akan tersenyum dan merasa bahagia jika kehadiranmu disambut dengan lantunan doa-doa serta pujian kepada yang mengirimmu, bukan pada dirimu Gerhana, karena kamu akan tenggelam jadi kami tidak percaya kamu selalu ada, kami hanya percaya dan yakin yang selalu ADA. maka itulah mungkin besok aku akan ikutan bersama mereka melantunkan penghambaan diri.. semoga dirterima ya..Â
Satu lagi wahai Gerhana, aku dengar kabarnya engkau sangat memuliakan perempuan ya?, sampai-sampai menolak poligami, kudengar kamu bilang bahwa poligami dengan keadilan itu sulit bersanding, kadang si pelaku poligami itu berteriak bahwa dirinya telah berlaku adil namun ternyata itu persepsinya saja, kalau lubuk hatinya yang jujur itu akan berkata "Enak juga ya poligami, makin keren tauuu...", yahh  apakah itu adil?, khan jadinya hanya senang-senang saja dan kebanggaan semu, "Tapi begitulah nafsu bisa dibungkus dengan agama" Begitu kabarnya kamu berkata wahai Gerhana.Â
Lantas ada yang mencoba menyerangmu dengan argumentasi bahwa dalam AlQuran poligami tidak dilarang, tapi lagi-lagi kamu punya argumen yang bisa membuat mereka garuk-garuk kepala meski dengan dongkol ingin mementung kepalamu, Kamu berkata "Ayat dalam quran itu begini penjelasannya yang mudah,Â
"Ibarat anak kecil yang dilarang manjat pohon oleh orang tuanya, ia patuh saat itu, namun begitu orang tuanya pergi anak ini begitu bandel dan akhirnya memanjat pohon, saat si orang tua itu datang telah mendapatkan anaknya berada di atas pohon. Tentu saja orang tua marah lalu melarangnya manjat namun dengan sindiran "Ayo manjat lagi...manjat lagi" padahal maksudnya kok kamu bandel sih, dilarang manjat malah manjat, dasar. " \
Nah begitulah kabar yang kudengar wahai Gerhana.Â
Berhubung sudah larut dan internal server masih error, maka aku akhiri surat ini, kutunggu kedatangmu besok. sampai jumpa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H