Mohon tunggu...
Haeruddin HI
Haeruddin HI Mohon Tunggu... -

people dreams never ends "steve jobs"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasar dan Wajah Kita

2 Maret 2015   17:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:16 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasar dan Wajah Kita

Oleh : Haeruddin Parewa

Pasar adalah kosakata ekonomi. Namun kata itu kini telah menyusup ke dalam berbagai aspek kehidupan. Ia menjadi akrab di mulut orang-orang. Bukan sekedar metafor atau analogi, melainkan secara penuh mengusung wacana dan segala konsekuensi logisnya. Tidak berlebihan bila dikatakan semua aspek kehidupan sekarang digerakkan oleh pasar. Kepopuleran kata pasar dalam satu dekade terakhir nyaris mengimbangi kepopuleran demokrasi dan kebebasan. Banyak orang menyukai kata itu, meski tidak sedikit yang latah dan kebablasan. Dalam konteks ini pasar perlu dikritisi, terutama menyangkut iplementasi dan implikasinya.

Sebelum reformasi sesungguhnya kata pasar mulai populer di kalangan masyarakat. Namun selain menyimpan harapan, kata itu menyimpan pula kecemasan. Kata pasar bebas yang diandaikan menyediakan ruang untuk perkembangan ekonomi seringkali diikuti kecemasan pengusaha kecil, dalam menghadapi persaingan global. Ada banyak kritik dan saran agar pemerintah dan wakil rakyatnya menyiapkan infrastruktur yang memungkinkan pengusaha kecil siap memasuki pasar bebas. Sayangnya hingga hari ini, harapan itu jauh panggang dari api.

Selain itu, kata pasar amat sering meluncur dari mulut pelaku dan pengamat ekonomi sebagai solusi dalam menyikapi perekonomian yang tak kunjung membaik. Seakan-akan dengan mekanisme pasar, berbagai aspek ketidakberesan akan mudah dipecahkan. Seolah-olah bila seluruh aset (perusahaan) negara dijual/dikelola oleh pasar dengan sendirinya akan menyehatkan kondisi negara dan mendorong perkembangan ekonomi.

Mekanisme pasar berpijak pada hukum logika ekonomi yakni penawaran dan permintaan menjadi landasan berlangsungnya kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, “pencitraan dan pelayanan” menjadi doktrin sakti untuk menawarkan produk-produk. Permintaan publik akan dirayu habis-habisan melalui pelayanan dan pencitraan di media massa yang mengeksplorasi bahasa retoris, stilistik, penuh fiksi, dan impian. Sayangnya tidak jarang kualitas produk yang dicitrakan jauh di bawah kualitas pencitraan sendiri. Inilah fetisisme mutakhir di tengah masyarakat hipperealis yang kemaruk memuja (menjual dan membeli) mimpi.

Logika ekonomi tidak hanya berlaku dalam kegiatan ekonomi lembaga pendidikan dan politik pun memberlakukannya. Lihatlah lembaga pendidikan diberbagai tingkatan, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi (PT). Kegiatan pencitraan dan pelayanan menjadi dasar penting dalam melakukan penawaran. Implikasinya biaya pendidikan menjadi mahal, meskipun kualitas tidak dengan sendirinya menunjukkan kemajuan. Implikasi lainnya, mereka yang berduitlah yang leluasa dapat meilih lembaga pendidikan, sedangan masyarakat miskin tersisih ke tepian. Hukum besi ekonomi mengatur jalannya pendidikan membuat lembaga pendidikan pelan-pelan berubah menjadi lembaga ekonomi.

Dunia pendidikan mengadopsi hampir seluruh strategi yang biasa digunakan para pelaku ekonomi. Istilah-istilah perdagangan seperti pencitraan, pelayanan, produk, manajemen, konsumen, dan sebagainya menjadi akrab di mulut para pengelola pendidikan. Tiba-tiba industri pendidikan hadir seperti industri ekonomi umumnya. Sekolah dan perguruan tinggi berubah menjadi “PT” (Peraseroan Terbatas) atau pabrik dan para pengelolanya bertindak sebagai direktur, manejer dan salesman.

