Infrastruktur adalah nyawa sebuah kota, bisa dibayangkan jika sebuah kota dengan warganya tapi tanpa infrastruktur, seperti sayur tanpa garam, tak ada rasa, tak berkembang. Hal ini pula yang harus dimiliki oleh setiap kota dan menjadi pekerjaan rumah besar oleh gubernur atau pemimpinnya.
Begitu pun dengan Jakarta, kota dengan predikat metropolitan yang harusnya senantiasa menjadi contoh bagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Kota dimana integrasi besar penduduk kota yang berada dipinggiran untuk ikut meramaikan pusat kota. Perkembangan infrastruktur di Jakarta memang masif namun sayangnya tak menyentuh konsep transportasi publik secara nyata yang sudah menjadi pekerjaan rumah puluhan tahun. Bahkan hingga pemilihan gubernur tahun lalu nyaris tak ada pasangan gubernur yang membicarakan visi transportasi publik seutuhnya.
Tak percaya, coba naik Transjakarta, untuk naik Transjakarta, pengguna tak bisa dengan interval waktu sebentar dalam memperkirakan waktu tempuh menuju tujuan di hari kerja.Â
Harus disiapkan cadangan waktu agar tak terlambat karena macetnya lalu lintas disepanjang jalan. Pada akhirnya mungkin Transjakarta hanya sebagai transportasi wisata, karena saat libur dan tak ada halangan kemacetan, waktu tunggu Transjakarta bisa singkat namun sebaliknya apabila hari kerja dan jam kerja waktu tunggu TransJakarta akan lama.
Kondisi bisa dipahami karena perlintasan Transjakarta yang sebidang dengan jalan, perlintasan Transjakarta tak bisa menaikkan efisiensi waktu tempuh karena jalan yang ada juga merupakan bagian dari jalan umum seperti kondisi jalan diperbolehkan memutar serta lampu lalu lintas, belum lagi jika terjadi kepadatan maka efisiensi waktu dengan Transjakarta menjadi nihil.Â
Praktis pelayanan Transjakarta hanya terbantu dari harga tiket yang tak mengalami kenaikan dan ditambah semakin primanya kondisi bus yang merupakan keluaran pabrikan terbaik dikelasnya.
Belajar Dari Malaysia
Bisa dilihat bagaimana Malaysia yang membangun transportasi publik dimana semua jalur transportasi berkonsep elevated (melayang) baik itu monorail, lrt, mrt sampai brt mempunyai konsep jalan layang.Â
Hal ini tentu untuk menaikkan efisiensi waktu yang diharapkan seminimal mungkin untuk tidak terjebak oleh kemacetan dijalan raya pada umumnya, hal yang coba ditiru saat zaman pak Ahok namun masih terdapat kekurangan dari desain halte dan juga akhir rute yang berupa turunanan jalan sehingga menyebabkan kemacetan akibat jalan yang menyempit diakhir rute.
Konsep transportasi Publik Pak Anies dan Pak Sandi hanya berkisar pada OK Otrip yaitu pendayagunaan angkot untuk terintegrasi dengan Transjakarta, belum masuk pada ranah yang lebih luas yaitu bagaimana transportasi publik mampu menciptakan efisiensi waktu yang tinggi  sehingga bisa dilirik para pengguna kendaraan pribadi untuk pindah menggunakan transportasi umum.Â
Karena jika transportasi publik mempunyai efisiensi waktu yang tinggi adalah impian untuk setiap pekerja agar dapat sampai ditempat kerja secepat-cepatnya, seperti saat menggunakan kereta comuter line yang menjadi primadona dengan daya angkut satu juta penumpang perharinya.Â
Konsep Jalan Layang Khusus Transjakarta
Investasi yang besar dengan jalur layang khusus Transjakarta bukanlah halangan karena investasi tersebut akan berdampak besar untuk lapangan kerja, karena dapat menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit.
Sebagai contoh dengan konsep jalur layang maka desain halte yang sesuai dengan desain halte jalur layang kereta yang dapat dikomersil karena luas halte yang mampu menampung banyak brand untuk menjajakan produk dibanding dengan desain halte Transjakarta layang koridor 13 sekarang yang cendrung pasif income.Â
Kini semmua tergantung dari pemimpin pilihan warga untuk menentukan masa depan transportasi publik di Jakarta seperti apa kedepannya. Menunggu maju kotanya, bahagia warganya, modern transportasi Publiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H