Hari Sabtu tanggal 24 September 2016 Koran Kompas membuat Head Line “Pilkada DKI gambaran Pilpres” dan konstestasi diprediksi berlangsung ketat. Hari Minggu tanggal 25 September 2016 Koran Kompas membuat headline kembali “Jaga Kedamaian Pilkada 2017”dan mengutip peneliti senior CSIS J Kristiadi Pilkada DKI 2017 yang mengatakan bahwa modal sosial bangsa Indonesia bisa digerogoti dengan mulai hadirnya primordial yang terkait dengan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
Seorang politisi memberikan analisa nya bahwa dalam persaingan Pilkada di DKI 2017 akan menjadi ajang caci maki dan komunikasi berbau Primordialisme melalaui SARA karena cara ini menjadi salah satu cara efektif untuk menang.
Informasi diatas memberikan gambaran persaingan parpol dan para kandidat pemegang kekuasaan sangat tajam dan bisa membuat para politisi dan para kandidat memakai cara-cara yang sehat dan juga tidak sehat. Namun momen Pilkada serentak 2017, Pileg 2019 dan Pilpres 2019 dapat menjadi momen yang sangat indah bagi Bangsa Indonesia apabila semua elemen bangsa mau mengingat kembali bagaimana Bapak Bangsa-Founding Father mencari tali pengikat bangsa dalam melaksanakan semua aktivitas politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sosial dan lain-lain melalui pengamalan Lima Sila Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Debat Hari Kelahiran Pancasila
Debat hari kelahiran Pancasila telah berlangsung puluhan tahun lalu dan sangat sensitip untuk dibahas di jaman Orde Baru. Salah satu debat dari dua sejarahwan di Indonesia yaitu Almarhum Moedjanto yang pernah menjabat Pembantu Rektor III IKIP Sanata Dharma di tahun 1980-an dan almarhum Nugroho Notosusanto yang pernah menjabat pusat Sejarah Indonesia dan mantan Mekdikbud
Moedjanto benar-baner mau mengembalikan jalannya sejarah NKRI dengan siap berargumen dengan para ahli sejarah manapun dalam mencari tahu siapakah yang melahirkan Lima Sila dalam Pancasila. Sejarahwan Moedjanto mau membuktikan apakah Pancasila lahir dari Pemikiran Soekarno, bapak bangsa- Founding Father, apakah dari seseorang yang lain atau memang nilai-nilai ini sudah ada ribuan tahun dalam nilai-nilai kehidupan orang-orang yang mendiami Bumi Pertiwi ini.
Moedjanto sempat berdebat melalui tulisan di halaman enam harian Kompas tahun 1980-an dengan Nugroho Notosusanto yang pro penguasa Orde Baru. Sejarahwan Moedjanto mengatakan bahwa Notonugroho Susanto memakai teori Ajinomoto untuk menjelaskan siapakah yang melahirkan Lima Sila dalam Pancasila. Nugroho Notosusato berargumen bahwa nilai-nila yang terkandung dalam Pancasila sudah ada dalam kehidupan orang-orang yang mendiami kepulauan Hindia sejak dahulu kala. Disebutkan kepulauan Hindia karena Indonesia belum merdeka dan belum resmi disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Argumen Nugroho Notosusato bahwa bahan baku Pancasila sudah ada sejak dulu dan Soekarno hanyalah penyedap rasa untuk menambah nikmatnya Lima Sila yang sudah tersaji dalam bentuk makanan. Jadi Soekarno bukanlah yang memikirkan dan melahirkan Lima Sila yang lahir pada 1 Juni 1945 seperti dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam notulen rapat dalam persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Alasan Notonugroho bahwa notulen rapat memang sebagai bukti sejarah yang dituliskan oleh Muhammad Yamin ketika Pancasila lahir di tengah-tengah rapat-rapat para pejuang untuk mempersiapkan kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 1945. Namun notulen rapat ini hanyalah bentuk kekaguman pribadi Muhammad Yamin semata-mata kepada Soekarno. Kekaguman pribadi inilah yang dipakai sebagai bukti sejarah.
Memang sangat benar bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Lima Sila Pancasila sebagai bahan baku Pancasila memang sudah menjadi nilai-nilai ini sudah dipraktekkan di bumi pertiwi sejak dahulu kala. Namun nilai ini bisa hanya dipraktekkan sebagian-sebagian saja namun belum dipraktekkan seutuhnnya oleh orang-orang yang berdiam di kepulauan Hindia. Kesan setelah reformasi praktek nilai Pancasila kembali dipertanyakan oleh banyak elemen bangsa Indonesia.
Pohon Sukun Pancasila