Tongkat ditangan sensei melambung tinggi, berdesing pelang. Dengan mata tertutup, ia melakukan tendangan melingkar yang sederhana, dengan akurasi yang teramat akurat dan kekuatan maksimal, benda itu berubah haluan, melambung, kemudian menukik jauh. Tepat menusuk helaian akar beringin dan merapat diantara dahan-dahannya. Setengah jengkal jaraknya dari kedua burung tersebut.
Siapa yang menyangka, hewan mungil bersayap tersebut jatuh begitu saja dari dahan, bagai kehilangan jiwa, kemudian terhempas ke lapisan daun. "bayangkan, jika kalian melihat jarak jatuh tongkat tadi. Kalian akan kebingungan dalam memperkirakan posisi jatuhnya. Tapi dengan mendengar, akan tercipta bayangan dari suara di sekitar, dan posisi tongkat akan terungkap begitu nyata" ucap sensei.
"berdiri!" serunya, "ambil jarak masing dan bentuk segi empat". Kami semua berdiri, mengikuti instruksi sensei, dan aku kembali segaris dengan Kerlin. Hidungku mendengus. "tutup mata kalian dan tebak aku dimana". Kegelapan menyelimuti pandangan kami semua, dan seluruh suara angin segera terasa dikulit, gendang telinga, dan helaian rambut. Bayangan suara tersebut tercipta, di tengah kami. "bagus" puji sensei, bahkan sebelum kami menyebutkannya. "buatlah denah arena dengan pendengaran kalian, dan rasakan gerakan setiap disekitar kalian".
Bayangan suara bergerak pelan, kemudian sesuatu yang dilempar dan menghilang. 'bertukar tempat' seru batin ku, sebuah tehnk]ik sederhana untuk saling bertukar tempat dengan benda yang diberi tanda, aku panik, fokus ku buyar. "ayo, Denki. Jangan biarkan kepanikan melahapmu, tenangkan diri dan temukan mangsa. Kuharap kau tidak gagap dengan lebam di tubuhmu itu" tegur sensei, suaranya seperti tak berekor, tapi aku bisa menebaknya.
"bagus, gerakan sekecil apapun ada sebuah kesalahan bila lawanmu adalah penguasa Peka tingkat tinggi, kau akan kalah bahkan sebelum selesai menghembuskan napas" kata sensei lagi setelah kami menyebut posisi nya. "semakin baik" katanya.
Latih Peka itu berjalan hingga tengah hari hingga sensei memperbolehkan kami makan siang. Aku menggeleng, memilih duduk di gundukan batu, menghargai usahaku sendiri. Jika terus begini, mungkin Peka bisa digunakan di bagaimanapun keadaan, dan aku bisa mengelana sendiri kemanapun.
Mataku tida-tiba teralih pada sensei di tengah lapangan, ia sibuk bergurau dengan Kerlin. Mereka berdua terlihat akrab, bahkan tidak terlihat seperti baru kenal lusa kemarin. Seperti ada yang spesial. Kerlin, gadis itu bermata jingga ranum, memiliki senyuman manis ketika berbicara dengan sensei, dan gerak tingkahnya menunjukkan ke-eleganannya. Sensei menggeleng-geleng, menyudahi cerita murid di depannya, kamudian matanya menjurus kembali kepadaku. Bola mata yang hitam mengkilap indah, tapi mengandung sejuta makna, kali ini maksudnya adalah 'mendekat'
Aku beranjak, derai angin membasahi seluruh tubuh, ujung pakaian berkibar, dedaunan ikut bergesekan. Sepertinya ada hal yang akan sensei ucapkan, tentangku dan murid baru yang mengesalkan itu. Kerlin ikut memandang kearahku, membalikkan setengah badannya, menatap dengan aura tatapan yang sama dengan ku, aku menggertakkan gigi.
Sensei hanya memandang datar. "bermaafan lah"
Kalimat sensei mengagetkanku, apa maksudnya. Aku ingin protes, Kerlin lah yang lebih dulu menyerang, seranganku adalah kesalahannya karena melakukan gerakan sia-sia. "apa maksudnya sensei" tapi gadis itu yang membuka mulutnya lebih dulu, ia juga kesal.
"apa maksudnya, sudah jelas 'kan" ulang sensei Qanae, matanya menatap kami berdua bergantian. "kalian pasti saling membenci setelah tandingan kemarin, itu benar-benar terlihat. Â Dalam dojo ku, kerja sama adalah hal terpenting, dan aku tidak menginginkan ada perselihan diantara murid-muridku" aku tidak mendengarkan kata-kata sensei, mataku sibuk berlawanan dengan Kerlin.