Tentu semua aspek kehidupan memiliki sisi ekonominya, sebagaimana seluruh aspek kehidupan memiliki sisi edukasi dan atau politiknya. Akan tetapi apakah ”bisnis” dengan “bisnis pendidikan” itu sama? Namun itulah yang terjadi, semua harus diukur oleh efisiensi kerja yang mengacu pada pendapatan material (uang). Tidak mengherankan bila indikator keberhasilan lulusan adalah kecepatan mendapat pekerjaan (menjadi para tukang) yang target pencapaiannya adalah uang.

Begitu pula dengan politik. Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden atau gubernur dan bupati/walikota di daerah, tidak berbeda jauh dengan pemilihan bintang-bintang hiburan dalam industri televisi. Oleh karena itu, keberadaan “tim sukses” menjadi amat menentukan dan bahkan menjadi lembaga industri tersendiri. Siapa yang bermodal besar dan sanggup membayar malah tim sukses, itulah yang memungkinkan jadi pemenang. Siapa yang tim suksesnya tahu menjalankan mekanisme pasar industri, kemungkinan besar merekalah yang akan menang. Sementara itu mereka yang hanya mengandalkan semangat dan idealisme, bersiap-siaplah ditinggalkan dan tersingkir.

Singkat kata semua aspek kehidupan kini beralih pada mekanisme pasar yang berpijak pada hukum besi ekonomi. Pasar menjadi satu-satunya penentu laju gerak berbagai aspek kehidupan. Bahkan dalam kegiatan-kegiatan kesenian, kebudayaan hingga keagamaan sekalipun.

Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya wajah pasar itu? Apakah benar pasar dapat menjamin efektifitas, efisiensi, keadilan, keamanan, keselamatan, dan kenyamanan masyarakat? Tapi bagaimana memahami persaingan tarif penerbangan di pasar terbuka yang justru berdampak buruk bagi keselamatan penumpang. Bagaimana pula dengan bank-bank swasta yang ketika bangkrut harus harus ditanggung negara (uang rakyat) sementara bankir-bankirnya lari ke luar negeri membawa hasil jarahan? Bagaimana menjelaskan lembaga pendidikan swasta yang menjamur hingga ke ruko-ruko sementara kualitas daya manusia Indonesia tetap memprihatinkan? Bagaimana pula menyikapi pertumbuhan mal, supermarket, ritel, dan bisnis waralaba yang dikuasai oleh para pemodal besar  kini merangsek masuk ke desa dan kampung, sementara pasar tradisional dan para pengusaha kecil terdesak dan megap-megap? Inikah yang namanya kemaslahatan pasar?

Pasar pada kenyataannya sejenis rimba belantara yang penuh dengan binatang buas sehingga binatang-binatang kecil tidak lagi aman untuk mepertahankan diri sendiri. Sementara para singa dan harimau berkeliaran bebas melakukan “kongkalikong” dengan “para penjaga” rimba telah menjadi penguasa yang sebenarnya di rimba pasar itu. Jadi mana mungkin para penjaga rimba berani menghukum para singa dan harimau yang rakus. Jika pun mereka tertangkap, dengan suka cita dia akan disambut bak pahlawan pulang perang.

Negara sebagai representasi rakyat nyatanya tidak berdaya di hadapan para penguasa pasar yang kemaruk dan maunya kenyang sendiri. Mungkin mekanisme pasar baru akan mampu menjamin kemaslahatan rakyat banyak jika para pemimpin bangsa sejatinya harus mampu membebaskan diri dari ketergantungannya kepada para pemilik modal yang menguasai pasar (sektor hajat hidup rakyat), baik dalam maupun luar negeri. Salam

* Penulis adalah Dosen STKIP Taman Siswa Bima dan Anggota Dewan Kesenian Kota Bima

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun